Konsistensi Otonomi Khusus Papua?

Sabtu, 08 April 2017 - 13:23 WIB
Konsistensi Otonomi...
Konsistensi Otonomi Khusus Papua?
A A A
Amiruddin
Ketua Papua Resource Center,
Mantan Anggota KPP-HAM Wamena dan Wasior

DALAM 2016/2017 ini, sudah dua kali isu Papua menjadi buah pembicaraan dalam forum PBB di Jenewa dan New York. Peristiwa tersebut perlu mendapat perhatian serius oleh DPR-RI dan pemerintah.

Pertama yang berbicara di forum resmi PBB itu adalah perwakilan resmi dari negara-negara pulau di Pasifik dengan kesamaan kultural dengan Papua. Kedua, tujuh negara Pasifik itu adalah anggota penuh PBB dengan hak yang sama seperti anggota PBB mana pun dalam berpartisipasi di semua forum PBB. Ketiga, topik yang dibicarakan adalah topik yang sangat menarik perhatian publik internasional, yaitu masalah pelanggaran HAM serius dan proses dekolonisasi Papua.

Sementara di Papua juga terjadi peristiwa kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa seperti ditembaknya guru, pengemudi ojek, dan anggota TNI di Puncak Jaya oleh kelompok perlawanan bersenjata. Di Lany Jaya, pilkada berujung kerusuhan massal yang memakan empat korban jiwa dan ratusan orang luka-luka karena panah dan parang. Hal itu seakan mengulang peristiwa pilkada di Kabupaten Puncak pada 2011, yang menelan 50 orang korban jiwa, ratusan luka-luka, dan puluhan rumah hangus.

Fenomena kekerasan bersenjata dan konflik politik yang memakan korban jiwa itu merupakan puncak gunung es dari permasalahan Papua yang tak kunjung tuntas. Jika ditilik data kekerasan bersenjata pada 2013/2014 saja telah terjadi 51 kali aksi penembakan dengan korban jiwa 46 jiwa, yang terdiri atas orang sipil, tentara, polisi, serta puluhan lainnya luka-luka.

UU Otsus Mangkrak
Setelah 15 tahun UU Otorita Khusus (Otsus) seperti mangkrak karena isinya tidak konsisten dijalankan. Paling tidak ada empat instrumen dalam UU Otsus Papua yang bisa menjadi sarana untuk menuntaskan permasalahan Papua jika dijalankan secara konsisten.

Pertama adalah pendirian partai lokal (parlok) di Papua. Jika parlok ini difasilitasi pemerintah pembentukannya sejak awal, kelompok-kelompok perlawanan politik dan kelompok bersenjata mungkin akan mentransformasikan diri mereka ke dalam ruang demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka. Karena pembentukan parlok dihalangi, maka saluran politik tersumbat.

Kedua, pembentukan Pengadilan HAM. Pemerintah pernah punya kesempatan emas untuk mendirikan Pengadilan HAM untuk Papua pada 2003/2004 seusai Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM dari Komnas HAM menuntaskan penyelidikan pelanggaran HAM berat di Wamena dan Wasior.

Kesempatan emas itu sirna begitu saja karena Jaksa Agung enggan menyidiknya. Akibatnya, kasus pelanggaran HAM berat di Wamena dan Wasior terkatung-katung dan membebani pemerintah sampai kini. Begitu pula dengan puluhan peristiwa pelanggaran HAM lain, yang belum sempat diperhatikan Komnas HAM.

Ketiga, pembentukan KKR Papua sama sekali tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal, KKR ini bisa menjadi kanalisasi bagi luapan perasaan diperlakukan tidak adil pada masa lalu. Melalui KKR, para korban dan peyintas bisa merasakan suara mereka didengar dan kondisi mereka dipulihkan. Ada kesempatan ketika UU tentang KKR disahkan pada 2004.

Sayangnya, UU KKR dibatalkan oleh MK pada 2005. Sejak itu untuk KKR pintu tertutup rapat. Singkatnya, karena inkonsisten dalam penanganan pelanggaran HAM, masalah HAM itu kini menjadi amunisi bagi kelompok perlawanan Papua di fora internasional.

Keempat, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai pilar pembaharuan budaya politik di Papua. MRP adalah semacam ruang partisipasi politik yang diperluas. Dengan konsep dasar, semua komponen masyarakat Papua bisa berpartisipasi melalui jalur kultural. Karena itu, MRP berisikan tokoh agama, adat dan perempuan. MRP baru dibentuk pada 2004.

Namun, dalam menjalankan kewenangannya banyak mendapat kendala, apalagi setelah MRP dianggap beraroma separatis. Bahkan, ada anggota MRP untuk periode 2011-2014, yaitu Agus Alua dan Hanna Hikoyabi tidak dilantik karena dianggap proseparatis. Kemudian MRP juga dipecah menjadi dua, yaitu di Manokwari dan Jayapura. Bahkan, untuk keanggotaan baru MRP telah tertunda setahun. Kini MRP sudah tidak signifikan dan lumpuh.

