Psikologi Isra Mikraj dan Pendidikan Holistis
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
ISRA Mikraj Nabi Muhammad SAW merupakan mukjizat kenabian yang terjadi setelah istri tercinta Khajidah dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia. Secara psikologis, Isra Mikraj merupakan strategi Allah untuk menghibur rasul-Nya yang sedang berduka, sekaligus meneguhkan mental spiritualnya dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan Islam sebagai rahmat bagi semesta raya.
Psikologi Isra Mikraj sejatinya merupakan sebuah psikologi pendidikan yang dalam hal ini Allah sebagai pendidik, Muhammad SAW sebagai peserta didik, Jibril sebagai fasilitator, alam semesta sebagai laboratorium dan media pendidikan, sedangkan perjalanan profetik (dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa dan dari Masjidilaqsa menuju Sidratil Muntaha dengan melintasi tujuh langit kehidupan lalu kembali lagi ke Mekkah) sebagai pengalaman belajar yang holistis integratif.
Tujuan utama Allah mengisra-mikrajkan Nabi SAW adalah menunjukkan kemahabesaran Allah SWT (linuriyahu min ayatina). Secara psikologis, Isra Mikraj mengedukasi dan menginspirasi Nabi SAW dan umat manusia untuk berwawasan luas, berpikir kreatif, mengembangkan pendidikan holistis integratif dengan menjelajahi alam semesta dan memajukan sains dan teknologi. Visi psikologis perjalanan Isra Mikraj adalah pembuktian integrasi semua alam di bawah kekuasaan, pengaturan, dan manajemen Allah SWT sehingga manusia tidak selayaknya menyombongkan diri, berlaku zalim, dan merasa paling kuasa, padahal hanya berdomisili di salah satu titik dari bumi Allah.
Psikologi Isra Mikraj itu adalah psikologi perjalanan lintas batas kemanusiaan yang berdimensi multieksistensi. Isra itu dimulai dengan perjalanan lintas masjid, dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa di Baitul Maqdis Palestina. Masjid itu pusat integrasi umat dan kesucian (fisik, hati, pikiran, dan tindakan). Adapun psikologi Mikraj itu perjalanan spiritual lintas langit dan lintas alam (alam malakut), dari Masjidilaqsa menuju Sidratil Muntaha (puncak segala eksistensi) dengan melintasi tujuh langit.
Ketika transit di setiap langit, Nabi SAW memperoleh pengalaman kenabian karena bertemu dan berdialog dengan para nabi sebelumnya. Dukungan moral dan psikologis dari para nabi di setiap langit kehidupan itu membesarkan hati Nabi SAW. Akhirnya, setelah melintasi tujuh langit, Nabi SAW berhasil mencapai puncak ”pendakian spiritual” di Sidratil Muntaha. Pada puncak keluhuran dan kesucian spiritual inilah Nabi SAW menerima perintah salat lima waktu. Jadi secara psikologis penetapan kewajiban salat lima waktu di Sidratil Muntaha memerlukan proses perjalanan dan pendakian mental spiritual. Karena itu Allah menegaskan bahwa salat itu sungguh berat, kecuali bagi orang yang khusyuk (QS Albaqarah [2]: 45).
Mengapa proses pewajiban salat lima waktu harus dilakukan dengan memikrajkan nabi-Nya hingga Sidratil Muntaha, sementara kewajiban syariat lainnya cukup diwahyukan melalui Jibril AS? Peristiwa Isra Mikraj ini sangat unik dan menarik jika dikonstruksi dari perspektif pendidikan holistis integratif, sebuah konsep pendidikan yang bersifat utuh, menyeluruh, dan integratif antara berbagai aspek pendidikan dan pendekatan pembelajaran, dengan melibatkan berbagai faktor yang dinilai turut mengonstruksi proses dan hasil pendidikan.
Isra Mikraj boleh jadi dipandang sebagai sebuah ”ilusi atau halusinasi” bagi orang yang tidak memercayainya karena bagaimana mungkin perjalanan Mekkah-Baitul Maqdis (Palestina)-Sidratil Muntaha (PP) bisa ditempuh kurang dari semalam? Peristiwa ini mungkin tidak bisa diterima akal sehat semata tanpa didasari iman yang kuat, jujur, dan tulus. Oleh karena itu Isra Mikraj itu berdimensi pendidikan iman. Artinya dengan iman (keyakinan) yang kuat, jujur, dan tulus, seseorang dapat memercayai bahwa peristiwa ini benar adanya.
