Dari Mana Dana LRT?
A
A
A
PT Kereta Api Indonesia (KAI) kini digadang-gadang menjadi investor kereta ringan atau light rail transit (LRT) untuk rute Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek). Semula KAI hanya akan bertindak sebagai operator.
Peran ganda yang akan dibebankan pada perusahaan transportasi massal milik negara itu karena kebutuhan dana pembangunan LRT sebesar Rp23 triliun tidak bisa sepenuhnya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, di sisi lain, PT Adhi Karya Tbk yang membangun sarana LRT sudah menghadirkan tak kurang dari 500 tiang dengan rute Cibubur-Cawang dan sekitarnya.
Menjadi pertanyaan besar mengapa proyek angkutan massal tersebut bisa dimulai sementara dana belum tersedia? Ada kekhawatiran kasus monorel yang hanya mampu menghadirkan tiang beton di tengah Kota Jakarta terulang lagi.
Kini pemerintah dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedang mengkaji penambahan tugas KAI sebagai investor. Mekanismenya, KAI sebagai perusahaan pelat merah akan mendapat suntikan dana berupa penyertaan modal negara (PMN) yang bersumber dari APBN.
Rencananya, persiapan dana suntikan KAI sebesar Rp5,6 triliun dari APBN 2017 atau 2018 sangat bergantung restu Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sumber dana selain dari PMN, pemerintah akan memanfaatkan pinjaman luar negeri oleh BUMN dan sokongan kredit dari sejumlah bank BUMN dan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Jadi, nanti beberapa BUMN diarahkan mencari pinjaman dari luar negeri dengan suku bunga rendah. Pinjaman luar negeri ditargetkan senilai Rp18 miliar untuk pembangunan LRT yang sudah berjalan.
Proyek transportasi massal ini dipatok selesai pada 2019, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta dituntaskan pada akhir 2018. Bagaimana dengan Adhi Karya sebagai kontraktor yang sudah menalangi proyek tersebut?
Deputi Kementerian BUMN Gatot Trihargo menyebutkan jatah PMN untuk perusahaan konstruksi milik negara itu sudah diberikan sebesar Rp1,4 triliun pada 2015. Dana PMN itulah yang dialokasikan dengan ditambah dana internal perseroan sebesar Rp600 miliar untuk menalangi biaya pembangunan LRT Jabodebek.
Gayung bersambut, Direktur Utama KAI Edi Sukmoro siap mengemban tugas negara meski tidak ringan bagi perusahaan sebab butuh dana yang besar. Keterlibatan KAI sebagai investor tinggal menunggu payung hukumnya.
Kabarnya, sebagaimana diungkapkan Edi Sukmono dalam waktu dekat peraturan presiden (perpres) segera terbit sebagai patokan KAI bertindak selaku investor. Di sisi lain, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi juga membuka pintu buat Adhi Karya menjadi investor bersama KAI sebagai salah satu bentuk sinergi BUMN. Saat ini progres dari proyek LRT sudah mencapai sekitar 14%.
Pembangunan LRT ini boleh dikata bagian dari mengurai benang kusut pada infrastruktur transportasi massal di Jakarta. Adhi Karya bertindak sebagai kontraktor tanpa mengantongi kontrak, apalagi hitung-hitungan pembiayaan.
Sejatinya, proyek LRT adalah “kelanjutan” dari proyek monorel yang mangkrak. Dana Adhi Karya sudah dibenamkan sebanyak Rp250 miliar yang hanya berakhir pada pembangunan tiang, dan tidak ada kepastian pengembalian dana tersebut. Seiring perjalanan waktu, Adhi Karya diberi lagi kesempatan menggarap LRT.
Namun, aturan perubahan proyek dari monorel ke LRT butuh waktu dan perusahaan yang sudah melantai di bursa efek itu tetap diminta melanjutkan proyek LRT. Adhi Karya tidak keberatan karena dijamin dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2015. Apalagi, groundbreaking proyek LRT langsung dilakukan Presiden Jokowi.
Sekarang proyek sudah berjalan kemudian disusul penandatanganan kontrak antara Adhi Karya dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebulan lalu. Sampai di situ semua berjalan lancar.
Tetapi, kelanjutannya muncul masalah besar sebab nilai proyek sebesar Rp23 triliun tidak bisa dibiayai APBN, sementara belum ada sumber pembiayaan lain. Langkah selanjutnya bisa ditebak, yakni pemerintah sibuk mencari alternatif pembiayaan di luar APBN.
Salah satu solusinya adalah menjadikan KAI selain sebagai operator, juga bertindak sebagai investor yang dananya berasal dari suntikan dana APBN berbentuk PMN. Jadi, pada intinya sumber dananya tetap sebagian berasal dari APBN dan selebihnya akan dibantu dari pinjaman luar negeri berbunga rendah.
Di atas kertas, sumber pembiayaan LRT sepertinya sudah aman dengan menugaskan KAI sebagai investor yang kini menunggu persetujuan Kemenkeu. Namun, tetap harus diantisipasi sebab bantuan atau pinjaman dari pihak luar sulit diwujudkan mengingat proyek yang akan dibiayai tidak terlalu menjanjikan, baik dalam pengembalian hasil investasi maupun waktu investasi yang masuk kategori jangka panjang.
