Never Change The Winning Team
A
A
A
DALAM dunia olahraga, mungkin Anda pernah mendengar ungkapan “Never change the winning team.” Ini terutama untuk olahraga beregu, seperti sepak bola, voli, bulu tangkis, dan berbagai cabang olahraga lainnya. Itulah yang dilakukan oleh tim sepak bola asal Prancis, Paris St Germain, ketika menghadapi Barcelona dalam babak 16 besar putaran kedua Liga Champions.
Pada putaran pertama yang berlangsung di Paris, Prancis, Paris St Germain mampu mencukur Barcelona dengan skor telak, 4-0. Maka, untuk bisa lolos ke babak berikutnya, Barcelona mesti menang dengan skor minimal 5-0 pada putaran kedua. Atau, kalau Paris St Germain mampu mencetak gol, maka Barcelona mesti membalasnya dengan jumlah gol yang lebih banyak lagi. Sekurang-kurangnya harus lebih dengan selisih 5 gol. Pada putaran pertama, Barcelona memakai skema 4-3- 3. Sementara lawannya, Paris St Germain memainkan pola 4-3- 2-1. Hasilnya? Saya sudah sebutkan tadi, Paris St. Germain mencukur Barcelona dengan skor 4-0. Lalu, bagaimana dengan putaran kedua?
Saya sangat tegang menyaksikannya. Secara dramatis, Barcelona ternyata mengubah skema permainannya dengan pola 3-4- 3. Sementara, Paris St Germain masih dengan pola sama. Hasilnya Anda tentu tahu. Barcelona mengandaskan Paris St Germain 6-1. Barcelona bukan hanya maju ke babak selanjutnya, tetapi juga menjadi tim pertama di dunia yang mampu lolos setelah tertinggal 4-0.
Fenomena yang sama juga terjadi pada tim sepak bola Spanyol. Pada 2008, tim Spanyol untuk pertama kalinya berhasil menjadi juara Piala Eropa. Lalu, dua tahun kemudian, tim Spanyol bahkan berhasil menjadi juara Piala Dunia. Empat tahun kemudian, pada Piala Dunia 2014 di Rio de Janeiro, Brasil, tim Spanyol tidak mengubah skuad, strategi dan komposisi pemainnya. Mereka masih memakai pelatih, skuad dan strategi yang lama. Hasilnya? Gagal total. Spanyol bahkan tak lolos ke putaran kedua.
Begitu pula di Piala Eropa 2016. Tim Spanyol hanya mampu melaju sampai babak 16 besar. Mereka disingkirkan Italia dengan skor 2-0. Dua ilustrasi tadi, dan saya percaya masih banyak lainnya, mungkin membuat kita perlu merenungkan kembali ungkapan “never change the winning team.” Kalau strategi sudah terbaca oleh lawan, untuk apa dipertahankan. Harus diubah!
Faktor Demografi
Fenonema yang terjadi di cabang olahraga itu ternyata berlaku pula di dunia bisnis. Anda bisa menyaksikannya. Perubahan dan disruption terjadi di mana-mana. Bisnis- bisnis baru bermunculan untuk menggantikan bisnis-bisnis lama yang telah usang dan tidak efisien. Lalu, inovasi dan teknologi mengalir deras karena inventor dan pengusaha saling berjejaring. Itu semua membuat perubahan berlangsung semakin cepat dan dalam waktu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bagaimana itu semua bisa terjadi? Saya ajak Anda untuk melihat dalam perspektif yang lebih besar.
Dunia usaha sudah bukan lagi menjadi hunian yang ramah. Sebaliknya malah ia menjadi dunia yang semakin keras. Anda tentu bisa merasakannya. Persaingan menjadi tidak semakin mudah, malah menjadi semakin keras. Seorang penguasa taksi konvensional, yang dulu sering dijadikan contoh, marah besar terhadap pemerintah. “Apa saya harus tutup saja dan mengalihkan investasi saya ke negara lain?!,” ujarnya sengit. Dan, pemicu dari itu antara lain adalah demografi. Jumlah penduduk kita, dan dunia, masih saja terus bertambah.
Pada 1 Januari 2015, jumlah penduduk dunia sudah menjadi 7,3 miliar jiwa. Sekarang jumlahnya tentu sudah bertambah lagi. Nanti tahun 2050 sudah akan menjadi 9 miliar. Ngeri, bukan? Semua itu tentu ada konsekuensinya. Pertama, kita semua dituntut untuk berproduksi lebih banyak lagi. Produksi pangan harus meningkat. Begitu juga produksi sandang dan papan, energi, air bersih, layanan transportasi, telekomunikasi, akses jalan, dan lain sebagainya. Pokoknya semuanya harus meningkat. Sementara tanahnya makin sempit. Kedua, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, muncul tekanan terhadap imbalan.
