Jaga Integritas Pilkada

Rabu, 15 Februari 2017 - 08:24 WIB
Jaga Integritas Pilkada
Jaga Integritas Pilkada
A A A
Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

RABU, 15 Februari 2017 atau hari ini, secara serentak 101 daerah di Indonesia melaksanakan pemungutan suara untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil kota. Presiden Joko Widodo bahkan telah mengeluarkan keputusan menetapkan hari ini sebagai hari libur nasional.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) kali ini meliputi 7 pemilihan gubernur, 76 pemilihan bupati, dan 18 pemilihan wali kota. DKI Jakarta menjadi salah satu dari keseluruhan 7 provinsi yang pilkada. Provinsi yang juga menggelar pilkada, yaitu Aceh, Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat.

Data yang dilansir situs resmi KPU, pilkada2017 kpu.go.id menyebutkan, ada 310 pasangan calon (paslon) yang berkompetisi. Ada 241 paslon dicalonkan partai politik (parpol) dan 69 melalui jalur perseorangan.

Keseluruhan paslon tersebut terdiri atas 575 orang laki-laki dan 45 perempuan. Sekitar 103 orang di antaranya berlatar petahana. Ada total 41.205.115 pemilih terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT), yang 50.063 (0,12%) di antaranya adalah pemilih difabel.

Data dan angka itu bukan hanya besar dan menarik dari sisi statistik, juga menggambarkan betapa besar perhelatan demokrasi yang akan kita selenggarakan hari ini. Besar jumlah dan besar pengaruhnya bagi perjalanan Indonesia dalam meneguhkan pemilu sebagai pilihan sistem untuk melakukan sirkulasi elite.

Dinamika dan Problematika
Pilkada serentak 2017 berada di tengah proses menuju Pemilu 2019 yang tahapannya juga akan dimulai pada pertengahan 2017 ini. Pilkada 2017 akan jadi parameter jika kita bisa melaluinya dengan benar (baik prosedur maupun hasil yang terpilih), kita akan lebih siap pula menghadapi pemilu serentak legislatif dan presiden untuk pertama kalinya pada 2019.

Mengapa Pilkada 2017 bisa jadi parameter? Sebab, pada Pilkada 2017 melalui Pilkada DKI Jakarta, kita tengah diuji soal kompetisi yang beradab dan soliditas kita sebagai warga bangsa.

Pilkada DKI Jakarta mengooptasi mayoritas perhatian politik nasional. Menguasai berbagai pemberitaan media mainstream dan konvensional, muncul di ruang-ruang diskusi privat ataupun publik warga, dan melibatkan sentimen yang tak hanya soal politik. Isunya bergulir dan merembet ke mana-mana. Tidak hanya melibatkan sentimen warga Jakarta, juga Sabang sampai Merauke.

Namun, sekali lagi pilkada 2017 bukan hanya di Jakarta. Ada 100 daerah lainnya yang punya dinamika yang sama penting dan memengaruhi penguatan mutu demokrasi Indonesia.

Lebih dari itu, Pilkada 2017 tak lepas dari berbagai problematika yang bukan hanya jadi masalah Jakarta. Masalah yang kalau tak diantisipasi, diawasi, dan diselesaikan, akan bisa mengganggu integritas pilkada.

Misalnya, jelang pemungutan suara publik diresahkan dengan isu kartu tanda penduduk (KTP) elektronik palsu dan kejelasan penggunaan hak pilih oleh mereka yang tidak terdaftar di DPT. Polemik ini muncul karena ketentuan baru dalam UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memberlakukan “syarat administrasi kependudukan sebagai syarat memilih”. Di mana KTP elektronik digunakan sebagai basis pemutakhiran data pemilih.

Bila pemilih tidak terdaftar di DPT, pemilih bisa memilih jika membawa KTP elektronik (e-KTP) pada hari pemungutan suara. Jika belum memiliki e-KTP, pemilih bisa menggunakan surat keterangan (Suket) yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil. Itu pun mereka baru bisa menggunakan hak pilihnya setelah pukul 12.00 WIB.

E-KTP palsu dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk kepentingan pemenangan pilkada. Selain itu, penggunaan Suket yang dipakai sebagai pengganti e-KTP untuk memilih di pilkada menjadi kekhawatiran lainnya. Di DKI Jakarta saja tercatat sekitar 57.763 Suket yang diterbitkan dalam rangka pilkada. Bahkan 50.856 warga Tangerang Selatan “akan” menggunakan Suket pada Pilkada Banten 2017.

Suket hanya diberikan kepada mereka yang namanya ada di database kependudukan yang dimiliki pemerintah. Padahal menurut KPU, masih ada penduduk yang nyata-nyata merupakan warga negara Indonesia, tapi belum memiliki identitas kependudukan apa pun.

