Dilema Pungutan Biaya Pendidikan
A
A
A
Jejen Musfah
Ketua Program Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Jakarta
KEPALA SMKN 8 Jember dan dua wakilnya diamankan Tim Saber Pungli. Sekolah berhasil mengumpulkan Rp120 juta dari hasil pungutan syarat ujian, yaitu Rp1 juta per siswa.
Polisi mengamankan uang sisa ujian Rp40 juta. Ini kasus terbaru dugaan pungutan liar yang dilakukan oknum kepala dan wakil kepala sekolah. Sebelumnya beberapa kepala sekolah ditangkap atas dugaan kasus yang sama.
Penangkapan kepala sekolah atas dugaan pungutan liar menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama kalangan pendidikan.
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20/ 2003 dan Permendikbud Nomor 44/2012 tentang Pungutan Biaya Pendidikan menyatakan bahwa masyarakat dan orang tua bertanggung jawab atau boleh berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan.
Sementara Perpres Nomor 87/ 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Permendikbud Nomor 75/ 2016 tentang Komite Sekolah melarang sekolah melakukan pungutan kepada orang tua siswa.
Komersialisasi Pendidikan
Beragam pungutan sudah berlangsung lama di sekolah. Mulai dari biaya masuk, buku, seragam, iuran bulanan, ekstrakulikuler, beragam ujian, studi banding, hingga perpisahan. Setiap sekolah bebas menentukan besaran pungutan tersebut karena pemerintah tidak mengaturnya secara tegas.
Akibat itu, sekolah-sekolah bagus dan favorit di perkotaan tidak terjangkau siswa kelas menengah, apalagi siswa miskin. Sekolah bagus identik dengan biaya mahal. Tidak hanya harus pintar, seorang siswa juga harus membayar mahal agar bisa masuk sekolah favorit dan bagus. Dengan kata lain, sekolah bagus tidak bisa diakses siswa-siswa pintar, tetapi miskin.
Sekolah menjelma lembaga bisnis yang tujuannya mendapat profit sebesar-besarnya. Prinsipnya untung-rugi, bukan nilai sosial demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih memprotes, para orang tua berlomba dan bangga memasukan anaknya ke sekolah-sekolah favorit meski mahal harganya.
Memang prestasi akademik siswa-siswa di sekolah-sekolah ini bagus. Misal, alumninya banyak diterima di perguruan tinggi negeri ternama. Siapa yang tidak tergiur dan berani bayar mahal.
Di sekolah favorit orang tua siap membayar apa dan berapa saja. Di sekolah umumnya satu-dua orang tua siswa memprotes kebijakan pungutan biaya pendidikan. Bagi siswa miskin, beragam pungutan di sekolah memang sangat memberatkan. Apalagi, pemerintah dan calon kepala daerah sering menyebutkan pendidikan gratis seiring penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Peran Orang Tua
Fakta menunjukkan bahwa pendidikan tidak terjangkau oleh banyak siswa miskin di negeri ini. Pendidikan tidak sepenuhnya gratis seperti digaungkan selama ini. Di awal masuk gratis, tetapi di tengah dan di akhir semester muncul beragam pungutan. Alasannya, dana sekolah tidak cukup menutupi semua kegiatan dan program sekolah.
Kondisi inilah yang melahirkan kebijakan pelarangan pungutan di sekolah, yaitu Perpres Nomor 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Permendikbud Nomor 75/ 2016 tentang Komite Sekolah. Kepala sekolah dan komite sekolah harus hati-hati dalam me-narik dan mengelola dana dari orang tua. Langkah ini mungkin efektif menghentikan pungutan liar di sekolah-sekolah, tetapi bukan berarti tanpa dilema.
Peran orang tua dalam pembiayaan pendidikan tetap diperlukan, khususnya bagi mereka yang mampu. Tanpa sumbangan orang tua siswa, sekolah akan berjalan sempoyongan untuk tidak mengatakan akan mati suri.
Dana BOS tidak akan bisa mencukupi biaya operasional sekolah, apalagi untuk membiayai program-program unggulan semisal mengikutsertakan siswa dalam lomba-lomba tingkat nasional dan internasional. Butuh biaya tidak sedikit menyiapkan para siswa terlibat dalam lomba akademik dan nonakademik.
