Menggaet Fulus Saudi

Jum'at, 03 Maret 2017 - 08:20 WIB
Menggaet Fulus Saudi
Menggaet Fulus Saudi
A A A
Berly Martawardaya
Ekonom INDEF, Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), dan Pengajar Ekonomi Politik di FEB UI

KEDATANGAN Raja Arab Saudi Khadimul Haramain asy-Syarifain Salman bin Abdulaziz al-Saud menarik perhatian media massa dan masyarakat. Dari segi jumlah rombongan saja sudah fenomenal yaitu mencapai 1.500 orang sehingga harus membawa tujuh pesawat.

Pada tur keliling Asia yang pertama kali dilakukan setelah naik tahta pada 2015, Raja Salman selain ke Malaysia dan Indonesia juga akan mengunjungi Brunei, Jepang, China, dan Maladewa.

Arab Saudi adalah negara tempat berada Mekkah dan Madinah, dua kota suci umat Islam, yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mengunjungi sebagai bagian pelaksanaan haji.

Arab Saudi amat erat dalam benak masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar, tahun lalu saja ada 168.800 muslim Indonesia yang melaksanakan haji.

Sejak dahulu umat Islam Indonesia berusaha melaksanakan haji walau perjalanan yang masih menggunakan kapal laut memakan waktu lebih lama. Sisi positifnya banyak jamaah yang sekaligus menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah serta tidak langsung pulang setelah melaksanakan haji.

Di antara ulama Indonesia yang pernah menjadi imam Masjidilharam adalah Syekh Junaid al-Batawi, Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Keterikatan kultural Indonesia ke Saudi sangat kuat dan telah menjadi bahan banyak riset.

Budaya High, Ekonomi Low
Sampai saat ini hubungan kultural Indonesia dan Saudi masih kuat. Bukan rahasia bahwa Arab Saudi banyak memberikan bantuan di bidang keagamaan dengan membangun fasilitas rumah ibadah serta mendukung pendidikan dan yayasan keagamaan. Namun, kerja sama ekonomi Indonesia dan Arab Saudi masih lemah.

Pada 2015 ekspor Indonesia ke Arab Saudi sebesar USD2,16 miliar alias 1,4 % dari total ekspor. Arab Saudi ada pada peringkat ke-16 negara tujuan ekspor nonmigas Indonesia.

Adapun pada tahun yang sama Indonesia mengimpor dari Arab Saudi sebesar USD6,52 miliar (4,6% dari total impor). Artinya, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar USD4,4 miliar dengan Arab Saudi. Kalau dibedah lebih dalam, neraca nonmigas Indonesia masih surplus USD1,19 miliar, sedangkan migas defisit USD5,55 miliar.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan pada 2016 jumlah investasi dari Arab Saudi menempati posisi ke-57 dari semua negara investor di Indonesia. Adapun jumlah investasinya hanya USD900.000 atau Rp12 miliar saja yang tersebar di 44 proyek. Peringkat dan nilai investasi Arab Saudi bahkan di bawah Afrika Selatan dan Mali.

Nilai investasi ini kalah jauh dari posisi tiga besar yang ditempati oleh Singapura, Jepang, dan China. Investor terbesar nomor satu di Indonesia berasal dari Singapura dengan nilai USD 9,1 miliar atau sekitar Rp121 triliun yang terbagi dalam 5.874 proyek. Tapi, perlu agak kritis dengan data investasi Singapura yang kadang asal utamanya dari negara lain.

Investor terbesar kedua dari Jepang dengan nilai USD5,4 miliar atau sekitar Rp71,8 triliun di 3.302 proyek. Pemegang nomor ketiga adalah investor China dengan nilai investasi USD2,66 miliar atau sekitar Rp35,3 triliun di 1.734 proyek.

Kedatangan Raja Salman terjadi pada masa penurunan harga migas. APBN Arab Saudi 2017 menunjukkan bahwa dengan 69% pendapatan dari migas masih mengalami defisit sebesar 7,7% yang hampir tiga kali lipat Indonesia. Arab Saudi juga baru meluncurkan Vision 2030 yang menargetkan diversifikasi ekonomi ke sektor nonmigas, khususnya pariwisata dan UKM.

