Le Pen dan Bumerang Politik SARA di Prancis

Rabu, 03 Mei 2017 - 07:57 WIB
Le Pen dan Bumerang Politik SARA di Prancis
Le Pen dan Bumerang Politik SARA di Prancis
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Public Policy Institute
@dinnawisnu

TEMAN saya, warga negara Indonesia, yang telah bekerja di kota Paris selama lebih dari lima tahun menjadi sangat khawatir dengan hasil pemilu dua minggu lalu di Prancis, khususnya karena keunggulan Marine Le Pen dari Partai Front Nasional. Marine Le Pen menurutnya dipandang sebagai kandidat yang tidak punya jalan keluar atas masalah yang ada di Perancis tetapi pandai menggunakan sentimen anti-minoritas, anti terhadap imigran dan anti terhadap EU dalam setiap diskusinya.

Le Pen menggunakan isu SARA dan menunjuk para imigran, khususnya umat Muslim, sebagai penyebab dari melambatnya ekonomi dan meningkatnya penggangguran yang relatif tinggi. Provokasi semacam itu sulit dibendung karena dalam beberapa tahun terakhir ini Prancis memang diserang oleh aksi teroris yang berafiliasi kepada ISIS.

Meskipun ia kalah dari Macron dalam putaran pertama, secara umum agenda para kandidat telah cenderung bergerak ke kanan dan intoleransi semakin menguat di antara Warga Prancis.

Siapakah Marine Le Pen? Apakah beda model politik Marine Le Pen dari pemimpin Partai Front National terdahulu dan partai-partai mainstream di Prancis?

Marine Le Pen adalah putri dari Jean Le Pen, pendiri Front National, salah satu partai politik sayap kanan di Prancis yang didirikan pada tahun 1974. Jean Le Pen sangat populer karena ia selalu mencoba keberuntungan untuk menjadi calon Presiden dalam setiap kesempatan pemilihan presiden mulai dari dari tahun 1974, 1988, 1995, 2002, dan 2007.

Kemenangannya terhadap Jacques Chiraq dari Partai Konservatif yang fenomenal di putaran pertama pemilihan presiden tahun 2002 membuat ia semakin percaya diri walaupun akhirnya ia kalah di putaran kedua karena Partai Sosialis dan partai kecil lainnya bekerja untuk memenangkan Chirag dan mencegah Le Pen menang. Jumlah pemilih di putaran kedua pada tahun itu lebih banyak dibandingkan putaran pertama sebagai hasil mobilisasi penuh partai-partai yang sudah mapan.

Meski demikian, popularitasnya di putaran pertama itu pun tidak dapat menyelamatkan dirinya dari kudeta yang dilakukan oleh putrinya sendiri di tahun 2011. Marine Le Pen tidak menyukai sikap ayahnya yang sangat provokatif, intoleran dan tidak diplomatis dan dianggap membuat suara partai tidak tumbuh.

Oleh sebab itu ia menyingkirkan ayahnya dan tampil sebagai pemimpin partai di Front National yang baru. Tindakan politik tersebut tepat dan menguntungkan bagi Front National. Marine Le Pen membawa Front National jauh “lebih moderat” dalam ukuran sayap kanan sehingga dapat menghimpun para pemilih yang tidak suka terhadap gaya kepemimpinan Jean Le Pen.

Marine melakukan pembenahan di dalam partai. Ia mengurangi figur-figur yang dianggap sebagai tokoh sayap kanan ekstrem, bigot, pendukung NAZI atau anti-Yahudi. Ia melakukan strukturisasi partai dengan mengisi kepengurusan dengan orang-orang yang lebih muda, modern, berpendidikan dan santun.

Ia bahkan memilih Florian Phillipot sebagai wakilnya yang berusia 31 tahun dan baru tamat dari perguruan tinggi elit Ecole Nationale d’Administration. Perubahan ini terutama untuk menyasar pemilih muda dari sayap Kiri dan Kanan.

Strategi untuk membawa Front National lebih “moderat” tidak berati mengurangi garis politik partai yang sangat populis dan Kanan ini. Secara politik, kebijakan Front National adalah menolak keanggotaan Prancis dalam Masyarakat Uni Eropa (EU), menolak Eurozone, menolak Schengen Area, pendekatan yang keras terhadap pelanggaran hukum dan penolakan terhadap kebebasan bergerak bagi pendatang baik yang berasal dari negara-negara anggota EU dan khususnya pendatang di luar EU.

Marine hanya mencoba untuk mengimbangi garis politiknya populis Kanan tetapi berusaha untuk mencitrakan partainya sebagai partai yang peduli dengan kelompok masyarakat lain, modern dan progresif. Ia bahkan tidak segan-segan mengancam membawa ke pengadilan apabila ada orang yang menuduh Front Nasional sebagai partainya sayap Kanan ekstrem di Prancis.

Strategi itu berhasil. Marine Le Pen mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi calon presiden setiap kali ada kesempatan untuk mengikutinya. Ia adalah kandidiat dengan perolehan suara banyak ketiga di bawah François Hollande dan petahana Presiden Nicolas Sarkozy di tahun 2012.