Satu-satunya instrumen UU Otsus yang jalan adalah instrumen ekonomi, yaitu dana Otsus yang setara 2% DAU Nasional, yang jumlahnya rata-rata Rp4 triliun per tahun untuk pengembangan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rakyat serta dana tambahan infrastruktur sekitar Rp1 triliun per tahun. Jika dihitung rata-rata, Dana Otsus yang sudah masuk ke Papua Rp60 triliun dan dana tambahan infrastruktur Rp15 triliun, jadi total keseluruhan Rp75 triliun. Jika saat ini sekolah-sekolah masih banyak tanpa guru dan buku, puskesmas tanpa dokter dan obat serta tingkat kemiskinan masih tinggi, ke mana saja dana Otsus sebesar itu?

Data BPS Papua pada 2016 menunjukkan persentase kemiskinan masih tinggi, yaitu Papua 28,54% dan Papua Barat 25,43% yang terkonsentrasi di pedesaan dan tertinggi di Indonesia. Sementara kekurangan dokter di Papua Barat 77,3% (111 puskemas) dan Papua 55,9% (219 puskesmas). Kekurangan bidan di Papua Barat 71,6% (102 puskesmas) dan Papua 70,8% (277 puskesmas). Itu menunjukkan bahwa Dana Otsus yang begitu besar belum mampu memperbaiki secara signifikan pelayanan publik dalam bidang kesehatan dan pengurangan jumlah penduduk miskin Papua.

Hak Interpelasi DPR

Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa elite-elite penggerak perlawanan politik Papua yang dikenal sebagai United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) telah berkelindan kuat dengan elite-elite politik negara-negara di Pasifik, terutama di Vanuatu, Marshal Island, Tongga, Tuvalu, Nauru dan Solomon Island. Mereka berhimpun dalam Melanesian Spearhead Group (MSG).

Melihat beberapa fenomena di atas, dapat dikatakan Papua kini berada dalam situasi genting. Diperlukan langkah terobosan agar situasi genting tidak terus berkembang. Langkah terobosan itu perlu diambil oleh DPR-RI, yaitu menggunakan hak interpelasi untuk bertanya kepada pemerintah mengapa UU Otsus Papua mangkrak dan instrumen pendukungnya tidak dijalankan setelah 15 tahun UU Otsus itu diimplementasikan.

Jika dilihat secara seksama, UU Otsus Papua adalah UU yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat Papua sekaligus bagi eksistensi negara Indonesia di Papua. Selain itu, juga berdampak luas bagi keadaan situasi kemanusiaan dan HAM di Papua.

Karena itu, sudah saatnya DPR mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk Papua sekarang, mengingat; pertama isu Papua telah menjadi isu internasional yang tidak bisa dibendung lagi. Paling tidak DPR perlu bertanya mengapa isu Papua yang tadinya hanya isu LSM-LSM kini bisa menjadi isu resmi negara-negara di Pasifik.

Kedua, mempertanyakan mengapa instrumen pokok UU Otsus tidak dijalankan sehingga berimplikasi pada persoalan HAM dan kemanusiaan yang menjadi perhatian dunia, dan kini telah memojokkan Indonesia di forum-forum internasional. Ketiga, mempertanyakan mengapa Dana Otsus yang demikian besar belum mampu memperbaiki pelayanan publik di bidang kesehatan dan memperkecil persentase kemiskinan di Papua.

Jika DPR tidak melakukan koreksi bersama pemerintah dalam forum interpelasi sekarang, ke depan pemerintah akan kesulitan dalam menghadapi kampanye internasional mengenai permasalahan HAM dan kemanusiaan di Papua. Kesulitan itu pertama, karena negara-negara di Pasifik akan terus memiliki keyakinan kuat bahwa Pemerintah RI memang tidak memiliki niat baik mengoreksi keadaan di Papua.

Kedua, Pemerintah RI tidak memiliki lagi instrumen hukum yang legitimasi untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan di Papua. Ketiga, gabungan dari kedua hal itu akan membuat kepercayaan (trust) masyarakat Papua akan terus tergerus.

Agar situasi tidak terus memburuk, maka langkah interpelasi itu mendesak untuk diambil DPR-RI. Bukankah selama ini DPR-RI memiliki Tim Khusus Pemantau Otonomi Khusus Papua? Sudah saatnya kerja Tim Pemantau itu diseriusi menjadi penggunaan hak interpelasi. Mungkin dari hasil interpelasi itu bisa dimulai dialog untuk merumuskan komitmen-komitmen baru dengan segenap komponen masyarakat Papua. Semoga.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0618 seconds (0.1#10.140)