Pendidikan iman mengajarkan pentingnya akidah tauhid berikut implikasinya terhadap penyatuan (tauhid) pandangan mengenai kehidupan manusia dan alam semesta. Isra Mikraj mengedukasi umat Islam untuk meyakini bahwa Allah itu mahakuasa, mahasuci, dan mahatinggi sehingga apa yang harus diimani tidak selamanya harus langsung bisa dicerna akal sehat karena akal manusia itu terbatas. Apa yang belum ”rasional” pada masa itu sangat mungkin menjadi masuk akal dan sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi di kemudian hari.
Isra Mikraj mengedukasi kita untuk meyakini Allah dan Rasul-Nya yang memang layak dipercayai, karena keimanan itu sumber energi positif dan penggerak yang dapat mengaktualisasi segenap potensi yang dimiliki manusia. Dengan iman, manusia punya sandaran vertikal dalam menghadapi berbagai soal. Dengan iman pula manusia meyakini bahwa Allah selalu hadir, menyertai, dan merahmati manusia.
Isra Mikraj memodali mukmin untuk memiliki pandangan holistis bahwa tauhidullah itu harus ditindaklanjuti dengan tauhid al-ummah (integrasi umat) dan tauhid al-khalq (integrasi penciptaan) sehingga manusia memiliki pandangan dunia (worldview) yang luas dan komprehensif.
Pendidikan iman juga harus diintegrasikan dengan pendidikan ilmu (sains) dan amal. Sebab iman saja tanpa ilmu dan amal tidak bermakna apa-apa. Isra Mikraj membuka cakrawala berpikir secara luas dan melintas batas sehingga memotivasi kita untuk mengembangkan sains dan teknologi. Jika di masa Nabi SAW Isra Mikraj itu dianggap irasional, di era modern peristiwa ini sangat logis dan sesuai dengan sains dan teknologi. Teknologi kuantum dan komunikasi dewasa ini dengan mudah bisa menjelaskan supersoniknya peristiwa Isra Mikraj tersebut.
Berbasis filosofi iqraí bismi Rabbik, Isra Mikraj mengedukasi umat Islam untuk memajukan budaya riset dan produktivitas ilmiah. Ayat-ayat quríaniyyah dan ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) dikaji dan dipahami secara holistis integratif. Kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tidak lagi mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena semua itu sumbernya sama, yaitu Sang Pemilik ayat-ayat quríaniyyah dan ayat-ayat alam semesta. Di dalam Alquran sendiri terdapat tidak kurang dari 800 ayat yang berbicara tentang alam semesta seperti matahari, bumi, bulan, bintang, langit, tumbuhan, hewan, gunung, awan, hujan yang belum sepenuhnya dikaji dan dikembangkan secara holistis integratif melalui riset yang serius, terprogram, dan berkelanjutan.
Jika pendidikan iman dipadukan dengan pendidikan ilmu (sains), integrasi keduanya diharapkan dapat membuahkan amal saleh (kinerja yang baik). Pendidikan iman dan ilmu akan membentuk manusia beramal saleh, baik saleh personal, intelektual maupun saleh sosial dan kultural. Dan salat merupakan barometer baik dan tidaknya amal seseorang sekaligus amalan pertama yang akan diaudit oleh Allah di akhirat kelak (HR Muslim).
Artinya salat harus bermuara pada pembentukan karakter dan integritas moral muslim dalam kesehariannya. Bahkan pendidikan iman dan ilmu dari Isra Mikraj ini harus membuahkan amalan salat yang sukses, yaitu salat yang sukses mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar, termasuk korupsi (QS Al-Ankabut/29: 45). Jadi, Isra Mikraj mendidik umat untuk memiliki iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat, dan amal saleh yang bisa memberi maslahat bagi bangsa dan umat.
