Beda Sadiq Khan dengan Ahok
A
A
A
Ma’mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
PUBLIK tentu masih ingat dengan nama Sadiq Khan. Imigran muslim keturunan Pakistan ini pada Mei 2016 berhasil mengukir sejarah politik baru di London dengan terpilih menjadi wali Kota London, Inggris.
Tak hanya muslim pertama yang menjadi wali kota di Inggris, Khan juga menjadi muslim pertama yang pernah memimpin ibu kota negara besar di Barat.
Untuk diketahui, komposisi muslim di London hanya 12,4%. Sementara Kristen berjumlah 48,4%, 1,8% Yahudi, dan sisanya 20,7% atheis.
Khan resmi terpilih setelah mengalahkan pesaingnya dari kubu konservatif Zac Goldsmith dengan 57% suara. Sementara Goldsmith hanya meraih 43% suara.
Kemenangan Khan ini oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pendukungnya sering dijadikan sebagai pembenar bagi pencalonannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Kalau Khan yang muslim saja bisa menjadi wali Kota London yang dihuni oleh mayoritas Kristen, kenapa Ahok yang Kristen tidak bisa menjadi gubernur di DKI Jakarta yang dihuni oleh mayoritas muslim? Kira-kira begitu pertanyaan pembenarannya.
Ahok dan Khan: Sama, tapi Berbeda
Sepintas kalau sekadar melihat dari sisi komposisi jumlah penduduk berdasarkan agama, antara Khan dan Ahok memang terdapat kesamaan. Khan terpilih menjadi wali Kota London yang dihuni mayoritas Kristen, sementara Ahok menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang dihuni mayoritas muslim. Namun, kalau ditelisik lebih jauh, jelas terdapat perbedaan mendasar antara Khan dan Ahok.
Seperti diketahui, Khan berasal dari keluarga muslim imigran keturunan Pakistan. Orang tuanya meninggalkan Pakistan pada dasawarsa 1960-an. Ayahnya seorang sopir bus dan mereka tinggal di sebuah rumah subsidi pemerintah di Tooting.
Khan mengambil jurusan hukum di sebuah universitas di London dan kemudian hari menjadi pengacara urusan hak asasi manusia. Khan yang acapkali berkubang dalam pelbagai kasus diskriminasi kemudian masuk ke gelanggang politik.
Pada 2008 Khan diberi kepercayaan menjabat sebagai menteri komunitas. Selang setahun ditunjuk menjadi menteri transportasi saat perdana menteri Inggris dijabat oleh Gordon Brown.
Jabatan yang dipandang belum seberapa itu membawanya sebagai menteri muslim pertama yang rutin menghadiri rapat kabinet. Khan kemudian menjadi anggota Privy Council, semacam Dewan Penasihat Kerajaan. Ketika resmi dinobatkan sebagai anggota, sumpah jabatan lazim dilontarkan di hadapan sang ratu.
Khan sangat sadar bahwa dirinya tinggal di London (Eropa). Sementara Eropa sangat lekat dengan nilai-nilai sekuler, liberal, egaliter, dan mengedepankan kebebasan individu.
Karena kesadarannya, Khan mencoba secara serius beradaptasi dengan nilai-nilai Eropa. Sebagai bukti, Khan misalnya mendukung LGBT, yang sudah tentu juga mendukung perkawinan kaum gay. Akibat itu, Khan sempat mendapat ancaman pembunuhan bertubi-tubi.
Pemenang Politician of The Year dalam ajang penghargaan British Muslim Awards 2016 ini mengaku pernah mendapat kiriman ancaman pembunuhan selepas memberikan persetujuan terhadap undang-undang pernikahan sejenis pada 2013. Akibat sikapnya ini, tidak tanggung-tanggung, imam masjid di Kota Bradford sempat memberikan fatwa agar Khan berikrar keluar dari Islam (murtad).
Sementara apa yang dilakukan Ahok sangat kontradiktif dengan Khan. Kalau Khan sangat menyadari tinggal di Eropa dengan segala nilai-nilai mainstream-nya dan muslim juga dalam posisi minoritas. Sebaliknya, Ahok justru menjadi cerminan orang yang tidak mampu memahami nilai-nilai mainstream yang berlaku di Indonesia.
