PWI Kecam Larangan Siaran Langsung Sidang Kasus E-KTP
A
A
A
JAKARTA - Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat mengecam keras larangan siaran langsung sidang kasus dugaan korupsi E-KTP. Dewan Kehormatan PWI Pusat secara tegas meminta agar larangan peliputan siaran langsung sidang yang terbuka untuk umum segera dicabut.
Selain merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers, larangan tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang bebas, terbuka dan jujur. Larangan siaran langsung termasuk penghianatan terhadap semangat dan roh dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dewan Kehormatan PWI mengingatkan, sesuai dengan KUHAP apabila sidang dinyatakan terbuka untuk umum, berarti masyarakat atau publik boleh dan dapat mengetahui apa yang terjadi dalam proses persidangan. ”Filosofi dari sidang terbuka untuk umum agar pengadilan berjalan dengan fair dan adil, karena dapat disaksikan dan diawasi langsung oleh publik,” kata Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang dalam rilis yang diterima SINDOnews, Rabu (8/3/2017).
Dalam hal ini pers merupakan wakil dari publik yang tidak dapat datang ke sidang pengadilan. Dengan demikian, Dewan Kehormatan PWI Pusat menilai larangan ini sama saja dengan memasung hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam persidangan, memberangus kemerdekan pers.
Hal ini justru dapat memicu jalannya sidang peradilan yang tidak fair dan tidak jujur. ”Karena menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan hingga, sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi,” ujarnya.
Sesuai dengan ketentuan hukum, Dewan Kehormatan PWI Pusat berpendapat, hanya sidang peradilan anak dan kasus asusila saja yang bersifat tertutup tidak boleh disiarkan secara langsung. Hal ini karena untuk melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
Terkait adanya kekhawatiran para saksi akan saling memengaruhi jika sidang disiarkan langsung, seharusnya bukan pers yang dilarang meliput. Harusnya para saksi diatur sedemikian rupa sehingga saksi satu dan lainnya tidak saling mengetahui. ”Maka yang diperlukan aturan mengenai para saksi dan bukannya membungkam kemerdekaan persnya dengan melarang siaran langsung,” tuturnya.
Dewan Kehormatan menandaskan, larangan siaran langsung pengadilan kasus dugaan korupsi E-KTP merupakan langkah mundur di bidang peradilan, kemerdekaan pers, dan demokrasi. Jika ini dibiarkan makan berpotensi membentuk budaya peradilan yang tidak terbuka, tidak adil serta kotor.
Sebelumnya, Rabu (8/3/2017) Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Johanes Priana mengatakan, Pengadilan Tipikor melarang siaran langsung kasus dugaan korupsi E-KTP. Alasannya ketua PN Jakarta Pusat sudah mengeluarkan peraturan melarang siara langsung di lingkungan peradilan Jakarta Pusat.
”Keputusan hakim melarang siaran langsung sidang tersebut bisa memunculkan anggapan pengadilan telah diintervensi kekuatan di luar pengadilan. Ini benar-benar tidak sehat bagi upaya penegakan hukum dan transparan indormasi publik,” tandas Ilham.
Selain merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers, larangan tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang bebas, terbuka dan jujur. Larangan siaran langsung termasuk penghianatan terhadap semangat dan roh dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dewan Kehormatan PWI mengingatkan, sesuai dengan KUHAP apabila sidang dinyatakan terbuka untuk umum, berarti masyarakat atau publik boleh dan dapat mengetahui apa yang terjadi dalam proses persidangan. ”Filosofi dari sidang terbuka untuk umum agar pengadilan berjalan dengan fair dan adil, karena dapat disaksikan dan diawasi langsung oleh publik,” kata Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang dalam rilis yang diterima SINDOnews, Rabu (8/3/2017).
Dalam hal ini pers merupakan wakil dari publik yang tidak dapat datang ke sidang pengadilan. Dengan demikian, Dewan Kehormatan PWI Pusat menilai larangan ini sama saja dengan memasung hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam persidangan, memberangus kemerdekan pers.
Hal ini justru dapat memicu jalannya sidang peradilan yang tidak fair dan tidak jujur. ”Karena menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan hingga, sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi,” ujarnya.
Sesuai dengan ketentuan hukum, Dewan Kehormatan PWI Pusat berpendapat, hanya sidang peradilan anak dan kasus asusila saja yang bersifat tertutup tidak boleh disiarkan secara langsung. Hal ini karena untuk melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
Terkait adanya kekhawatiran para saksi akan saling memengaruhi jika sidang disiarkan langsung, seharusnya bukan pers yang dilarang meliput. Harusnya para saksi diatur sedemikian rupa sehingga saksi satu dan lainnya tidak saling mengetahui. ”Maka yang diperlukan aturan mengenai para saksi dan bukannya membungkam kemerdekaan persnya dengan melarang siaran langsung,” tuturnya.
Dewan Kehormatan menandaskan, larangan siaran langsung pengadilan kasus dugaan korupsi E-KTP merupakan langkah mundur di bidang peradilan, kemerdekaan pers, dan demokrasi. Jika ini dibiarkan makan berpotensi membentuk budaya peradilan yang tidak terbuka, tidak adil serta kotor.
Sebelumnya, Rabu (8/3/2017) Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Johanes Priana mengatakan, Pengadilan Tipikor melarang siaran langsung kasus dugaan korupsi E-KTP. Alasannya ketua PN Jakarta Pusat sudah mengeluarkan peraturan melarang siara langsung di lingkungan peradilan Jakarta Pusat.
”Keputusan hakim melarang siaran langsung sidang tersebut bisa memunculkan anggapan pengadilan telah diintervensi kekuatan di luar pengadilan. Ini benar-benar tidak sehat bagi upaya penegakan hukum dan transparan indormasi publik,” tandas Ilham.
(poe)