Sungguh Isra Mikraj sarat dengan pendidikan holistis integratif berbasis masjid sebagai simbol persatuan dan pusat pembangunan peradaban. Isra Mikraj mengajarkan pentingnya kesucian hati, pikiran, dan badan ketika berada di Rumah Allah. Integrasi ketiga kesucian ini merupakan pangkal pendidikan mental spiritual yang harus diaktualisasi melalui salat yang sukses, bukan salat yang celaka dan mencelakakan pelakunya (QS Al-Maíun [107]: 4-7) karena pelakunya tidak berhasil menerjemahkan pesan-pesan moral salat dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Isra Mikraj juga menegaskan pentingnya pendidikan spiritual, intelektual, moral, dan sosial kultural secara integratif. Tekun dan khusyuk berzikir—di mana salat merupakan zikir paling utama (QS Al-Ankabut/29: 45)—harus dipadukan dengan pengembangan nalar ayat-ayat semesta melalui riset dan pengembangan sains. Integrasi keduanya, spiritualitas zikir dan rasionalitas nalar ayat-ayat semesta, akan melahirkan moralitas perubahan kehidupan berkemajuan menuju terwujudnya peradaban yang agung.
Dengan kata lain, pendidikan holistis dari Isra Mikraj itu menghendaki integrasi zikir, pikir, dan taghyir (perubahan): dari kebodohan, kemiskinan, kemunduran, keterbelakangan, dan kezaliman menuju kecerdasan, keterampilan, kemakmuran, kesejahteraan, kemajuan, dan keadilan.
Dengan demikian, mikraj spiritualitas yang melangit harus membuahkan moralitas dan kearifan lokal yang membumi dalam bentuk harmoni, kerukunan, toleransi, kedamaian, dan kesatuan umat dan bangsa. Semoga Isra Mikraj Rasulullah SAW di tengah hiruk-pikuk Pilkada DKI yang beraroma pilpres ini bukan sekadar perjalanan spiritual mendekati Dzat Yang Mahasuci, melainkan juga menjadi perjalanan kemanusiaan yang membawa kesucian hati dan pikiran secara holistis menuju keluhuran moral dan keagungan peradaban bangsa di masa depan.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
ISRA Mikraj Nabi Muhammad SAW merupakan mukjizat kenabian yang terjadi setelah istri tercinta Khajidah dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia. Secara psikologis, Isra Mikraj merupakan strategi Allah untuk menghibur rasul-Nya yang sedang berduka, sekaligus meneguhkan mental spiritualnya dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan Islam sebagai rahmat bagi semesta raya.
Psikologi Isra Mikraj sejatinya merupakan sebuah psikologi pendidikan yang dalam hal ini Allah sebagai pendidik, Muhammad SAW sebagai peserta didik, Jibril sebagai fasilitator, alam semesta sebagai laboratorium dan media pendidikan, sedangkan perjalanan profetik (dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa dan dari Masjidilaqsa menuju Sidratil Muntaha dengan melintasi tujuh langit kehidupan lalu kembali lagi ke Mekkah) sebagai pengalaman belajar yang holistis integratif.
Tujuan utama Allah mengisra-mikrajkan Nabi SAW adalah menunjukkan kemahabesaran Allah SWT (linuriyahu min ayatina). Secara psikologis, Isra Mikraj mengedukasi dan menginspirasi Nabi SAW dan umat manusia untuk berwawasan luas, berpikir kreatif, mengembangkan pendidikan holistis integratif dengan menjelajahi alam semesta dan memajukan sains dan teknologi. Visi psikologis perjalanan Isra Mikraj adalah pembuktian integrasi semua alam di bawah kekuasaan, pengaturan, dan manajemen Allah SWT sehingga manusia tidak selayaknya menyombongkan diri, berlaku zalim, dan merasa paling kuasa, padahal hanya berdomisili di salah satu titik dari bumi Allah.
Psikologi Isra Mikraj itu adalah psikologi perjalanan lintas batas kemanusiaan yang berdimensi multieksistensi. Isra itu dimulai dengan perjalanan lintas masjid, dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa di Baitul Maqdis Palestina. Masjid itu pusat integrasi umat dan kesucian (fisik, hati, pikiran, dan tindakan). Adapun psikologi Mikraj itu perjalanan spiritual lintas langit dan lintas alam (alam malakut), dari Masjidilaqsa menuju Sidratil Muntaha (puncak segala eksistensi) dengan melintasi tujuh langit.