Ahok gagal memahami Indonesia sebagai negara Pancasila yang menempatkan agama pada posisi sangat penting, yang tergambar dari Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 29 Ayat 1 dan 2 yang tegas menyebut bahwa negara Indonesia adalah “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, juga “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Indonesia memang bukan negara agama, tapi negara yang menempatkan agama pada posisi sangat penting. Inilah yang disebut “negara agamais” (religious country), bukan negara agama (religion state). Dalam konteks ini, Ahok telah gagal memahami Indonesia. Akibat kegagalannya ini, Ahok tidak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Tidak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai keindonesiaan ditandai dengan ulahnya yang selalu menantang atau melawan nilai-nilai mainstream yang ada di Indonesia. Terlalu sering Ahok mengolok-olok dan menista Islam, agama yang nilai-nilainya dianut oleh mainstream masyarakat Indonesia. Padahal, Ahok sendiri bukan seorang muslim.
Sekarang bahkan beredar video singkat terkait “jaringan WiFi”, di mana Ahok menyampaikan gagasan untuk membuat jaringan Wi-Fi dengan nama “al-Maidah 51” dan dengan nama password “kafir”. Isi video ini sangat sarkasme.
Meskipun konon ini video lama, isinya menambah deretan panjang pencerminan seorang Ahok yang tidak saja gagal dalam memahami nilai-nilai keindonesiaan, tapi juga gagal memahami dirinya sendiri. Orang yang paham tentang dirinya sendiri tentu tidak mungkin membuat beberapa kali kesalahan untuk hal yang sama, yaitu melecehkan Islam.
Pembelajaran untuk Semua
Sikap yang dipertontonkan Ahok sangat buruk bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sangat toleran. Bagi siapa pun yang melihat Indonesia dengan jernih, tentu melihat dengan segala sisi heterogenitasnya, sulit untuk menyebut sebagai negara intoleran. Namun, negara yang toleran ini tiba-tiba dibikin gaduh oleh seorang Ahok.
Umat Islam yang juga dikenal sangat toleran juga dibikin terusik oleh cacian dan nistaan yang dilakukan Ahok. Elite politik pendukung Ahok juga dibikin repot, repot karena harus mencari pembenaran dan pembelaan atas setiap sikap Ahok yang mengangkangi nilai-nilai keindonesiaan.
Dalam konteks sikap keagamaan, banyak orang yang sudah berada pada posisi “pertengahan” (wasathiyah) juga menjadi tergoda untuk mengecam sikap yang dipertontonkan oleh Ahok.
Saya meyakini, kecaman orang-orang wasathiyah ini bukan karena melihat identitas keagamaan seorang Ahok, tapi lebih karena melihat bahwa Ahok adalah sosok yang sangat berbahaya dan bisa mengancam nilai-nilai keindonesiaan yang toleran dan menjunjung tinggi kemajemukan.
Sosok Ahok ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama elite politik. Bersikap seperti yang dipertontonkan Ahok tidaklah patut untuk ditiru.
Siapa pun yang hendak terlibat dalam kancah politik praktis hendaknya belajar untuk mampu menghormati nilai-nilai mainstream yang berkembang dan berlaku di masyarakat.
Jangan mencoba mengganggu dan apalagi menista nilai-nilai agama yang dianut oleh kelompok mayoritas maupun minoritas. Selain bertentangan dengan Pancasila, sejatinya juga mengangkangi nilai-nilai demokrasi yang sangat menghargai prinsip-prinsip egalitarianisme.
Andai mampu bersikap seperti Khan, yakinlah, meskipun mungkin akan tetap mendapat tentangan dari sebagian umat Islam yang karena berangkat dari keyakinannya, kalau menyikapinya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesiaan, menghargai kemajemukan, termasuk kemajemukan pandangan keagamaan, toleran, dan irit bicara, apalagi untuk berbicara yang tak bermutu, yakinlah Ahok akan dengan mudah menggapai kembali kursi gubernur.
Semua kembali kepada Ahok. Ahok yang menanam dan Ahok pula yang akan menuai hasilnya.
