Revisi UU dan Pelemahan KPK
A
A
A
ADA yang perlu diwaspadai dari langkah DPR terkait sosialisasi poin-poin revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke berbagai kampus. Sosialisasi RUU KPK ke kampus yang dilakukan wakil rakyat tersebut disinyalir mengandung niatan terselubung dalam upaya pelemahan KPK.
Menjadi kewajiban kita bersama untuk mengawasi dan mengawal apa maksud DPR di balik langkahnya dalam menghidupkan kembali rencana revisi UU KPK yang telah cukup lama berhenti itu. Apalagi rencana revisi UU KPK ini sudah dua kali ditolak. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga pernah menolaknya.
Kebijakan DPR yang tiba-tiba ini mengundang banyak kecurigaan. Apalagi saat ini KPK sedang gencar-gencarnya mengungkap banyak kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar. Salah satu yang kini sedang diungkap adalah kasus e-KTP yang berkasnya telah disidangkan perdana pada Kamis (9/3) lalu.
Seperti kita ketahui, dalam kasus e-KTP ini banyak sekali para pejabat diduga kecipratan uang haram tersebut. Data KPK menyebut dana Rp2,558 triliun dari total anggaran proyek KTP elektronik senilai Rp5,9 triliun menjadi bancakan ratusan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Selain dari kalangan pemerintah dan swasta, tidak sedikit mereka yang berasal dari para anggota atau mantan anggota DPR diduga menerima aliran dana ilegal tersebut.
Ditambah lagi, dalam setahun ini kinerja KPK terbilang sangat baik. Sebagai ilustrasi pada tahun 2016, ada 17 operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi yang dilakukan KPK. Hal ini merupakan jumlah OTT terbesar yang pernah dilakukan lembaga antirasuah ini sejak berdiri pada 2002 lalu.
Apakah langkah DPR yang mendadak melakukan sosialisasi materi revisi UU KPK di atas karena kekhawatiran terhadap sepak terjang lembaga pimpinan Agus Rahardjo tersebut?
Hanya para anggota Dewan yang bisa menjawabnya secara gamblang. Hanya saja, dilihat dari kengototannya memang patut dicurigai bahwa ada upaya untuk mengebiri keberadaan KPK tersebut.
Sosialisasi yang dilakukan DPR tersebut diduga untuk menggalang dukungan, memengaruhi, dan membentuk opini di kalangan kampus yang selama ini menolak keras rencana pengerdilan KPK tersebut. Jika dugaan tersebut benar, manuver DPR itu wajib kita tolak dengan tegas.
Revisi UU KPK yang dipaksakan tidak akan memberikan dampak positif bagi kinerja lembaga antikorupsi tersebut. Apalagi banyak dari poin-poin revisi UU KPK yang justru sangat melemahkan KPK.
Empat di antaranya adalah pencabutan kewenangan penyadapan, pencabutan kewenangan penuntutan, pembentukan dewan pengawas KPK, dan KPK diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Misalnya, tidak ada kewenangan menyadap atau menyadap harus izin pengadilan dipastikan akan membuat KPK mandul. Belum lagi dampak yang akan timbul dari pemberian kewenangan menghentikan kasus pada KPK.
Hal ini tentu akan berdampak negatif pada pemberantasan korupsi. Karena tak ada yang menjamin kalau nantinya banyak kasus yang “dipermainkan”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, DPR harus didesak untuk menghentikan upaya revisi UU KPK tersebut. Pertama, karena memang secara urgensi, revisi UU KPK belum mendesak dilakukan.
Masih banyak RUU lain yang membutuhkan penanganan dan prioritas DPR. Ditambah lagi, RUU KPK ini tak masuk dalam daftar RUU prioritas 2017.
Sebaliknya, tenaga DPR tersebut seharusnya disalurkan untuk fokus pada penyelesaian 50 RUU yang sudah masuk program legislasi (prolegnas) tahun ini. Misalnya RUU Pemilu dan Antiterorisme yang sudah benar-benar mendesak untuk disahkan.
Kedua, tanpa adanya revisi UU KPK pun, para penggiat antikorupsi tersebut sudah bisa bekerja cukup baik. Karena itu, tak ada alasan untuk dilakukan revisi UU KPK, apalagi semangatnya justru malah melemahkan.
Berkaca dari hal tersebut, DPR seharusnya introspeksi diri dan terus berbenah. Apalagi belum lama ini dinyatakan sebagai lembaga terkorup di Indonesia.