Bukan naik, malah sebaliknya semakin menurun. Anda merasakan fenomenanya bukan? Harga-harga bergerak semakin murah. Apalagi kalau produk atau jasanya sudah mengadopsi atau mendapat sentuhan teknologi dan persaingan dengan business model baru. Harga minyak mentah, gas dan energi alternatif lain misalnya, bergerak turun akibat teknologi hydraulic fracturing alias fracking di Amerika Serikat. Harga-harga produk telekomunikasi kita juga begitu. Menjadi semakin murah. Untuk produk hiburan, seperti musik atau film, juga begitu.
Anak-anak kita semakin mudah mendapatkan lagu-lagu atau film baru dengan mengunduhnya lewat berbagai situs internet. Di bisnis transportasi, Anda semua jelas merasakannya. Sejak beberapa tahun lalu, misalnya, tarif penerbangan menjadi kian terjangkau—terutama dengan hadirnya maskapai penerbangan yang mengusung konsep low cost carrier. Begitu juga dengan tarif untuk transportasi darat, seperti ojek atau taksi. Harga mobil juga begitu, sebentar lagi beredar mobil China yang harganya murah-meriah.
Lalu, di bisnis perhotelan. Buat Anda yang suka bepergian pasti merasakan betapa tarif hotel, atau berbagai penginapan lainnya, kian lama menjadi kian terjangkau. Itu semua berkat hadirnya berbagai aplikasi, seperti Pegipegi, Traveloka, Agoda atau Airbnb. Memang tak semua produk harganya bergerak turun. Cabai atau daging sapi, misalnya, masih menggila.
Mungkin perlu sentuhan teknologi dalam budi daya cabai atau peternakan sapi. Dan mungkin itu tak lama lagi. Benih-benihnya sudah ada. Misalnya, ada anak-anak muda yang mendirikan start up untuk melayani pemesanan produk-produk hortikultura dari masyarakat langsung ke petaninya.
Di negara-negara maju juga kian banyak anak muda yang mengembangkan konsep vertical farming. Mereka memanfaatkan ruang-ruang kosong di gedung-gedung tinggi untuk menanam sayur-sayuran. Hasilnya dijual ke masyarakat sekitar. Dengan mata rantai yang kian pendek, harga bisa lebih murah.
Berani Men-disrupsi
Begitulah, teknologi terus berkembang dan inovasi tak pernah berhenti mengalir. Ia hadir dan bakal men-disrupsi bisnis yang sudah usang, tidak efisien, sehingga mahal biayanya. Sayangnya memang tak semua jajaran manajemen perusahaan siap menghadapinya. Masih banyak di antara mereka yang masih meresponnya dengan cara-cara lama —cara yang pernah mengantarkan mereka ke era kejayaan.
Misalnya, dengan mengadu dan meminta perlindungan ke regulator, menuding ada predatory pricing atau harga dumping. Sampai berapa lama perusahaan-perusahaan akan mampu bertahan kalau jajaran manajemennya menyikapinya dengan cara-cara seperti itu? Mungkin mereka perlu menggali inspirasi kisah dari beberapa perusahaan lain yang mampu bertahan menghadapi tekanan disrupsi.
Betul, sebagian dari mereka belum sepenuhnya keluar dari kesulitan, tetapi saya menghargai upaya-upayanya untuk bangkit. Misalnya, PT Kereta Api Indonesia yang kini berhasil keluar dari tekanan akibat hadirnya maskapai penerbangan bertarif murah. Atau, PT Pos Indonesia yang berjuang habis-habisan untuk mengubah core business-nya dari jasa pos ke bisnis logistik dan jasa kurir.
Di Jepang, Anda mungkin mengenal merek Sony. Mereka dulu berjaya dengan bisnis TV, Walkman dan ponsel (ingat bukan dengan merek Sony Ericsson?). Kini, Sony fokus mengembangkan bisnis PlayStation-nya (PS). Mereka bukan mengembangkan alatnya, tetapi investasi habis-habisan di industri kreatif. Mereka mendorong anak-anak muda untuk mengembangkan berbagai game yang dapat dimainkan di PS.
Kini, bersama dengan Microsoft yang mengembangkan X-Box, jadilah Sony (dengan PS-nya) mendominasi pasar game dunia. Microsoft menguasai pasar di belahan utara, Sony di selatan. Apa benang merah yang bisa kita tarik dari pengalaman beberapa korporasi tadi? Simpel. Mereka berani merombak jajaran manajemennya.