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
PUBLIK tentu masih ingat dengan nama Sadiq Khan. Imigran muslim keturunan Pakistan ini pada Mei 2016 berhasil mengukir sejarah politik baru di London dengan terpilih menjadi wali Kota London, Inggris.
Tak hanya muslim pertama yang menjadi wali kota di Inggris, Khan juga menjadi muslim pertama yang pernah memimpin ibu kota negara besar di Barat.
Untuk diketahui, komposisi muslim di London hanya 12,4%. Sementara Kristen berjumlah 48,4%, 1,8% Yahudi, dan sisanya 20,7% atheis.
Khan resmi terpilih setelah mengalahkan pesaingnya dari kubu konservatif Zac Goldsmith dengan 57% suara. Sementara Goldsmith hanya meraih 43% suara.
Kemenangan Khan ini oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pendukungnya sering dijadikan sebagai pembenar bagi pencalonannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Kalau Khan yang muslim saja bisa menjadi wali Kota London yang dihuni oleh mayoritas Kristen, kenapa Ahok yang Kristen tidak bisa menjadi gubernur di DKI Jakarta yang dihuni oleh mayoritas muslim? Kira-kira begitu pertanyaan pembenarannya.
Ahok dan Khan: Sama, tapi Berbeda
Sepintas kalau sekadar melihat dari sisi komposisi jumlah penduduk berdasarkan agama, antara Khan dan Ahok memang terdapat kesamaan. Khan terpilih menjadi wali Kota London yang dihuni mayoritas Kristen, sementara Ahok menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang dihuni mayoritas muslim. Namun, kalau ditelisik lebih jauh, jelas terdapat perbedaan mendasar antara Khan dan Ahok.
Seperti diketahui, Khan berasal dari keluarga muslim imigran keturunan Pakistan. Orang tuanya meninggalkan Pakistan pada dasawarsa 1960-an. Ayahnya seorang sopir bus dan mereka tinggal di sebuah rumah subsidi pemerintah di Tooting.
Khan mengambil jurusan hukum di sebuah universitas di London dan kemudian hari menjadi pengacara urusan hak asasi manusia. Khan yang acapkali berkubang dalam pelbagai kasus diskriminasi kemudian masuk ke gelanggang politik.
Pada 2008 Khan diberi kepercayaan menjabat sebagai menteri komunitas. Selang setahun ditunjuk menjadi menteri transportasi saat perdana menteri Inggris dijabat oleh Gordon Brown.
Jabatan yang dipandang belum seberapa itu membawanya sebagai menteri muslim pertama yang rutin menghadiri rapat kabinet. Khan kemudian menjadi anggota Privy Council, semacam Dewan Penasihat Kerajaan. Ketika resmi dinobatkan sebagai anggota, sumpah jabatan lazim dilontarkan di hadapan sang ratu.
Khan sangat sadar bahwa dirinya tinggal di London (Eropa). Sementara Eropa sangat lekat dengan nilai-nilai sekuler, liberal, egaliter, dan mengedepankan kebebasan individu.
Karena kesadarannya, Khan mencoba secara serius beradaptasi dengan nilai-nilai Eropa. Sebagai bukti, Khan misalnya mendukung LGBT, yang sudah tentu juga mendukung perkawinan kaum gay. Akibat itu, Khan sempat mendapat ancaman pembunuhan bertubi-tubi.
Pemenang Politician of The Year dalam ajang penghargaan British Muslim Awards 2016 ini mengaku pernah mendapat kiriman ancaman pembunuhan selepas memberikan persetujuan terhadap undang-undang pernikahan sejenis pada 2013. Akibat sikapnya ini, tidak tanggung-tanggung, imam masjid di Kota Bradford sempat memberikan fatwa agar Khan berikrar keluar dari Islam (murtad).
Sementara apa yang dilakukan Ahok sangat kontradiktif dengan Khan. Kalau Khan sangat menyadari tinggal di Eropa dengan segala nilai-nilai mainstream-nya dan muslim juga dalam posisi minoritas. Sebaliknya, Ahok justru menjadi cerminan orang yang tidak mampu memahami nilai-nilai mainstream yang berlaku di Indonesia.
