Allan Nairn dan Hoax Kudeta
A
A
A
Ahmad Riza Patria
Wakil Ketua Komisi II DPR RI
ALLAN Nairn (AN), wartawan investigasi dari AS, kembali melempar isu kontroversial yang menggegerkan publik Indonesia. Betapa tidak! Dalam laporan investigatifnya yang dimuat media online The Intercept (theintercept.com ) dengan judul "Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President", dan kemudian diterjemahkan media online Tirto.id dengan judul "Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar" (21/4).
AN menyatakan bahwa keriuhan politik yang mengiringi Pilkada DKI adalah sebuah strategi jangka panjang untuk mendongkel Presiden Joko Widodo. Demonstrasi masif umat Islam yang menuntut pemerintah Jokowi memenjarakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hanyalah "sebuah strategi" untuk melaksanakan makar dengan dukungan TNI dan tokoh-tokoh politik dan pengusaha Indonesia.
Dengan mencantolkan Presiden AS Donald Trump (yang memang partner bisnis Hary Tanoesoedibjo), AN mencoba "mengakali" laporannya dengan menggambarkan aliansi politisi, tentara, dan pengusaha agar kelihatan rasional untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Beberapa nama seperti Hary Tanoe, Fadli Zon, Prabowo, dan Kivlan Zein disebut-sebut AN bersekongkol untuk menggulingkan Presiden. Juga, TNI, tulis AN, ikut mendukung rencana makar tersebut.
Menurut AN, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun mengetahui rencana makar dan menyetujui itu. Itulah sebabnya, tulis AN, demo besar-besaran menjelang Pilkada DKI 2017, yang menuntut Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dipenjara atas tuduhan penistaan agama, memperoleh dana yang besar.
Demo itu berhasil mengumpulkan ratusan ribu, bahkan disebut-sebut jutaan orang, di jalanan Jakarta, terutama dalam aksi demo 411 (4 November 2016) dan 212 (12 Desember 2016). AN dalam laporannya yang spekulatif tersebut menyatakan: "Kasus penistaan agama ini hanya dalih untuk tujuan yang lebih besar: menyingkirkan Presiden Joko Widodo dan mencegah tentara diadili atas peristiwa pembantaian sipil 1965, yaitu pembunuhan massal oleh militer Indonesia dan didukung Pemerintah AS."
Dalam demo masif itu, ulas AN, aktor utama yang berperan sebagai penyuara dan pendesak adalah Front Pembela Islam (FPI) yang diketuai Habib Rizieq Shihab. Bersama Rizieq, dalam rantai komando, ada Munarman (juru bicara dan ketua Bidang Keorganisasian FPI) dan Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI.
Saya membaca laporan investagitif AN dengan mengerutkan kening karena menurut logika saya sangat mengada-ada dan jauh dari fakta yang sebenarnya. Memang Pilkada DKI Jakarta adalah ibu dari seluruh pilkada di Indonesia.
Ini bisa dimaklumi karena Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota negara seperti Washington, tapi juga pusat bisnis dan keuangan seperti New York. Jumlah uang yang beredar di Jakarta misalnya lebih dari separuh dari uang yang beredar di Indonesia. Jadi, tidak salah jika banyak orang menyatakan Pilkada DKI adalah pilkada rasa pilpres.
Faktanya memang seperti itu. Liputan media massa pun, baik dalam maupun luar negeri, luar biasa. Semua media massa besar, baik cetak maupun elektronik, sangat intens meliput berbagai hal tentang Pilkada DKI, termasuk isu-isu kontroversial yang impossible. Dari ihwal yang remeh-temeh sampai ihwal yang berbahaya. Mulai dari persoalan baju Anies-Sandi yang kuno sampai dugaan ada plot-plot politik untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Dengan melihat riuh-rendah Pilkada DKI, rupanya insting investigatif AN bekerja dan mencari tahu kenapa semua itu terjadi. Lalu, cibiran kampanye dari pendukung masing-masing pasangan calon, meme, dan hoax yang muncul di media sosial pun menjadi alat analisis AN terhadap gegap gempita pilkada. Dampaknya, laporan AN terasa lucu, mengada-ada, dan spekulatif seperti status-status para netizen yang unik, lucu, dan hoax di wall FB, WA, dan lain-lain.