Mereka berani menghadirkan “orang luar”, bahkan dari industri yang berbeda. Orang-orang seperti ini akan menjadi “darah baru” yang akan membawa perusahaan keluar dari zona nyaman. Maka, jangan terlalu yakin dengan ungkapan “never change the winning team.” Rombak saja tim kalau mereka tidak berani men-disrupsi dirinya sendiri!
Pada putaran pertama yang berlangsung di Paris, Prancis, Paris St Germain mampu mencukur Barcelona dengan skor telak, 4-0. Maka, untuk bisa lolos ke babak berikutnya, Barcelona mesti menang dengan skor minimal 5-0 pada putaran kedua. Atau, kalau Paris St Germain mampu mencetak gol, maka Barcelona mesti membalasnya dengan jumlah gol yang lebih banyak lagi. Sekurang-kurangnya harus lebih dengan selisih 5 gol. Pada putaran pertama, Barcelona memakai skema 4-3- 3. Sementara lawannya, Paris St Germain memainkan pola 4-3- 2-1. Hasilnya? Saya sudah sebutkan tadi, Paris St. Germain mencukur Barcelona dengan skor 4-0. Lalu, bagaimana dengan putaran kedua?
Saya sangat tegang menyaksikannya. Secara dramatis, Barcelona ternyata mengubah skema permainannya dengan pola 3-4- 3. Sementara, Paris St Germain masih dengan pola sama. Hasilnya Anda tentu tahu. Barcelona mengandaskan Paris St Germain 6-1. Barcelona bukan hanya maju ke babak selanjutnya, tetapi juga menjadi tim pertama di dunia yang mampu lolos setelah tertinggal 4-0.
Fenomena yang sama juga terjadi pada tim sepak bola Spanyol. Pada 2008, tim Spanyol untuk pertama kalinya berhasil menjadi juara Piala Eropa. Lalu, dua tahun kemudian, tim Spanyol bahkan berhasil menjadi juara Piala Dunia. Empat tahun kemudian, pada Piala Dunia 2014 di Rio de Janeiro, Brasil, tim Spanyol tidak mengubah skuad, strategi dan komposisi pemainnya. Mereka masih memakai pelatih, skuad dan strategi yang lama. Hasilnya? Gagal total. Spanyol bahkan tak lolos ke putaran kedua.
Begitu pula di Piala Eropa 2016. Tim Spanyol hanya mampu melaju sampai babak 16 besar. Mereka disingkirkan Italia dengan skor 2-0. Dua ilustrasi tadi, dan saya percaya masih banyak lainnya, mungkin membuat kita perlu merenungkan kembali ungkapan “never change the winning team.” Kalau strategi sudah terbaca oleh lawan, untuk apa dipertahankan. Harus diubah!
Faktor Demografi
Fenonema yang terjadi di cabang olahraga itu ternyata berlaku pula di dunia bisnis. Anda bisa menyaksikannya. Perubahan dan disruption terjadi di mana-mana. Bisnis- bisnis baru bermunculan untuk menggantikan bisnis-bisnis lama yang telah usang dan tidak efisien. Lalu, inovasi dan teknologi mengalir deras karena inventor dan pengusaha saling berjejaring. Itu semua membuat perubahan berlangsung semakin cepat dan dalam waktu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bagaimana itu semua bisa terjadi? Saya ajak Anda untuk melihat dalam perspektif yang lebih besar.
Dunia usaha sudah bukan lagi menjadi hunian yang ramah. Sebaliknya malah ia menjadi dunia yang semakin keras. Anda tentu bisa merasakannya. Persaingan menjadi tidak semakin mudah, malah menjadi semakin keras. Seorang penguasa taksi konvensional, yang dulu sering dijadikan contoh, marah besar terhadap pemerintah. “Apa saya harus tutup saja dan mengalihkan investasi saya ke negara lain?!,” ujarnya sengit. Dan, pemicu dari itu antara lain adalah demografi. Jumlah penduduk kita, dan dunia, masih saja terus bertambah.
Pada 1 Januari 2015, jumlah penduduk dunia sudah menjadi 7,3 miliar jiwa. Sekarang jumlahnya tentu sudah bertambah lagi. Nanti tahun 2050 sudah akan menjadi 9 miliar. Ngeri, bukan? Semua itu tentu ada konsekuensinya. Pertama, kita semua dituntut untuk berproduksi lebih banyak lagi. Produksi pangan harus meningkat. Begitu juga produksi sandang dan papan, energi, air bersih, layanan transportasi, telekomunikasi, akses jalan, dan lain sebagainya. Pokoknya semuanya harus meningkat. Sementara tanahnya makin sempit. Kedua, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, muncul tekanan terhadap imbalan.
