Memaknai Hari Penyiaran Nasional

Sabtu, 01 April 2017 - 08:01 WIB
Memaknai Hari Penyiaran Nasional
Memaknai Hari Penyiaran Nasional
A A A
Yuliandre Darwis, PhD
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Unand

SETIAP tanggal 1 April, insan penyiaran Indonesia memperingati Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas). Tahun 2017, perayaan Harsiarnas ke-84 dipusatkan di Bengkulu. Harsiarnas menjadi bagian sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia.

Tentu, Harsiarnas tidak dimaknai sebagai rutinitas tahunan atau seremonial semata. Momentum bersejarah ini seharusnya diresapi, dimaknai, dan diserap energi positifnya dalam kerangka memberi napas baru kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik melalui informasi dan penyiaran.

Harsiarnas mempunyai dimensi historis dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sejak deklarasi Harsiarnas tahun 2009 di Solo dan kemudian setiap tahun diperingati stakeholders penyiaran, mempunyai relasi sejarah nasional.

Dengan kata lain, semangat Harsiarnas diilhami dari warisan historis penyiaran negeri ini. Salah seorang tokoh penyiaran Indonesia, Hari Wiryawan, melalui bukunya, Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia (2011), menuliskan bahwa pada 1 April 1933 KGPAA Mangkunegoro VII menggagas didirikannya Solosche Radio Vereeniging (SRV ) yang menjadi radio pertama milik bangsa Indonesia.

Saat mendirikan SRV, Mangkunegoro menyumbangkan uangnya sebanyak 600 gulden untuk membeli pemancar dan memberikan sumbangan tanah seluas 6.000 meter persegi bagi pendirian SRV.

Penggalan sejarah Mangkunegoro dan SRV menjadi gambaran sepenuhnya pengorbanan besar ditunjukkan kaum pribumi dalam mendirikan penyiaran secara mandiri. Media penyiaran dijadikan alat perjuangan bangsa.

Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam (2010), melalui tulisannya, Mangkunegoro dan SRV, pernah menulis bahwa SRV menyiarkan berita, program agama dan kebatinan, pembacaan dongeng anak-anak, petunjuk praktis bagi pendengar (aneka masakan, bordir, dan olahraga) serta musik tradisional.

Klenengan atau gamelan dan keroncong sering juga diperdengarkan radio ini, di samping wayang kulit purwo. Memutar lagu tradisional dan menolak musik Barat merupakan perlawanan budaya terhadap penjajah, di samping menumbuhkan kecintaan khazanah kesenian lokal.

Lembaran sejarah penyiaran mengajarkan pada kita bahwa spirit nasionalisme, solidaritas, kebangsaan, dan cinta Tanah Air harus menjadi pegangan teguh kita sebagai anak bangsa.

Dari sini, kita dapat memaknai bahwa penyiaran lebih banyak mengangkat dan mengapresiasi tayangan kearifan lokal dan mengutamakan kepentingan bersama, bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, golongan, apalagi ekonomi. Dimensi sejarah penyiaran menjadi inspirasi yang seharusnya dihidupkan dalam napas setiap zaman.

Menguatkan Solidaritas

Mewujudkan spirit Harsiarnas dibutuhkan kekompakan berbagai pihak, para pemangku kepentingan penyiaran. Partisipasi aktif pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia, lembaga penyiaran, forum masyarakat peduli penyiaran sehat, kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan komponen bangsa seutuhnya harus bersatu mewujudkan cita-cita bangsa melalui penyiaran.

Oleh karenanya, melalui tema “ Semangat Nawacita untuk Ketahanan Bangsa melalui Penyiaran yang Berkarakter dan Mencerdaskan“, seharusnya kita wujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perkembangan teknologi komunikasi dan penyiaran begitu cepat dan masif. Fenomena digitalisasi, konvergensi media, terpaan siaran asing, kompetisi industri penyiaran yang makin ketat, realitas hoax, maraknya informasi yang menyebar kebencian, siaran politik, orientasi rating menjadi tantangan bersama dunia penyiaran yang dihadapi saat ini, tidak terkecuali bagi Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator penyiaran.

KPI memiliki tugas mulia dalam mengemban amanah dunia penyiaran. Untuk periode kami di KPI Pusat misalnya, sudah 7 bulan kami diberi amanah konstitusi mengawal penyiaran Indonesia. Kami melalui berbagai fase-fase penting perjalanan penyiaran bangsa ini.

Selain melakukan pengawasan secara realtime terhadap lembaga penyiaran, KPI melewati momen bersejarah perpanjangan izin 10 lembaga penyiaran swasta yang habis masa izinnya pada tahun 2016. KPI dipercaya dunia sebagai Presiden IBRAF hingga tahun 2018. Pada Februari 2017 di Bandung, KPI menggagas Media for World Harmony bersama 57 negara di dunia.

Di samping itu, usaha untuk terus memperkuat posisi kelembagaan KPI dan KPID dalam sistem tata negara di Indonesia terus diperjuangkan bersama. Belum lagi bicara soal regulasi UU Penyiaran Nomor 32/2002 yang saat ini sedang menjadi pembahasan serius DPR RI dan mudah-mudahan tahun ini sudah bisa selesai.

Harapannya, UU Penyiaran menguatkan posisi kelembagaan KPI yang strategis ini sebagaimana telah diusulkan KPI Pusat saat rapat dengar pendapat umum dengan badan legislasi DPR RI, Kamis, 23 Maret 2017.

Mengawal dunia penyiaran membutuhkan solidaritas dan pengorbanan tulus seluruh komponen masyarakat. Sejarah Mangkunegoro dengan SRV dan sumbangsih tokoh-tokoh penyiaran nasional memberi pelajaran berharga bagi kita semua.

Melalui peringatan Harsiarnas, mari kita tanamkan spirit itu demi kepentingan bangsa dan negara, NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Selamat Harsiarnas, semoga penyiaran Indonesia lebih baik. Jayalah terus penyiaran Indonesia!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1445 seconds (0.1#10.140)
pixels