Ahok gagal memahami Indonesia sebagai negara Pancasila yang menempatkan agama pada posisi sangat penting, yang tergambar dari Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 29 Ayat 1 dan 2 yang tegas menyebut bahwa negara Indonesia adalah “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, juga “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Indonesia memang bukan negara agama, tapi negara yang menempatkan agama pada posisi sangat penting. Inilah yang disebut “negara agamais” (religious country), bukan negara agama (religion state). Dalam konteks ini, Ahok telah gagal memahami Indonesia. Akibat kegagalannya ini, Ahok tidak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Tidak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai keindonesiaan ditandai dengan ulahnya yang selalu menantang atau melawan nilai-nilai mainstream yang ada di Indonesia. Terlalu sering Ahok mengolok-olok dan menista Islam, agama yang nilai-nilainya dianut oleh mainstream masyarakat Indonesia. Padahal, Ahok sendiri bukan seorang muslim.
Sekarang bahkan beredar video singkat terkait “jaringan WiFi”, di mana Ahok menyampaikan gagasan untuk membuat jaringan Wi-Fi dengan nama “al-Maidah 51” dan dengan nama password “kafir”. Isi video ini sangat sarkasme.
Meskipun konon ini video lama, isinya menambah deretan panjang pencerminan seorang Ahok yang tidak saja gagal dalam memahami nilai-nilai keindonesiaan, tapi juga gagal memahami dirinya sendiri. Orang yang paham tentang dirinya sendiri tentu tidak mungkin membuat beberapa kali kesalahan untuk hal yang sama, yaitu melecehkan Islam.
Pembelajaran untuk Semua
Sikap yang dipertontonkan Ahok sangat buruk bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sangat toleran. Bagi siapa pun yang melihat Indonesia dengan jernih, tentu melihat dengan segala sisi heterogenitasnya, sulit untuk menyebut sebagai negara intoleran. Namun, negara yang toleran ini tiba-tiba dibikin gaduh oleh seorang Ahok.
Umat Islam yang juga dikenal sangat toleran juga dibikin terusik oleh cacian dan nistaan yang dilakukan Ahok. Elite politik pendukung Ahok juga dibikin repot, repot karena harus mencari pembenaran dan pembelaan atas setiap sikap Ahok yang mengangkangi nilai-nilai keindonesiaan.
Dalam konteks sikap keagamaan, banyak orang yang sudah berada pada posisi “pertengahan” (wasathiyah) juga menjadi tergoda untuk mengecam sikap yang dipertontonkan oleh Ahok.
Saya meyakini, kecaman orang-orang wasathiyah ini bukan karena melihat identitas keagamaan seorang Ahok, tapi lebih karena melihat bahwa Ahok adalah sosok yang sangat berbahaya dan bisa mengancam nilai-nilai keindonesiaan yang toleran dan menjunjung tinggi kemajemukan.
Sosok Ahok ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama elite politik. Bersikap seperti yang dipertontonkan Ahok tidaklah patut untuk ditiru.
Siapa pun yang hendak terlibat dalam kancah politik praktis hendaknya belajar untuk mampu menghormati nilai-nilai mainstream yang berkembang dan berlaku di masyarakat.
Jangan mencoba mengganggu dan apalagi menista nilai-nilai agama yang dianut oleh kelompok mayoritas maupun minoritas. Selain bertentangan dengan Pancasila, sejatinya juga mengangkangi nilai-nilai demokrasi yang sangat menghargai prinsip-prinsip egalitarianisme.
Andai mampu bersikap seperti Khan, yakinlah, meskipun mungkin akan tetap mendapat tentangan dari sebagian umat Islam yang karena berangkat dari keyakinannya, kalau menyikapinya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesiaan, menghargai kemajemukan, termasuk kemajemukan pandangan keagamaan, toleran, dan irit bicara, apalagi untuk berbicara yang tak bermutu, yakinlah Ahok akan dengan mudah menggapai kembali kursi gubernur.
Semua kembali kepada Ahok. Ahok yang menanam dan Ahok pula yang akan menuai hasilnya.
(poe)