Bukan naik, malah sebaliknya semakin menurun. Anda merasakan fenomenanya bukan? Harga-harga bergerak semakin murah. Apalagi kalau produk atau jasanya sudah mengadopsi atau mendapat sentuhan teknologi dan persaingan dengan business model baru. Harga minyak mentah, gas dan energi alternatif lain misalnya, bergerak turun akibat teknologi hydraulic fracturing alias fracking di Amerika Serikat. Harga-harga produk telekomunikasi kita juga begitu. Menjadi semakin murah. Untuk produk hiburan, seperti musik atau film, juga begitu.
Anak-anak kita semakin mudah mendapatkan lagu-lagu atau film baru dengan mengunduhnya lewat berbagai situs internet. Di bisnis transportasi, Anda semua jelas merasakannya. Sejak beberapa tahun lalu, misalnya, tarif penerbangan menjadi kian terjangkau—terutama dengan hadirnya maskapai penerbangan yang mengusung konsep low cost carrier. Begitu juga dengan tarif untuk transportasi darat, seperti ojek atau taksi. Harga mobil juga begitu, sebentar lagi beredar mobil China yang harganya murah-meriah.
Lalu, di bisnis perhotelan. Buat Anda yang suka bepergian pasti merasakan betapa tarif hotel, atau berbagai penginapan lainnya, kian lama menjadi kian terjangkau. Itu semua berkat hadirnya berbagai aplikasi, seperti Pegipegi, Traveloka, Agoda atau Airbnb. Memang tak semua produk harganya bergerak turun. Cabai atau daging sapi, misalnya, masih menggila.
Mungkin perlu sentuhan teknologi dalam budi daya cabai atau peternakan sapi. Dan mungkin itu tak lama lagi. Benih-benihnya sudah ada. Misalnya, ada anak-anak muda yang mendirikan start up untuk melayani pemesanan produk-produk hortikultura dari masyarakat langsung ke petaninya.
Di negara-negara maju juga kian banyak anak muda yang mengembangkan konsep vertical farming. Mereka memanfaatkan ruang-ruang kosong di gedung-gedung tinggi untuk menanam sayur-sayuran. Hasilnya dijual ke masyarakat sekitar. Dengan mata rantai yang kian pendek, harga bisa lebih murah.
Berani Men-disrupsi
Begitulah, teknologi terus berkembang dan inovasi tak pernah berhenti mengalir. Ia hadir dan bakal men-disrupsi bisnis yang sudah usang, tidak efisien, sehingga mahal biayanya. Sayangnya memang tak semua jajaran manajemen perusahaan siap menghadapinya. Masih banyak di antara mereka yang masih meresponnya dengan cara-cara lama —cara yang pernah mengantarkan mereka ke era kejayaan.
Misalnya, dengan mengadu dan meminta perlindungan ke regulator, menuding ada predatory pricing atau harga dumping. Sampai berapa lama perusahaan-perusahaan akan mampu bertahan kalau jajaran manajemennya menyikapinya dengan cara-cara seperti itu? Mungkin mereka perlu menggali inspirasi kisah dari beberapa perusahaan lain yang mampu bertahan menghadapi tekanan disrupsi.
Betul, sebagian dari mereka belum sepenuhnya keluar dari kesulitan, tetapi saya menghargai upaya-upayanya untuk bangkit. Misalnya, PT Kereta Api Indonesia yang kini berhasil keluar dari tekanan akibat hadirnya maskapai penerbangan bertarif murah. Atau, PT Pos Indonesia yang berjuang habis-habisan untuk mengubah core business-nya dari jasa pos ke bisnis logistik dan jasa kurir.
Di Jepang, Anda mungkin mengenal merek Sony. Mereka dulu berjaya dengan bisnis TV, Walkman dan ponsel (ingat bukan dengan merek Sony Ericsson?). Kini, Sony fokus mengembangkan bisnis PlayStation-nya (PS). Mereka bukan mengembangkan alatnya, tetapi investasi habis-habisan di industri kreatif. Mereka mendorong anak-anak muda untuk mengembangkan berbagai game yang dapat dimainkan di PS.
Kini, bersama dengan Microsoft yang mengembangkan X-Box, jadilah Sony (dengan PS-nya) mendominasi pasar game dunia. Microsoft menguasai pasar di belahan utara, Sony di selatan. Apa benang merah yang bisa kita tarik dari pengalaman beberapa korporasi tadi? Simpel. Mereka berani merombak jajaran manajemennya.
Mereka berani menghadirkan “orang luar”, bahkan dari industri yang berbeda. Orang-orang seperti ini akan menjadi “darah baru” yang akan membawa perusahaan keluar dari zona nyaman. Maka, jangan terlalu yakin dengan ungkapan “never change the winning team.” Rombak saja tim kalau mereka tidak berani men-disrupsi dirinya sendiri!
(wib)