Bayangkan, AN melaporkan bahwa tentara dan pengusaha berada di balik semua demo besar anti-Ahok tersebut. Aliansi Prabowo, Hary Tanoe, dan para mantan jenderal, tulis AN, akan menjadi kekuatan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Ini analisis yang naif karena faktanya TNI pada Era Reformasi tak mungkin melakukan makar.
Pengamat militer Prof Dr Salim Said, mantan wartawan majalah Tempo dan Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia, menyatakan bahwa analisis NA tentang persekongkolan tentara dan pengusaha untuk makar terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla sangat spekulatif. Menurut Salim, pada era yang menjunjung tinggi undang-undang seperti saat ini, perbuatan makar tidak mungkin dilakukan TNI.
Apalagi TNI kini bukan seperti TNI dahulu. Tentara kini punya prinsip mendorong supremasi sipil. Saat ini, kata penulis buku Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak itu, tentara punya komitmen tinggi untuk menjalankan UU TNI yang memberi kekuatan kepada sipil di dalam rangka supremasi sipil.
"TNI juga menurut Pasal 10 UUD 1945 tunduk kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Jadi, enggak ada itu cerita kudeta, konspirasi, dan sebagainya," lanjut alumnus Ohio Sate University AS tersebut. Itulah sebabnya, saya tidak percaya dengan analisis AN, kata penulis buku Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49 tersebut.
Hal sama dikemukakan Dr Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI. Menurut Fadli Zon, analisis NA menunjukkan bahwa dia tidak memahami Indonesia. Fadli Zon juga menyatakan AN sempat muncul saat Pilpres 2014 untuk memfitnah capres Prabowo Subianto.
Saat itu tim sukses Prabowo-Hatta membantah pernyataan AN bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pernah melecehkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. AN tidak tahu bahwa hubungan Prabowo dan Gus Dur sangat dekat. Dan, secara adat ketimuran sungguh tidak mungkin Prabowo melecehkan Gus Dur, ulama kharismatik yang sangat dihormati masyarakat Indonesia.
Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto, Jumat (21/4), telah membantah tuduhan AN. "Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax," kata Wuryanto. Kapuspen juga menyanggah tuduhan AN bahwa Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mendukung makar. Tuduhan tersebut jelas bertentangan dengan komitmen TNI dalam mendukung pemerintahan sipil.
Jika kita membaca laporan AN di atas, tampak ketidaktahuan AN atas peta politik serta kenegaraan di Indonesia. AN sungguh-sungguh mengarang spekulasi atas investigasinya, yang sebenarnya hanya mengutip "bocoran" Edward Snowden yang tidak terkonfirmasi dan membaca status-status netizens di media sosial yang simpang siur.
Dengan demikian, laporan AN, baik ditinjau secara saintifik maupun jurnalistik sangat disayangkan. AN, wartawan investigasi yang sudah malang melintang di dunia, ternyata tidak mampu membaca dinamika politik Indonesia pada Pilkada DKI. AN tampaknya belum merasakan hasrat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk membangun NKRI dan mendukung stabilitas keamanan negaranya.
Dari kasus laporan AN di atas, bangsa Indonesia yang mendamba persatuan dan kesatuan patut berhati-hati terhadap berita atau provokasi yang menimbulkan keresahan publik. Bangsa Indonesia sebaiknya tidak mudah mempercayai isu-isu murahan yang dilansir orang-orang atau pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh suasana.