Artinya, ketiadaan pungutan di sekolah akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan di sekolah, khususnya mutu lulusan. Seharusnya fungsi Tim Saber Pungli adalah memastikan pungutan masih dalam jumlah wajar dan bagi siswa mampu, bukan melarangnya sama sekali. Hal ini saya kira yang harus segera dicermati pemerintah agar sekolah bisa bermutu dan inovatif.
Jika tidak, kepala sekolah akan semakin banyak yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan program-program kreatif dan inovatif di sekolah. Bukankah program itu berjalan kalau ada dananya? Saat ini bisa jadi banyak kepala sekolah bersikap: "lebih baik diam tanpa kreasi, tetapi selamat daripada bekerja keras dan kreatif, tetapi penuh risiko".
Transparansi
Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala sekolah dan wakil kepala sekolah terkait pungutan liar di sekolah harus dijadikan momentum pentingnya transparansi manajemen keuangan sekolah. Pepatah menyebutkan, "Corruption is authority plus monopoly minus transparency".
Pertama, setiap pungutan harus mendapat persetujuan komite sekolah dan dinas pendidikan. Jika sudah disetujui, tidak ada niat jahat, dan untuk kepentingan siswa, kepala sekolah tidak harus takut terhadap Tim Saber Pungli.
Kedua, pungutan hanya bagi siswa mampu dan tidak disertai ancaman tertentu. Misal, melarang ikut ujian bagi siswa yang belum membayar. Ketiga, pemerintah segera mengevaluasi sekolah-sekolah berbiaya mahal, termasuk menurunkan besaran beragam pungutan. Tujuannya adalah sekolah-sekolah itu bisa diakses oleh siswa dari semua kalangan masyarakat.
Jadi, pungutan di sekolah tidak harus dihilangkan sama sekali, tetapi diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan orang tua miskin. Juga tidak menjadikan sekolah sebagai tempat menarik dana sebesar-besarnya dari orang tua mampu sebab manusia pendidikan tidak layak mencari keuntungan dari sekolah.
Tulisan Abdul Kalam berikut ini penting dibaca guru dan kepala sekolah, "If a country is to be corruption free and become a nation of beautiful minds, I strongly feel there are three key societal members who can make a difference. They are the father, the mother, and the teacher".
Ketua Program Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Jakarta
KEPALA SMKN 8 Jember dan dua wakilnya diamankan Tim Saber Pungli. Sekolah berhasil mengumpulkan Rp120 juta dari hasil pungutan syarat ujian, yaitu Rp1 juta per siswa.
Polisi mengamankan uang sisa ujian Rp40 juta. Ini kasus terbaru dugaan pungutan liar yang dilakukan oknum kepala dan wakil kepala sekolah. Sebelumnya beberapa kepala sekolah ditangkap atas dugaan kasus yang sama.
Penangkapan kepala sekolah atas dugaan pungutan liar menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama kalangan pendidikan.
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20/ 2003 dan Permendikbud Nomor 44/2012 tentang Pungutan Biaya Pendidikan menyatakan bahwa masyarakat dan orang tua bertanggung jawab atau boleh berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan.
Sementara Perpres Nomor 87/ 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Permendikbud Nomor 75/ 2016 tentang Komite Sekolah melarang sekolah melakukan pungutan kepada orang tua siswa.
Komersialisasi Pendidikan
Beragam pungutan sudah berlangsung lama di sekolah. Mulai dari biaya masuk, buku, seragam, iuran bulanan, ekstrakulikuler, beragam ujian, studi banding, hingga perpisahan. Setiap sekolah bebas menentukan besaran pungutan tersebut karena pemerintah tidak mengaturnya secara tegas.
Akibat itu, sekolah-sekolah bagus dan favorit di perkotaan tidak terjangkau siswa kelas menengah, apalagi siswa miskin. Sekolah bagus identik dengan biaya mahal. Tidak hanya harus pintar, seorang siswa juga harus membayar mahal agar bisa masuk sekolah favorit dan bagus. Dengan kata lain, sekolah bagus tidak bisa diakses siswa-siswa pintar, tetapi miskin.
Sekolah menjelma lembaga bisnis yang tujuannya mendapat profit sebesar-besarnya. Prinsipnya untung-rugi, bukan nilai sosial demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih memprotes, para orang tua berlomba dan bangga memasukan anaknya ke sekolah-sekolah favorit meski mahal harganya.