Banyaknya keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP misalnya, harus dijadikan pelajaran, bukan justru memperlemah KPK lewat revisi undang-undangnya. Ayo kita bangun budaya antikorupsi mulai dari diri kita.
Menjadi kewajiban kita bersama untuk mengawasi dan mengawal apa maksud DPR di balik langkahnya dalam menghidupkan kembali rencana revisi UU KPK yang telah cukup lama berhenti itu. Apalagi rencana revisi UU KPK ini sudah dua kali ditolak. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga pernah menolaknya.
Kebijakan DPR yang tiba-tiba ini mengundang banyak kecurigaan. Apalagi saat ini KPK sedang gencar-gencarnya mengungkap banyak kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar. Salah satu yang kini sedang diungkap adalah kasus e-KTP yang berkasnya telah disidangkan perdana pada Kamis (9/3) lalu.
Seperti kita ketahui, dalam kasus e-KTP ini banyak sekali para pejabat diduga kecipratan uang haram tersebut. Data KPK menyebut dana Rp2,558 triliun dari total anggaran proyek KTP elektronik senilai Rp5,9 triliun menjadi bancakan ratusan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Selain dari kalangan pemerintah dan swasta, tidak sedikit mereka yang berasal dari para anggota atau mantan anggota DPR diduga menerima aliran dana ilegal tersebut.
Ditambah lagi, dalam setahun ini kinerja KPK terbilang sangat baik. Sebagai ilustrasi pada tahun 2016, ada 17 operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi yang dilakukan KPK. Hal ini merupakan jumlah OTT terbesar yang pernah dilakukan lembaga antirasuah ini sejak berdiri pada 2002 lalu.
Apakah langkah DPR yang mendadak melakukan sosialisasi materi revisi UU KPK di atas karena kekhawatiran terhadap sepak terjang lembaga pimpinan Agus Rahardjo tersebut?
Hanya para anggota Dewan yang bisa menjawabnya secara gamblang. Hanya saja, dilihat dari kengototannya memang patut dicurigai bahwa ada upaya untuk mengebiri keberadaan KPK tersebut.
Sosialisasi yang dilakukan DPR tersebut diduga untuk menggalang dukungan, memengaruhi, dan membentuk opini di kalangan kampus yang selama ini menolak keras rencana pengerdilan KPK tersebut. Jika dugaan tersebut benar, manuver DPR itu wajib kita tolak dengan tegas.
Revisi UU KPK yang dipaksakan tidak akan memberikan dampak positif bagi kinerja lembaga antikorupsi tersebut. Apalagi banyak dari poin-poin revisi UU KPK yang justru sangat melemahkan KPK.
Empat di antaranya adalah pencabutan kewenangan penyadapan, pencabutan kewenangan penuntutan, pembentukan dewan pengawas KPK, dan KPK diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Misalnya, tidak ada kewenangan menyadap atau menyadap harus izin pengadilan dipastikan akan membuat KPK mandul. Belum lagi dampak yang akan timbul dari pemberian kewenangan menghentikan kasus pada KPK.
Hal ini tentu akan berdampak negatif pada pemberantasan korupsi. Karena tak ada yang menjamin kalau nantinya banyak kasus yang “dipermainkan”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, DPR harus didesak untuk menghentikan upaya revisi UU KPK tersebut. Pertama, karena memang secara urgensi, revisi UU KPK belum mendesak dilakukan.
Masih banyak RUU lain yang membutuhkan penanganan dan prioritas DPR. Ditambah lagi, RUU KPK ini tak masuk dalam daftar RUU prioritas 2017.
Sebaliknya, tenaga DPR tersebut seharusnya disalurkan untuk fokus pada penyelesaian 50 RUU yang sudah masuk program legislasi (prolegnas) tahun ini. Misalnya RUU Pemilu dan Antiterorisme yang sudah benar-benar mendesak untuk disahkan.
Kedua, tanpa adanya revisi UU KPK pun, para penggiat antikorupsi tersebut sudah bisa bekerja cukup baik. Karena itu, tak ada alasan untuk dilakukan revisi UU KPK, apalagi semangatnya justru malah melemahkan.
Berkaca dari hal tersebut, DPR seharusnya introspeksi diri dan terus berbenah. Apalagi belum lama ini dinyatakan sebagai lembaga terkorup di Indonesia.
Banyaknya keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP misalnya, harus dijadikan pelajaran, bukan justru memperlemah KPK lewat revisi undang-undangnya. Ayo kita bangun budaya antikorupsi mulai dari diri kita.
(poe)