Program Deradikalisasi Efektif Tekan Aksi Terorisme
A
A
A
JAKARTA - Deradikalisasi dinilai efektif menekan dan mengurangi aksi terorisme. Maka itu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) aktif menerapkan program deradikalisasi terhadap para narapidana terorisme.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Hamidin mengatakan, sejak BNPT berdiri tahun 2010, sudah ratusan narapidana terorisme yang berhasil direhabilitasi dan resosialisasi ke masyarakat. Bahkan, kata dia mereka kini aktif membantu pemerintah dalam menjalankan program pencegahan terorisme baik melalui dakwah, diskusi dan berbagai aktivitas kemasyarakatan.
"Dulu teroris berani melakukan bom bunuh diri. Sekarang dari beberapa aksi teror di Jalan Thamrin, di Samarinda, dan di Bandung, mereka hanya bisa membuat bom dengan daya ledak rendah," ujar Hamidin dalam siaran persnya, Rabu (15/3/2017).
Menurutnya teror di Indonesia itu mengalami sejarah panjang dan meninggalkan angka kejahatan yang fantastis sejak tahun 2000 sampai sekarang. Bahkan jauh sebelumnya, lanjut dia juga sudah ada aksi terorisme di Indonesia seperti di era Presiden Soekarno, di mana pernah minimal tujuh kali pelemparan granat seperti di Cikini tahun 1957 dan penyerangan pesawat MIG17 tahun 1960.
Dia menambahkan, era Presiden Soeharto terjadi kasus Woyla, bom di empat kedutaan yaitu Jepang, Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat yang dilakukan WN Jepang, Tsutomo Sirhosaki, 14 Mei 1986. Kemudian di era reformasi terjadi Bom Bali dengan peledak 1.2 ton yang menewaskan 202 orang.
Dia mengakui dari ratusan bahkan ribuan narapidana terorisme yang menjalani deradikalisasi ada faktor kegagalanya, namun jumlahnya sedikit. Dia menuturkan mereka yang kembali beraksi tetapi ipemahaman radikalnya tidak sekuat dulu. (Baca: Indonesia-India Tukar Pengalaman Soal dan Terorisme)
"Buktinya pelaku bom Bandung dan Samarinda tidak berani melakukan bunuh diri. Itu tandanya pemahaman jihad mereka sudah menurun karena takut mati, dan itu buah dari deradikalisasi," tuturnya.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Hamidin mengatakan, sejak BNPT berdiri tahun 2010, sudah ratusan narapidana terorisme yang berhasil direhabilitasi dan resosialisasi ke masyarakat. Bahkan, kata dia mereka kini aktif membantu pemerintah dalam menjalankan program pencegahan terorisme baik melalui dakwah, diskusi dan berbagai aktivitas kemasyarakatan.
"Dulu teroris berani melakukan bom bunuh diri. Sekarang dari beberapa aksi teror di Jalan Thamrin, di Samarinda, dan di Bandung, mereka hanya bisa membuat bom dengan daya ledak rendah," ujar Hamidin dalam siaran persnya, Rabu (15/3/2017).
Menurutnya teror di Indonesia itu mengalami sejarah panjang dan meninggalkan angka kejahatan yang fantastis sejak tahun 2000 sampai sekarang. Bahkan jauh sebelumnya, lanjut dia juga sudah ada aksi terorisme di Indonesia seperti di era Presiden Soekarno, di mana pernah minimal tujuh kali pelemparan granat seperti di Cikini tahun 1957 dan penyerangan pesawat MIG17 tahun 1960.
Dia menambahkan, era Presiden Soeharto terjadi kasus Woyla, bom di empat kedutaan yaitu Jepang, Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat yang dilakukan WN Jepang, Tsutomo Sirhosaki, 14 Mei 1986. Kemudian di era reformasi terjadi Bom Bali dengan peledak 1.2 ton yang menewaskan 202 orang.
Dia mengakui dari ratusan bahkan ribuan narapidana terorisme yang menjalani deradikalisasi ada faktor kegagalanya, namun jumlahnya sedikit. Dia menuturkan mereka yang kembali beraksi tetapi ipemahaman radikalnya tidak sekuat dulu. (Baca: Indonesia-India Tukar Pengalaman Soal dan Terorisme)
"Buktinya pelaku bom Bandung dan Samarinda tidak berani melakukan bunuh diri. Itu tandanya pemahaman jihad mereka sudah menurun karena takut mati, dan itu buah dari deradikalisasi," tuturnya.
(kur)