Ia memperoleh 17% atau sekitar 6,42 juta suara. Perolehannya lebih tinggi daripada yang dicapai oleh ayahnya pada tahun 2002. Jean Le Pen saat itu hanya memperoleh 4,8 juta atau sekitar 16,8%. Bintangnya pun terus bersinar hingga menempatkan diri sebagai unggulan kedua di bawah Emmanuel Macron dari sayap Tengah pada putaran pertama presiden Perancis dua minggu yang lalu.

Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Front Nasional bukanlah sebuah kejutan. Para pengamat sudah sejak jauh-jauh hari meramalkan bahwa Front Nasional akan berhasil mengubah dirinya dari partai gurem menjadi partai mainstream di Prancis.

Kemenangan Marine dan juga Macron dalam Pilpres Prancis 2017 ini juga telah menjadi catatan sejarah penting di Prancis. Dalam Pilpres tahun ini mereka telah mengalahkan dua partai besar dan mapan yang selalu ada dalam sejarah pemilu yaitu Partai Sosialis dan Partai Konservatif (Union pour un Mouvement Populaire-UMP).

Mengapa Front National dapat membesar dan mengalahkan ideologi dua partai besar di Prancis? Mehdi Hasan seorang jurnalis di Washington DC mengatakan di The Intercept bahwa menguatnya Front National bukan hanya karena reformasi internal yang dilakukan oleh Marine sejak tahun 2011 tetapi juga karena para politisi dari Partai Konservatif dan Sosialis yang ikut memainkan isu SARA sejak lama untuk mendulang suara dan dengan dalih membendung Le Pen agar tidak mendominasi suara anti-imigran yang sedang berkembang.

Politik SARA yang Jadi Bumerang
Contohnya adalah Presiden Mitterrand (Partai Sosialis) yang mengatakan bahwa Prancis telah melampaui “ambang toleransi” terhadap imigrasi. Meskipun kemudian Mitterand menarik pernyataannya tersebut, perdana menterinya yang juga dari Partai Sosialis, Edith Cresson, memunculkan kegaduhan ketika menyarankan agar imigran ilegal dideportasi dengan dipesankan pesawat khusus.

Wartawan dari Uni Eropa Cathryn Cluver menjelaskan bahwa pernyataan Mitterand di akhir tahun 1980-an itu mengejutkan karena selama sepuluh tahun sebelumnya Mitterand dikenal sebagai presiden Sosialis pertama di Prancis yang memberi nuansa kemanusiaan pada kebijakan imigrasi di Prancis. Antara tahun 1981-1986 justru ada banyak peraturan imigrasi yang mendukung imigrasi secara legal.

Penerus Mitterand, Jacques Chirac, mantan perdana menteri Prancis tahun 1991, rupanya bertugas mengembalikan suara partai Sosialis yang tergerus oleh Front National. Karena itu Chirac mengamini pernyataan bahwa seluruh pekerja Prancis sudah lelah dengan imigran yang “malodorant et bruyant” (berbau dan berisik).

Kaum imigran di Eropa, yang umumnya dari Arab dan Afrika, dikonotasikan bau karena aroma masakannya dan berisik karena kerap berkelahi dengan polisi. Pada masa itu pula mantan Presiden Valery Giscard d’Estaing (Partai Konservatif/UMP) memperingatkan masyarakat akan “bahaya invasi” imigran.

Isu SARA diangkat lagi oleh Nikolas Sarkozy yang meluncurkan “Debat Nasional tentang Identitas Nasional” di tahun 2009 di mana ia mengumumkan larangan berkerudung yang sebenarnya hanya berlaku pada 2.000 perempuan dari total 2 juta perempuan muslim di Prancis tahun 2010, juga berkoar bahwa daging halal adalah “isu yang paling dibincangkan di Prancis” di tahun 2012. Sarkozy pula yang menyebut Partai Front National sebagai partai demokratis dan menyebutnya “cocok untuk Republik”.

Kondisi di atas mengingatkan kita pada situasi yang dihadapi juga di Tanah Air. Para politisi yang mapan dari dua partai besar di Prancis tidak pernah membayangkan bahwa strategi mereka untuk memainkan isu SARA ternyata justru melapangkan jalan bagi Le Pen untuk menjadi lebih populer.

Diskriminasi dan konflik sosial di antara warga Prancis dan imigran semakin tajam. Bibit radikalisme dan terorisme tidak hanya subur di antara warga imigran muslim tetapi juga warga Prancis. Kekerasan seperti lingkaran setan yang semakin lama semakin rumit dan kompleks untuk diuraikan.

Perkembangan politik SARA di Prancis patut menjadi pertimbangan para politisi dan pemilih di Indonesia saat pilkada, pemilu legislative. dan pemilu presiden. Memenangkan suara mayoritas, dengan mempolitisasi SARA hari ini, bisa jadi bumerang bagi stabilitas sosial di tahun-tahun selanjutnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5779 seconds (0.1#10.140)