Perempuan yang (Belum) Merdeka

Jum'at, 21 April 2017 - 09:04 WIB
Perempuan yang (Belum)...
Perempuan yang (Belum) Merdeka
A A A
Jejen Musfah
Ketua Magister MPI UIN Jakarta dan Tim Ahli PB PGRI

SITI Aisyah, 25, asal Serang Banten dijadikan tersangka pembunuhan Kim Jong-nam di Bandara Internasional Kuala Lumpur Malaysia (15/2). Kim Jong-nam bukan warga biasa, dia adalah saudara tiri pemimpin Korea Utara, King Jong-un. Siti dan Doan Thi Huong diduga membunuh dengan memaparkan racun kimia VX nerve agetit terhadap wajah korban. Diduga Siti yang merupakan lulusan SD itu merupakan korban rekayasa pembunuhan berencana.

Kejadian ini menambah daftar panjang dan kelam nasib perempuan Tanah Air yang bekerja di luar negeri. Sebelumnya tenaga kerja wanita (TKW) kita berulang kali masuk penjara karena menjadi pengedar narkoba atau karena terlibat pembunuhan atau kekerasan terhadap majikannya, baik di Timur Tengah, Malaysia maupun Singapura.

Gaji Kecil

Perempuan kerap terpaksa harus bekerja di luar dan di dalam negeri. Pekerjaan mereka biasanya pembantu rumah tangga (PRT) atau buruh pabrik yang bergaji kecil, hanya cukup untuk menyambung hidup. Kadang gali lubang tutup lubang. Perempuan juga banyak terjerumus ke dunia malam, menjadi pekerja seks komersial (PSK) karena iming-iming materi.

Kondisi ini terjadi karena, pertama, perempuan menjadi penopang ekonomi keluarga sehingga tidak ada pilihan lain selain bekerja. Sebagai anak dari keluarga miskin atau janda dengan satu atau dua anak, mereka harus bekerja untuk membiayai keluarga. Pekerjaan mereka kerap berisiko tinggi, seperti kekerasan fisik dari majikan atau terkena HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome).

Kedua, pendidikan perempuan yang rendah. Keluarga dengan ekonomi lemah atau menengah kerap menjadikan perempuan sebagai objek yang harus lekas bekerja, bukan mendorongnya belajar hingga D-2, D-3, atau sarjana. Perempuan banyak bekerja dengan gaji kecil karena berpendidikan rendah dan tidak punya keterampilan khusus.

Tindakan Bersama


Keadaan ini memerlukan tindakan bersama: keluarga, dunia usaha, dan dunia industri (dudi), serta pemerintah. Pertama, keluarga wajib memberikan pendidikan yang baik bagi putra-putrinya. Sama dengan laki-laki, perempuan harus mengenyam pendidikan yang bagus, bukan hanya untuk bekerja profesional kelak tapi juga karena ia adalah pendidik dan panutan bagi anak-anaknya kelak. Perempuan kerap dipaksa menikah muda sehingga pendidikannya terputus.

Kedua, dudi melindungi perempuan dari kemungkinan risiko dalam bekerja. Contoh, pemberian cuti hamil yang cukup dan kepastian diterima bekerja setelah selesai cuti. Kecuali moratorium pengiriman TKW dengan pendidikan rendah ke negara-negara tertentu, pemerintah juga harus menindak tegas Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ilegal. Asuransi dan tunjangan khusus untuk perempuan tersebut semestinya tersedia sehingga perempuan merasa nyaman, tenang, dan senang dalam bekerja.

Ketiga, peran pemerintah jelas terlihat dalam paparan di atas. Masalahnya, pendidikan gratis, beasiswa pendidikan di tingkat dasar, menengah hingga PT belum tepat sasaran dan belum dinikmati banyak masyarakat miskin. Pendidikan harus betul-betul gratis bagi warga miskin agar kemiskinan struktural (turun-temurun) tidak terjadi.

Perempuan Merdeka

Hanya pendidikan yang bisa mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia. Pendidikan melahirkan perempuan yang merdeka pikirannya dan punya cita-cita tinggi. Merdeka pikiran artinya ia tidak mudah percaya janji gombal pihak-pihak yang memanfaatkan kelemahan dan fisiknya untuk keuntungan mereka. Ia bisa memilih jalan sendiri untuk maju dan bekerja sesuai kapasitas tertingginya dan tentu saja legal.

Perempuan harus percaya mereka bisa berhasil seperti laki-laki. Inilah semboyan Kartini, "Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata Aku tiada dapat! melenyapkan rasa berani. Kalimat Aku mau! membuat kita mudah mendaki puncak gunung."

Adapun cita-cita tinggi itu artinya perempuan tidak boleh berhenti berusaha dan belajar agar ia terampil. Keterampilan memungkinkan mereka bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak. Perempuan tidak selalu dalam posisi bergantung kepada laki-laki seperti ibu tunggal yang harus membesarkan anak-anak tanpa suami.

Kartini menulis, "Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam."

Perempuan perlu belajar demi meningkatkan kapasitasnya, bukan semata untuk berkarier di luar rumah, tetapi karena ia adalah pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Sekolah, lembaga kursus, dan PT tidak ada artinya bagi pertumbuhan karakter anak jika tidak ditopang kualitas ibu yang kompeten dalam mendampingi mereka.

Akhirnya menjadi perempuan bukan pilihan, tetapi menjadi perempuan yang berpendidikan harus diperjuangkan bersama. Melalui pendidikan dalam arti berwawasan luas itulah jalan bagi perempuan untuk merdeka. Merdeka dari pemikiran sempit dan budaya patriarki. Inilah asa Kartini 106 tahun yang lalu. "Adakah yang lebih hina daripada bergantung kepada orang lain," tulisnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0844 seconds (0.1#10.140)