Setelah 28 Tahun: Menebak Makna Kunjungan Wapres AS

Jum'at, 24 Maret 2017 - 10:06 WIB
Setelah 28 Tahun: Menebak...
Setelah 28 Tahun: Menebak Makna Kunjungan Wapres AS
A A A
Algooth Putranto
Alumni Paramadina Graduate School of Communication

TERHITUNG sudah enam presiden Amerika Serikat (AS) yang berkunjung ke Indonesia. Terakhir adalah anak Menteng, Barack Hussein Obama. Namun, hanya satu wakil presiden (wapres) AS yang pernah berkunjung ke Jakarta.

Kunjungan pertama wapres AS dilakukan oleh James Danforth Dan Quayle. Wakil Presiden Ke-41 George Herbert Walker Bush (Bush Senior) itu melakukan muhibah ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto pada April 1989.

Meski sebentar, kunjungan itu sangat menarik karena bersamaan menjelang kedatangan 12 pesawat tempur F16 model A-B yang kontrak pembeliannya telah diteken akhir Agustus 1986.

Jual beli pesawat tempur canggih senilai USD337 juta itu termasuk kontrak spare parts , perawatan, dan pelatihan. Pembelian pesawat tempur canggih yang menempatkan Indonesia saat itu sejajar dengan Thailand dan Singapura menandai keterlibatan BUMN strategis Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) memproduksi sekitar 35% komponen F16 (Hill, 1997).

Yang lebih menarik, akhir tahun itu juga tercatat sebagai waktu berlakunya Perjanjian Celah Timor tentang pengelolaan minyak antara Australia dan Indonesia untuk kerja sama wilayah di antara Provinsi Timor Timur dan Australia bagian utara.

Akhirnya kita semua tahu bahwa satu dekade kemudian, Timor Timur lepas dari Indonesia, pergantian kekuasaan terjadi di Indonesia, dan pesawat F16 terkena embargo oleh pemerintahan Amerika Serikat hingga November 2005.

Dan, rasanya menjadi sangat kebetulan jika kemudian kunjungan orang kedua Gedung Putih saat ini Michael R Pence pun dijadwalkan terjadi pada April mendatang. Artinya, berselang 28 tahun dari kunjungan Dan Quayle.

Secara umum rencana kunjungan Tuan Pence tak menimbulkan kehebohan, bisa jadi karena posisi seorang wapres di AS serupa di Indonesia yang lebih banyak dianggap hanya sebagai aksesoris sistem presidensial.

Beberapa malah sinis menyebut peran wapres hanya dipandang sebagai "ban serep." Maklum, di Indonesia hanya sedikit wapres yang diberikan kesempatan menjadi pendamping presiden. Saling mengimbangi bahkan kadang mengambil peran di depan.

Dari sederet wakil presiden Indonesia, saya mencatat hanya BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla yang diberikan kesempatan peran lebih dalam perannya sebagai wapres.

Nama terakhir, Jusuf Kalla, ketika menjadi wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun ketika saat ini mendampingi Presiden Joko Widodo kerap menjalankan peran pasang badan, menjadi tembok pengaman politik yang andal dan terpercaya.

Menjalankan peran yang ironisnya justru kerap secara sederhana dituding oleh publik sebagai bagian mencuri posisi presiden. Maklum, pemahaman publik Indonesia terhadap peran dan sosok wapres lagi-lagi telanjur tersubordinat.

Bagaimana di AS? Sejarah AS mencatat banyak wapres yang mampu mengambil peran dalam panggung politik tertinggi di AS. Sebagai contoh dua wapres terakhir ketika Dick Cheney berhasil mendampingi Presiden George W Bush maupun Joe Biden sebagai rekan sejalan Barack Obama. Dua wapres tersebut sukses menjalani perannya sebagai penyeimbang selama dua periode.

Demi Freeport?

Tak dapat dibantah menjelang kedatangan Tuan Pence muncul suara bahwa kedatangan wapres yang sangat jarang tersebut sebagai upaya lobi pemerintahan Donald Trump memuluskan langkah korporasi raksasa Freeport yang tengah melakukan negosiasi dengan Pemerintah Indonesia.

Suara tersebut tidak perlu dibantah karena akan sangat wajar terjadi dan dilakukan oleh sebuah negara dengan pemerintahan baru yang tengah memenuhi janji menggenjot diri kembali menjadi bangsa superior secara ekonomi.

Namun saya melihat, menjalankan lobi demi Freeport secara vis a vis dengan Pemerintah Indonesia adalah sebuah tindakan yang kurang strategis mengingat ada perjanjian strategy partnership yang memiliki prinsip kerja sama yang "positive-sum game" dengan keuntungan bagi semua.

Bagi pihak yang terlanjur skeptis dengan kedatangan Tuan Pence, ada baiknya menengok ke belakang ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Presiden Barack Obama, Oktober dua tahun lalu.

Dalam kunjungan tersebut, dua presiden menyaksikan penandatanganan 12 kesepakatan bisnis di bidang energi, transportasi, dan perluasan pabrik. Itu belum termasuk enam kesepakatan bisnis antara lain di bidang energi, konservasi air, dan perbankan syariah.

Total nilai kesepakatan bisnis yang dihasilkan dua tahun lalu mencapai USD20,075 miliar atau setara Rp273,4 triliun. Bandingkan dengan kehebohan dari kunjungan Raja Salman yang ternyata hanya menghasilkan investasi senilai Rp93 triliun.

Kesepakatan bisnis Indonesia dan Amerika tersebut di antaranya USD2,402 miliar dalam bentuk investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) di Indonesia atau sekitar Rp32,43 triliun serta USD175 juta atau sekitar Rp2,4 triliun berupa outward investment di Texas, AS.

Meski, tak dapat dimungkiri, janji investasi Freeport ke Indonesia senilai USD18 miliar atau sekitar Rp250 triliun jika dijamin dapat memperpanjang kontraknya hingga 2021. Seperti pernah diklaim Menteri ESDM Sudirman Said pada 2015, terlalu sulit untuk diabaikan Pemerintah Indonesia maupun Amerika.

Hanya, dengan posisi tawar Indonesia yang relatif tinggi, ditunjukkan lewat kedatangan banyak kepala negara maupun kecerdikan Indonesia untuk menjadi pemain baru bersama China dalam Trans-Pacific Partnership , AS wajib berhati-hati mengambil sikap.

Dengan begitu, dalam pandangan saya, kedatangan Tuan Pence dengan maksud menekan Indonesia demi sebuah kepentingan khusus, seperti misalnya Freeport, hanya akan mengganggu kerja sama strategis AS-Indonesia yang telah berlangsung dalam jangka panjang.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8697 seconds (0.1#10.140)