Ketika transit di setiap langit, Nabi SAW memperoleh pengalaman kenabian karena bertemu dan berdialog dengan para nabi sebelumnya. Dukungan moral dan psikologis dari para nabi di setiap langit kehidupan itu membesarkan hati Nabi SAW. Akhirnya, setelah melintasi tujuh langit, Nabi SAW berhasil mencapai puncak ”pendakian spiritual” di Sidratil Muntaha. Pada puncak keluhuran dan kesucian spiritual inilah Nabi SAW menerima perintah salat lima waktu. Jadi secara psikologis penetapan kewajiban salat lima waktu di Sidratil Muntaha memerlukan proses perjalanan dan pendakian mental spiritual. Karena itu Allah menegaskan bahwa salat itu sungguh berat, kecuali bagi orang yang khusyuk (QS Albaqarah [2]: 45).
Mengapa proses pewajiban salat lima waktu harus dilakukan dengan memikrajkan nabi-Nya hingga Sidratil Muntaha, sementara kewajiban syariat lainnya cukup diwahyukan melalui Jibril AS? Peristiwa Isra Mikraj ini sangat unik dan menarik jika dikonstruksi dari perspektif pendidikan holistis integratif, sebuah konsep pendidikan yang bersifat utuh, menyeluruh, dan integratif antara berbagai aspek pendidikan dan pendekatan pembelajaran, dengan melibatkan berbagai faktor yang dinilai turut mengonstruksi proses dan hasil pendidikan.
Isra Mikraj boleh jadi dipandang sebagai sebuah ”ilusi atau halusinasi” bagi orang yang tidak memercayainya karena bagaimana mungkin perjalanan Mekkah-Baitul Maqdis (Palestina)-Sidratil Muntaha (PP) bisa ditempuh kurang dari semalam? Peristiwa ini mungkin tidak bisa diterima akal sehat semata tanpa didasari iman yang kuat, jujur, dan tulus. Oleh karena itu Isra Mikraj itu berdimensi pendidikan iman. Artinya dengan iman (keyakinan) yang kuat, jujur, dan tulus, seseorang dapat memercayai bahwa peristiwa ini benar adanya.
Pendidikan iman mengajarkan pentingnya akidah tauhid berikut implikasinya terhadap penyatuan (tauhid) pandangan mengenai kehidupan manusia dan alam semesta. Isra Mikraj mengedukasi umat Islam untuk meyakini bahwa Allah itu mahakuasa, mahasuci, dan mahatinggi sehingga apa yang harus diimani tidak selamanya harus langsung bisa dicerna akal sehat karena akal manusia itu terbatas. Apa yang belum ”rasional” pada masa itu sangat mungkin menjadi masuk akal dan sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi di kemudian hari.
Isra Mikraj mengedukasi kita untuk meyakini Allah dan Rasul-Nya yang memang layak dipercayai, karena keimanan itu sumber energi positif dan penggerak yang dapat mengaktualisasi segenap potensi yang dimiliki manusia. Dengan iman, manusia punya sandaran vertikal dalam menghadapi berbagai soal. Dengan iman pula manusia meyakini bahwa Allah selalu hadir, menyertai, dan merahmati manusia.
Isra Mikraj memodali mukmin untuk memiliki pandangan holistis bahwa tauhidullah itu harus ditindaklanjuti dengan tauhid al-ummah (integrasi umat) dan tauhid al-khalq (integrasi penciptaan) sehingga manusia memiliki pandangan dunia (worldview) yang luas dan komprehensif.
Pendidikan iman juga harus diintegrasikan dengan pendidikan ilmu (sains) dan amal. Sebab iman saja tanpa ilmu dan amal tidak bermakna apa-apa. Isra Mikraj membuka cakrawala berpikir secara luas dan melintas batas sehingga memotivasi kita untuk mengembangkan sains dan teknologi. Jika di masa Nabi SAW Isra Mikraj itu dianggap irasional, di era modern peristiwa ini sangat logis dan sesuai dengan sains dan teknologi. Teknologi kuantum dan komunikasi dewasa ini dengan mudah bisa menjelaskan supersoniknya peristiwa Isra Mikraj tersebut.