Bagaimana dengan hak pilih mereka? Bagaimana memastikan e-KTP dan Suket tidak dimanipulasi dan dipakai untuk pemenangan secara ilegal karena digunakan bukan oleh orang yang tidak berhak?

Kecurigaan pun muncul dan jadi kontroversi yang bisa merusak integritas pilkada. Selain itu, ada beberapa potensi pelanggaran lain yang bisa terjadi jelang pemungutan suara. Antara lain netralitas petugas penyelenggara, politik uang dalam berbagai variannya berupa janji atau pemberian uang dan/atau materi lainnya, intimidasi dan kekerasan psikologis serta fisik dengan maksud memengaruhi pemilih, manipulasi saat penghitungan dan rekapitulasi suara, kampanye di luar jadwal, serta kampanye jahat (penyebaran kabar bohong, fitnah, provokasi) di media konvensional ataupun media sosial.

Ikhtiar Bersama
Terkait hak pilih, konstitusi jelas menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk memilih di pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib melakukan ikhtiar maksimal untuk memastikan setiap warga negara yang punya hak pilih bisa menggunakan haknya dan terlayani dengan baik.

Tidak satu pun warga negara boleh dicederai hak konstitusionalnya untuk memilih. Selama prinsip “umum” dalam “LUBER” masih jadi landasan dalam penyelenggaraan pilkada, tak boleh ada satu pun hak pilih hilang karena syarat administrasi.

Temuan e-KTP palsu harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang tegas oleh aparat. Dalam konteks hari H pilkada, mesti diantisipasi dengan menguatkan kewaspadaan aktor-aktor pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS). Khususnya petugas KPPS, pengawas TPS, para saksi pasangan calon, dan warga pemilih untuk mencegah terjadinya manipulasi dan penyalahgunaan kartu identitas saat memilih.

Semua prosedur dan standar serta tata cara pemilihan di TPS mesti dilakukan dan diterapkan konsisten dan tertib. Kalau aturan main diberlakukan benar dan diimbangi pengawasan optimal, kecurangan pasti bisa diminimalkan. Semua punya tanggung jawab mencegah terjadinya pelanggaran. Bersama berikhtiar dan ambil bagian.

Pemilih yang punya hak pilih penting untuk mengikuti proses pungut hitung di TPS. Nikmati hari libur dengan "wisata" demokrasi bersama warga di lingkungan sekitar.

Kalau ada pemilih datang untuk memilih dengan membawa e-KTP atau Suket karena mereka tidak terdaftar di DPT, warga bisa bersama-sama ikut memastikan bahwa pemilih tersebut adalah pemilih yang berhak dan penggunaannya sesuai dengan ketentuan.

Saksi paslon juga harus jeli mengikuti setiap proses. Bukan karena tidak percaya kepada petugas penyelenggara, tapi sebagai kewaspadaan untuk mencegah terjadinya kecurangan dan penyimpangan. Selama ini banyak saksi paslon yang sekadar berorientasi mencatat hasil pungut hitung di TPS dan tidak terlalu peduli dengan proses teknis pemungutan dan penghitungan suara.

Paradigma saksi seperti itu yang harus direformasi. Militansi saksi harus dibangun untuk mengawal proses pilkada. Bukan berarti saksi paslon bertindak overacting dan responsif sporadis.

Militansi saksi dan tim paslon harus dibangun dengan berpegang teguh pada standar, prosedur, dan aturan main yang ada. KPU dan jajarannya harus dipastikan bekerja transparan dan akuntabel untuk mencegah kecurigaan dari publik atau paslon. Selain itu, aparatur birokrasi, polisi, TNI, dan semua pihak yang semestinya bersikap netral, wajib tetap menjaga netralitasnya.

Media diharap berimbang memotret daerah-daerah pilkada lain agar ada distribusi isu-isu kedaerahan yang sama dalam penyelenggaraan pilkada, tidak melulu soal Pilkada DKI Jakarta.

Pemilih mutlak memilih dengan benar. Memilih dengan mendasarkan pada rekam jejak dan kinerja pasangan calon, pada profesi mereka sebelumnya, untuk mengukur kemampuannya merealisasikan semua janji, visi, misi, dan programnya.

Harapannya, pilkada serentak 2017 tidak hanya baik secara prosedur, juga menghasilkan pemimpin berkualitas yang berpihak pada rakyat. Demokrasi bernilai jika menghasilkan pemimpin yang mampu menciptakan peluang, pembangunan, dan pelayanan publik lebih baik bagi rakyatnya. Bukan sebaliknya, memecah dan membelah warga. Mari bersama jaga dan kawal integritas pilkada kita.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0875 seconds (0.1#10.140)