Keberagaman dan Persatuan

Rabu, 19 April 2017 - 09:23 WIB
Keberagaman dan Persatuan
Keberagaman dan Persatuan
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Institute of Public Policy

PILKADA DKI Jakarta 2017 seolah-olah membuat kata “keberagaman” dan “persatuan” sebagai kata yang terpisah, bahkan tidak sedikit yang menganggapnya bertolak belakang. Kedua kata ini kebetulan menjadi tagline dari masing-masing pasangan calon gubernur DKI Jakarta sehingga mungkin untuk beberapa saat, kedua kata itu “harus” bercerai dulu dan semoga setelah pesta demokrasi hari ini selesai, kedua kata itu dapat menyatu lagi.

Bagi saya pribadi, kedua kata tersebut adalah satu rangkaian kata yang penting dan tidak dapat dipisahkan. Konteksnya terutama dalam peranan pemerintah daerah menjamin kesejahteraan bagi warganya dengan berdiplomasi di panggung internasional.

Pada masa depan seiring dengan terintegrasinya pasar dunia, peran negara di tingkat pusat semakin memudar dan mungkin hanya terbatas menetapkan kebijakan politik luar negeri. Sementara, proses berkegiatan dan berdiplomasi justru lebih banyak harus dilakukan pemerintah lokal, khususnya dalam hal menarik investasi dan membiayai pembangunan.

Oleh sebab itu, siapa pun pasangan calon gubernur yang mendapat suara terbanyak pada hari ini memiliki tanggung jawab untuk merawat keberagaman dan persatuan itu sebagai modal sosial untuk pembangunan daerah.

Tanggung jawab untuk merawat itu tidak mudah karena hampir segala aspek masyarakat telah terpapar risiko-risiko negatif dari ekonomi pasar yang semakin terintegrasi secara global. Urusan pembangunan jalan, waduk, rel kereta, jaringan listrik misalnya, kini sudah ada rencana integrasinya di ASEAN dan mitra-mitra kerja sama dari pemerintah maupun unsur bisnis negara-negara asing.

Untuk penyediaan lapangan kerja, investasi, penjualan produk dan jasa, layanan kesehatan, pendidikan, sampai pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) pun akan berkaitan dengan negosiasi negara lain. Kalaupun di level kementerian ada negosiasi antarnegara, implementasinya tetap membutuhkan komunikasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah.

Oleh sebab itu, Rogier dan Mellissen (2007) memetakan dua kelompok non-state actors yang tumbuh seiring dengan proses globalisasi yang mulai berkembang sejak Perang Dunia II sebagai pemain baru dalam politik luar negeri. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki non-territorial character seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perusahaan multinasional (MNC).

Dan kelompok kedua yang memiliki territorial character seperti negara-negara bagian dalam sistem federal, pemerintahan daerah hingga bagian terkecil sebuah kota. Negara, dalam hal ini pemerintah pusat, memiliki kekuasaan terbatas yang dapat mengintervensi pengelolaan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai territorial-non state actors.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) seminggu lalu yang membatasi kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam mengubah peraturan daerah adalah salah satu contohnya.

Perkembangan itu kemudian memisahkan kebijakan politik luar negeri dari diplomasi. Kebijakan politik luar negeri adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sebuah negara. Sementara, diplomasi adalah kelembagaan dan proses ketika negara dan kelompok-kelompok non-negara mewakili dirinya dan kepentingannya (Melissen dan Sharp, 2006:1).

Terkait dengan definisi tersebut, Rogier dan Mellissen mendefinisikan diplomasi pemerintah daerah sebagai city diplomacy, yaitu kelembagaan dan proses di mana kota membangun kerja sama dengan aktor lain di tataran internasional dengan tujuan mewakili dirinya dan kepentingannya.

Peran penting pemerintah daerah dalam diplomasi dapat kita lihat dari kasus kota-kota di China. Bueno, Wilson, dan kawan-kawan (2016) melakukan penelitian tentang peran pemerintah daerah di China dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga memengaruhi kebijakan politik luar negeri secara tidak langsung.