Berbasis filosofi iqraí bismi Rabbik, Isra Mikraj mengedukasi umat Islam untuk memajukan budaya riset dan produktivitas ilmiah. Ayat-ayat quríaniyyah dan ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) dikaji dan dipahami secara holistis integratif. Kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tidak lagi mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena semua itu sumbernya sama, yaitu Sang Pemilik ayat-ayat quríaniyyah dan ayat-ayat alam semesta. Di dalam Alquran sendiri terdapat tidak kurang dari 800 ayat yang berbicara tentang alam semesta seperti matahari, bumi, bulan, bintang, langit, tumbuhan, hewan, gunung, awan, hujan yang belum sepenuhnya dikaji dan dikembangkan secara holistis integratif melalui riset yang serius, terprogram, dan berkelanjutan.
Jika pendidikan iman dipadukan dengan pendidikan ilmu (sains), integrasi keduanya diharapkan dapat membuahkan amal saleh (kinerja yang baik). Pendidikan iman dan ilmu akan membentuk manusia beramal saleh, baik saleh personal, intelektual maupun saleh sosial dan kultural. Dan salat merupakan barometer baik dan tidaknya amal seseorang sekaligus amalan pertama yang akan diaudit oleh Allah di akhirat kelak (HR Muslim).
Artinya salat harus bermuara pada pembentukan karakter dan integritas moral muslim dalam kesehariannya. Bahkan pendidikan iman dan ilmu dari Isra Mikraj ini harus membuahkan amalan salat yang sukses, yaitu salat yang sukses mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar, termasuk korupsi (QS Al-Ankabut/29: 45). Jadi, Isra Mikraj mendidik umat untuk memiliki iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat, dan amal saleh yang bisa memberi maslahat bagi bangsa dan umat.
Sungguh Isra Mikraj sarat dengan pendidikan holistis integratif berbasis masjid sebagai simbol persatuan dan pusat pembangunan peradaban. Isra Mikraj mengajarkan pentingnya kesucian hati, pikiran, dan badan ketika berada di Rumah Allah. Integrasi ketiga kesucian ini merupakan pangkal pendidikan mental spiritual yang harus diaktualisasi melalui salat yang sukses, bukan salat yang celaka dan mencelakakan pelakunya (QS Al-Maíun [107]: 4-7) karena pelakunya tidak berhasil menerjemahkan pesan-pesan moral salat dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Isra Mikraj juga menegaskan pentingnya pendidikan spiritual, intelektual, moral, dan sosial kultural secara integratif. Tekun dan khusyuk berzikir—di mana salat merupakan zikir paling utama (QS Al-Ankabut/29: 45)—harus dipadukan dengan pengembangan nalar ayat-ayat semesta melalui riset dan pengembangan sains. Integrasi keduanya, spiritualitas zikir dan rasionalitas nalar ayat-ayat semesta, akan melahirkan moralitas perubahan kehidupan berkemajuan menuju terwujudnya peradaban yang agung.
Dengan kata lain, pendidikan holistis dari Isra Mikraj itu menghendaki integrasi zikir, pikir, dan taghyir (perubahan): dari kebodohan, kemiskinan, kemunduran, keterbelakangan, dan kezaliman menuju kecerdasan, keterampilan, kemakmuran, kesejahteraan, kemajuan, dan keadilan.
Dengan demikian, mikraj spiritualitas yang melangit harus membuahkan moralitas dan kearifan lokal yang membumi dalam bentuk harmoni, kerukunan, toleransi, kedamaian, dan kesatuan umat dan bangsa. Semoga Isra Mikraj Rasulullah SAW di tengah hiruk-pikuk Pilkada DKI yang beraroma pilpres ini bukan sekadar perjalanan spiritual mendekati Dzat Yang Mahasuci, melainkan juga menjadi perjalanan kemanusiaan yang membawa kesucian hati dan pikiran secara holistis menuju keluhuran moral dan keagungan peradaban bangsa di masa depan.
(wib)