Memang prestasi akademik siswa-siswa di sekolah-sekolah ini bagus. Misal, alumninya banyak diterima di perguruan tinggi negeri ternama. Siapa yang tidak tergiur dan berani bayar mahal.
Di sekolah favorit orang tua siap membayar apa dan berapa saja. Di sekolah umumnya satu-dua orang tua siswa memprotes kebijakan pungutan biaya pendidikan. Bagi siswa miskin, beragam pungutan di sekolah memang sangat memberatkan. Apalagi, pemerintah dan calon kepala daerah sering menyebutkan pendidikan gratis seiring penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Peran Orang Tua
Fakta menunjukkan bahwa pendidikan tidak terjangkau oleh banyak siswa miskin di negeri ini. Pendidikan tidak sepenuhnya gratis seperti digaungkan selama ini. Di awal masuk gratis, tetapi di tengah dan di akhir semester muncul beragam pungutan. Alasannya, dana sekolah tidak cukup menutupi semua kegiatan dan program sekolah.
Kondisi inilah yang melahirkan kebijakan pelarangan pungutan di sekolah, yaitu Perpres Nomor 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Permendikbud Nomor 75/ 2016 tentang Komite Sekolah. Kepala sekolah dan komite sekolah harus hati-hati dalam me-narik dan mengelola dana dari orang tua. Langkah ini mungkin efektif menghentikan pungutan liar di sekolah-sekolah, tetapi bukan berarti tanpa dilema.
Peran orang tua dalam pembiayaan pendidikan tetap diperlukan, khususnya bagi mereka yang mampu. Tanpa sumbangan orang tua siswa, sekolah akan berjalan sempoyongan untuk tidak mengatakan akan mati suri.
Dana BOS tidak akan bisa mencukupi biaya operasional sekolah, apalagi untuk membiayai program-program unggulan semisal mengikutsertakan siswa dalam lomba-lomba tingkat nasional dan internasional. Butuh biaya tidak sedikit menyiapkan para siswa terlibat dalam lomba akademik dan nonakademik.
Artinya, ketiadaan pungutan di sekolah akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan di sekolah, khususnya mutu lulusan. Seharusnya fungsi Tim Saber Pungli adalah memastikan pungutan masih dalam jumlah wajar dan bagi siswa mampu, bukan melarangnya sama sekali. Hal ini saya kira yang harus segera dicermati pemerintah agar sekolah bisa bermutu dan inovatif.
Jika tidak, kepala sekolah akan semakin banyak yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan program-program kreatif dan inovatif di sekolah. Bukankah program itu berjalan kalau ada dananya? Saat ini bisa jadi banyak kepala sekolah bersikap: "lebih baik diam tanpa kreasi, tetapi selamat daripada bekerja keras dan kreatif, tetapi penuh risiko".
Transparansi
Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala sekolah dan wakil kepala sekolah terkait pungutan liar di sekolah harus dijadikan momentum pentingnya transparansi manajemen keuangan sekolah. Pepatah menyebutkan, "Corruption is authority plus monopoly minus transparency".
Pertama, setiap pungutan harus mendapat persetujuan komite sekolah dan dinas pendidikan. Jika sudah disetujui, tidak ada niat jahat, dan untuk kepentingan siswa, kepala sekolah tidak harus takut terhadap Tim Saber Pungli.
Kedua, pungutan hanya bagi siswa mampu dan tidak disertai ancaman tertentu. Misal, melarang ikut ujian bagi siswa yang belum membayar. Ketiga, pemerintah segera mengevaluasi sekolah-sekolah berbiaya mahal, termasuk menurunkan besaran beragam pungutan. Tujuannya adalah sekolah-sekolah itu bisa diakses oleh siswa dari semua kalangan masyarakat.
Jadi, pungutan di sekolah tidak harus dihilangkan sama sekali, tetapi diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan orang tua miskin. Juga tidak menjadikan sekolah sebagai tempat menarik dana sebesar-besarnya dari orang tua mampu sebab manusia pendidikan tidak layak mencari keuntungan dari sekolah.
Tulisan Abdul Kalam berikut ini penting dibaca guru dan kepala sekolah, "If a country is to be corruption free and become a nation of beautiful minds, I strongly feel there are three key societal members who can make a difference. They are the father, the mother, and the teacher".
(maf)