Dalam penelitiannya ditemukan bahwa pemerintah daerah yang lebih terbuka atas investasi luar negeri dan mempersiapkan kotanya untuk menampung investasi tersebut ternyata mendorong kotanya jauh lebih berkembang daripada kota lainnya di China. Pertumbuhan ekonomi China yang pesat juga ternyata lahir dari perencanaan yang matang dan ambisius dari masing-masing pemerintah daerah.

Pemerintah daerah tidak hanya membantu menampung investasi, tetapi juga memengaruhi kebijakan politik luar negeri China karena semakin meluasnya jaringan kerja pemerintah daerah ke negara-negara lain seperti di Amerika Serikat dan Eropa.

Salah satu bukti diplomasi pemerintah daerah di China adalah hubungan mereka dengan negara-negara bagian di pemerintahan Federal Amerika Serikat. Jumlah kantor perwakilan negara-negara bagian Amerika Serikat di China lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara lain.

Rupanya pemerintah daerah di China merespons keinginan negara-negara bagian Amerika Serikat dengan sigap. Fungsi dari kantor-kantor perwakilan ini adalah untuk menjaring investor asing dan mengidentifikasi peluang ekspor (Bueno 2012). Pada tahun 2008, negara-negara bagian di AS punya 245 kantor di 34 negara dan 43 dari kantor-kantor tersebut ada di provinsi-provinsi di China.

Contoh lain adalah Kantor Provinsi Bidang Hubungan Luar Negeri (the Provincial Office of Foreign Affairs alias POFA) di Kecamatan Shanghai yang mengoordinasi kegiatan perdagangan dengan 61 sister cities dan sister provinces di 47 negara, dan menerima kunjungan resmi dari 23 kepala negara asing sepanjang tahun 2003 (Bueno, Lima, and Almeida, 2013).

Hal ini tidak hanya dilakukan China dengan negara-negara maju. Sepanjang 2012-2016, saya termasuk yang menyaksikan sendiri betapa aktifnya pemerintah daerah dari China datang menawarkan program-program kerja sama ke Indonesia, bukan hanya dengan kementerian, tetapi juga dengan universitas dan unit bisnis.

Kegiatannya pun tidak serta-merta langsung terkait dengan investasi, tetapi mungkin karena Indonesia dipandang lebih cocok sebagai target pasar, maka yang kerap saya lihat adalah kegiatan pengenalan produk barang dan jasa, termasuk dari dunia pendidikan, dari China.

Kembali ke pilkada kita. Jakarta dan China memiliki dua karakter yang berbeda. Pemerintah daerah di China tidak memiliki partisipasi demokrasi langsung seperti yang kita rasakan pada hari ini.

Meluasnya wewenang pemerintah daerah di China adalah hasil dari sistem desentralisasi yang otoriter dan bukan desentralisasi otonomi seperti yang terjadi di Indonesia. Sistem pemerintahan mereka tetap dikendalikan oleh Partai Komunis, sementara di Indonesia melalui sistem pemilihan langsung. Artinya kita tidak dapat 100% mencontek atau mengharapkan apa yang dilakukan pemerintah daerah di China dapat dilakukan di Indonesia.

Pelajaran yang penting dari perkembangan dan agresifnya kota-kota di China adalah pentingnya kestabilan ekonomi dan politik di dalam kota. Pemda di China dapat menjelajahi dan membangun diplomasi dengan kota-kota lain dari negara bagian di Amerika Serikat hingga Kalkuta di India untuk dapat menarik investasi karena mereka dapat meyakinkan kota-kota di China stabil dan kondusif untuk investasi.

Warga Jakarta perlu lebih kerja keras untuk dapat menarik investasi dibandingkan warga di kota-kota China, terutama dalam jangka pendek ini menjaga kota tetap damai dan sejuk. Ini sebuah tantangan, tetapi juga sebuah peluang besar apabila kita dapat mengelola ketegangan dan keretakan sosial yang terjadi selama proses kampanye pilkada. Jakarta dapat menjadi contoh bagi provinsi lain di Indonesia dan juga kota-kota lain di luar negeri yang memiliki karakter pluralis seperti kita.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0762 seconds (0.1#10.140)