Pada launching reformasi ekonomi, Putra Mahkota Saudi menyatakan bahwa migas adalah kecanduan yang berbahaya bagi perekonomian masa depan negaranya.

Bagian dari program reformasi ekonomi adalah mengurangi subsidi (air, energi, dan BBM) dan meningkatkan pajak untuk memperbaiki kondisi fiskal. Sekitar 5% dari saham Aramco akan dijual untuk memperkuat sovereign wealth fund (SWF) yang menjadi tangan pelaksana di pasar investasi global.

Potensi Fulus
Kondisi Arab Saudi sekarang memiliki beberapa kemiripan dengan Indonesia paska-oil boom 80-an yang harus kreatif menggenjot sektor nonmigas dengan berbagai kebijakan supaya ekonomi tidak melambat signifikan. Namun, bedanya, Arab Saudi masih memiliki cadangan defisit yang tinggi sebagai pemegang cadangan minyak terbesar kedua di dunia atau 72,8 kali lipat cadangan minyak Indonesia.

Arab Saudi masih punya napas bila mengelola dana yang dimiliki dengan baik. Dubai adalah best practice negara yang bisa menghindari kutukan sumber daya alam (resource curse) dan secara terencana beralih dari penghasil migas menjadi pusat finansial, jasa, dan belanja di Timur Tengah.

Penandatanganan kilang minyak Cilacap sebesar USD6 miliar (Rp80 triliun) perlu dilihat dari kacamata ekonomi dan geopolitik. Secara ekonomi Indonesia adalah negara net importer minyak dalam dekade ke depan.

Kalaupun ditemukan ladang minyak baru, membutuhkan waktu untuk masuk ke tahap produksi, padahal jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat. Kilang minyak tersebut akan membutuhkan crude oil untuk diproses dan memang dalam beberapa tahun terakhir impor migas Indonesia dari Arab Saudi terus meningkat.

Dari segi geopolitik, Arab Saudi perlu memperkuat hubungan dengan Indonesia seiring peningkatan hubungan dengan Iran yang merupakan rivalnya di Timur Tengah. Pertamina dan National Iranian Oil Company (NIOC) pada Desember lalu menandatangani nota kesepahaman untuk melakukan preliminary study terhadap kedua lapangan minyak raksasa di Iran, yaitu Ab-Teymour dan Mansouri yang memiliki cadangan lebih dari 5 miliar barel.

Apabila Indonesia bisa memainkan kartu diplomasi luar negeri bebas aktif, berpotensi meraih manfaat dan membuka pintu ekspor ke dua negara tersebut. Dalam pertemuan di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo dan Raja Salman menandatangani 11 nota kesepahaman atau MoU antara lain mencakup ekonomi, kebudayaan, usaha kecil dan menengah, serta industri aeronautika.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Arab Saudi berjanji bakal membiayai pembangunan infrastruktur Indonesia lewat pinjaman bernilai USD1 miliar yang akan disalurkan melalui The Saudi Fund Contribution to the Financing of Development Project.

Sebesar USD750 juta akan dialokasikan pemerintah untuk membiayai proyek yang telah disepakati. Sisanya sebesar USD250 juta akan dialokasikan untuk mendanai atau mendukung kegiatan ekspor dari Arab Saudi ke Indonesia sektor nonmigas.

Presiden Jokowi juga menawarkan kerja sama pembangunan kilang minyak di Dumai, Balongan, dan Bontang. Liburan enam hari rombongan kerajaan di Bali juga diharapkan akan diikuti oleh warga Arab Saudi lain sehingga meningkatkan kunjungan dan pendapatan turisme Indonesia pada masa depan.

Hubungan panjang budaya antara Indonesia dan Arab Saudi sudah saatnya diperluas menjadi hubungan ekonomi yang saling menguntungkan dua negara. Moga kunjungan ini menjadi momentum penguatan yang berdampak jangka panjang. Insya Allah.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0752 seconds (0.1#10.140)