Dalam ayat suci Alquran disebutkan, jika umat mendengar atau membaca isu, hendaklah tabayyun , yaitu mengonfirmasi kebenaran isu tersebut, agar tidak terjadi fitnah, kedengkian, dan malapetaka. Itulah yang seharusnya bangsa Indonesia lakukan dalam menanggapi laporan investigasi spekulatif AN.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI
ALLAN Nairn (AN), wartawan investigasi dari AS, kembali melempar isu kontroversial yang menggegerkan publik Indonesia. Betapa tidak! Dalam laporan investigatifnya yang dimuat media online The Intercept (theintercept.com ) dengan judul "Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President", dan kemudian diterjemahkan media online Tirto.id dengan judul "Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar" (21/4).
AN menyatakan bahwa keriuhan politik yang mengiringi Pilkada DKI adalah sebuah strategi jangka panjang untuk mendongkel Presiden Joko Widodo. Demonstrasi masif umat Islam yang menuntut pemerintah Jokowi memenjarakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hanyalah "sebuah strategi" untuk melaksanakan makar dengan dukungan TNI dan tokoh-tokoh politik dan pengusaha Indonesia.
Dengan mencantolkan Presiden AS Donald Trump (yang memang partner bisnis Hary Tanoesoedibjo), AN mencoba "mengakali" laporannya dengan menggambarkan aliansi politisi, tentara, dan pengusaha agar kelihatan rasional untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Beberapa nama seperti Hary Tanoe, Fadli Zon, Prabowo, dan Kivlan Zein disebut-sebut AN bersekongkol untuk menggulingkan Presiden. Juga, TNI, tulis AN, ikut mendukung rencana makar tersebut.
Menurut AN, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun mengetahui rencana makar dan menyetujui itu. Itulah sebabnya, tulis AN, demo besar-besaran menjelang Pilkada DKI 2017, yang menuntut Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dipenjara atas tuduhan penistaan agama, memperoleh dana yang besar.
Demo itu berhasil mengumpulkan ratusan ribu, bahkan disebut-sebut jutaan orang, di jalanan Jakarta, terutama dalam aksi demo 411 (4 November 2016) dan 212 (12 Desember 2016). AN dalam laporannya yang spekulatif tersebut menyatakan: "Kasus penistaan agama ini hanya dalih untuk tujuan yang lebih besar: menyingkirkan Presiden Joko Widodo dan mencegah tentara diadili atas peristiwa pembantaian sipil 1965, yaitu pembunuhan massal oleh militer Indonesia dan didukung Pemerintah AS."
Dalam demo masif itu, ulas AN, aktor utama yang berperan sebagai penyuara dan pendesak adalah Front Pembela Islam (FPI) yang diketuai Habib Rizieq Shihab. Bersama Rizieq, dalam rantai komando, ada Munarman (juru bicara dan ketua Bidang Keorganisasian FPI) dan Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI.
Saya membaca laporan investagitif AN dengan mengerutkan kening karena menurut logika saya sangat mengada-ada dan jauh dari fakta yang sebenarnya. Memang Pilkada DKI Jakarta adalah ibu dari seluruh pilkada di Indonesia.
Ini bisa dimaklumi karena Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota negara seperti Washington, tapi juga pusat bisnis dan keuangan seperti New York. Jumlah uang yang beredar di Jakarta misalnya lebih dari separuh dari uang yang beredar di Indonesia. Jadi, tidak salah jika banyak orang menyatakan Pilkada DKI adalah pilkada rasa pilpres.
Faktanya memang seperti itu. Liputan media massa pun, baik dalam maupun luar negeri, luar biasa. Semua media massa besar, baik cetak maupun elektronik, sangat intens meliput berbagai hal tentang Pilkada DKI, termasuk isu-isu kontroversial yang impossible. Dari ihwal yang remeh-temeh sampai ihwal yang berbahaya. Mulai dari persoalan baju Anies-Sandi yang kuno sampai dugaan ada plot-plot politik untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Dengan melihat riuh-rendah Pilkada DKI, rupanya insting investigatif AN bekerja dan mencari tahu kenapa semua itu terjadi. Lalu, cibiran kampanye dari pendukung masing-masing pasangan calon, meme, dan hoax yang muncul di media sosial pun menjadi alat analisis AN terhadap gegap gempita pilkada. Dampaknya, laporan AN terasa lucu, mengada-ada, dan spekulatif seperti status-status para netizen yang unik, lucu, dan hoax di wall FB, WA, dan lain-lain.