Sudah jamak di negara mana pun pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan sulit mendatangkan keuntungan sehingga tetap harus disubsidi oleh negara.
Peran ganda yang akan dibebankan pada perusahaan transportasi massal milik negara itu karena kebutuhan dana pembangunan LRT sebesar Rp23 triliun tidak bisa sepenuhnya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, di sisi lain, PT Adhi Karya Tbk yang membangun sarana LRT sudah menghadirkan tak kurang dari 500 tiang dengan rute Cibubur-Cawang dan sekitarnya.
Menjadi pertanyaan besar mengapa proyek angkutan massal tersebut bisa dimulai sementara dana belum tersedia? Ada kekhawatiran kasus monorel yang hanya mampu menghadirkan tiang beton di tengah Kota Jakarta terulang lagi.
Kini pemerintah dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedang mengkaji penambahan tugas KAI sebagai investor. Mekanismenya, KAI sebagai perusahaan pelat merah akan mendapat suntikan dana berupa penyertaan modal negara (PMN) yang bersumber dari APBN.
Rencananya, persiapan dana suntikan KAI sebesar Rp5,6 triliun dari APBN 2017 atau 2018 sangat bergantung restu Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sumber dana selain dari PMN, pemerintah akan memanfaatkan pinjaman luar negeri oleh BUMN dan sokongan kredit dari sejumlah bank BUMN dan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Jadi, nanti beberapa BUMN diarahkan mencari pinjaman dari luar negeri dengan suku bunga rendah. Pinjaman luar negeri ditargetkan senilai Rp18 miliar untuk pembangunan LRT yang sudah berjalan.
Proyek transportasi massal ini dipatok selesai pada 2019, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta dituntaskan pada akhir 2018. Bagaimana dengan Adhi Karya sebagai kontraktor yang sudah menalangi proyek tersebut?
Deputi Kementerian BUMN Gatot Trihargo menyebutkan jatah PMN untuk perusahaan konstruksi milik negara itu sudah diberikan sebesar Rp1,4 triliun pada 2015. Dana PMN itulah yang dialokasikan dengan ditambah dana internal perseroan sebesar Rp600 miliar untuk menalangi biaya pembangunan LRT Jabodebek.
Gayung bersambut, Direktur Utama KAI Edi Sukmoro siap mengemban tugas negara meski tidak ringan bagi perusahaan sebab butuh dana yang besar. Keterlibatan KAI sebagai investor tinggal menunggu payung hukumnya.
Kabarnya, sebagaimana diungkapkan Edi Sukmono dalam waktu dekat peraturan presiden (perpres) segera terbit sebagai patokan KAI bertindak selaku investor. Di sisi lain, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi juga membuka pintu buat Adhi Karya menjadi investor bersama KAI sebagai salah satu bentuk sinergi BUMN. Saat ini progres dari proyek LRT sudah mencapai sekitar 14%.
Pembangunan LRT ini boleh dikata bagian dari mengurai benang kusut pada infrastruktur transportasi massal di Jakarta. Adhi Karya bertindak sebagai kontraktor tanpa mengantongi kontrak, apalagi hitung-hitungan pembiayaan.
Sejatinya, proyek LRT adalah “kelanjutan” dari proyek monorel yang mangkrak. Dana Adhi Karya sudah dibenamkan sebanyak Rp250 miliar yang hanya berakhir pada pembangunan tiang, dan tidak ada kepastian pengembalian dana tersebut. Seiring perjalanan waktu, Adhi Karya diberi lagi kesempatan menggarap LRT.
Namun, aturan perubahan proyek dari monorel ke LRT butuh waktu dan perusahaan yang sudah melantai di bursa efek itu tetap diminta melanjutkan proyek LRT. Adhi Karya tidak keberatan karena dijamin dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2015. Apalagi, groundbreaking proyek LRT langsung dilakukan Presiden Jokowi.
Sekarang proyek sudah berjalan kemudian disusul penandatanganan kontrak antara Adhi Karya dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebulan lalu. Sampai di situ semua berjalan lancar.
Tetapi, kelanjutannya muncul masalah besar sebab nilai proyek sebesar Rp23 triliun tidak bisa dibiayai APBN, sementara belum ada sumber pembiayaan lain. Langkah selanjutnya bisa ditebak, yakni pemerintah sibuk mencari alternatif pembiayaan di luar APBN.
Salah satu solusinya adalah menjadikan KAI selain sebagai operator, juga bertindak sebagai investor yang dananya berasal dari suntikan dana APBN berbentuk PMN. Jadi, pada intinya sumber dananya tetap sebagian berasal dari APBN dan selebihnya akan dibantu dari pinjaman luar negeri berbunga rendah.
Di atas kertas, sumber pembiayaan LRT sepertinya sudah aman dengan menugaskan KAI sebagai investor yang kini menunggu persetujuan Kemenkeu. Namun, tetap harus diantisipasi sebab bantuan atau pinjaman dari pihak luar sulit diwujudkan mengingat proyek yang akan dibiayai tidak terlalu menjanjikan, baik dalam pengembalian hasil investasi maupun waktu investasi yang masuk kategori jangka panjang.
Sudah jamak di negara mana pun pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan sulit mendatangkan keuntungan sehingga tetap harus disubsidi oleh negara.
(poe)