Bayangkan, AN melaporkan bahwa tentara dan pengusaha berada di balik semua demo besar anti-Ahok tersebut. Aliansi Prabowo, Hary Tanoe, dan para mantan jenderal, tulis AN, akan menjadi kekuatan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Ini analisis yang naif karena faktanya TNI pada Era Reformasi tak mungkin melakukan makar.
Pengamat militer Prof Dr Salim Said, mantan wartawan majalah Tempo dan Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia, menyatakan bahwa analisis NA tentang persekongkolan tentara dan pengusaha untuk makar terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla sangat spekulatif. Menurut Salim, pada era yang menjunjung tinggi undang-undang seperti saat ini, perbuatan makar tidak mungkin dilakukan TNI.
Apalagi TNI kini bukan seperti TNI dahulu. Tentara kini punya prinsip mendorong supremasi sipil. Saat ini, kata penulis buku Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak itu, tentara punya komitmen tinggi untuk menjalankan UU TNI yang memberi kekuatan kepada sipil di dalam rangka supremasi sipil.
"TNI juga menurut Pasal 10 UUD 1945 tunduk kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Jadi, enggak ada itu cerita kudeta, konspirasi, dan sebagainya," lanjut alumnus Ohio Sate University AS tersebut. Itulah sebabnya, saya tidak percaya dengan analisis AN, kata penulis buku Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49 tersebut.
Hal sama dikemukakan Dr Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI. Menurut Fadli Zon, analisis NA menunjukkan bahwa dia tidak memahami Indonesia. Fadli Zon juga menyatakan AN sempat muncul saat Pilpres 2014 untuk memfitnah capres Prabowo Subianto.
Saat itu tim sukses Prabowo-Hatta membantah pernyataan AN bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pernah melecehkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. AN tidak tahu bahwa hubungan Prabowo dan Gus Dur sangat dekat. Dan, secara adat ketimuran sungguh tidak mungkin Prabowo melecehkan Gus Dur, ulama kharismatik yang sangat dihormati masyarakat Indonesia.
Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto, Jumat (21/4), telah membantah tuduhan AN. "Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax," kata Wuryanto. Kapuspen juga menyanggah tuduhan AN bahwa Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mendukung makar. Tuduhan tersebut jelas bertentangan dengan komitmen TNI dalam mendukung pemerintahan sipil.
Jika kita membaca laporan AN di atas, tampak ketidaktahuan AN atas peta politik serta kenegaraan di Indonesia. AN sungguh-sungguh mengarang spekulasi atas investigasinya, yang sebenarnya hanya mengutip "bocoran" Edward Snowden yang tidak terkonfirmasi dan membaca status-status netizens di media sosial yang simpang siur.
Dengan demikian, laporan AN, baik ditinjau secara saintifik maupun jurnalistik sangat disayangkan. AN, wartawan investigasi yang sudah malang melintang di dunia, ternyata tidak mampu membaca dinamika politik Indonesia pada Pilkada DKI. AN tampaknya belum merasakan hasrat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk membangun NKRI dan mendukung stabilitas keamanan negaranya.
Dari kasus laporan AN di atas, bangsa Indonesia yang mendamba persatuan dan kesatuan patut berhati-hati terhadap berita atau provokasi yang menimbulkan keresahan publik. Bangsa Indonesia sebaiknya tidak mudah mempercayai isu-isu murahan yang dilansir orang-orang atau pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh suasana.
Dalam ayat suci Alquran disebutkan, jika umat mendengar atau membaca isu, hendaklah tabayyun , yaitu mengonfirmasi kebenaran isu tersebut, agar tidak terjadi fitnah, kedengkian, dan malapetaka. Itulah yang seharusnya bangsa Indonesia lakukan dalam menanggapi laporan investigasi spekulatif AN.
(whb)