Tak Berhentikan Ahok, Presiden Melanggar Hukum?
A
A
A
H Ikhsan Abdullah SH MH
Praktisi Hukum pada Kantor Law Firm H Ikhsan Abdullah & Partners
PRESIDEN Jokowi sedang mempertontonkan pembangkangannya kepada hukum. Sabtu 11 Februari 2017 lalu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah aktif kembali sebagai gubernur DKI Jakarta setelah kurang lebih 3,5 bulan menjalani masa cuti.
Sesuai ketentuan UU Pilkada, Ahok sebagai gubernur petahana harus cuti bila mengikuti pencalonan kembali sebagai calon gubernur. Namun sesuai ketentuan UU Pemerintah Daerah, gubernur dalam status terdakwa dan diancam hukuman lima tahun atau lebih maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai gubernur.
Hal itu diatur sangat jelas dalam Pasal 83 ayat 1 dan 2. Namun pada pelaksanaannya, presiden tidak mengindahkan ketentuan undang-undang tersebut yang seharusnya dijalankan dengan semestinya, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan adil dan berkepastian.
Sesuai prinsip equality before the law sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UUD 45, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan pemerintahan. Inilah yang harus dilaksanakan oleh Jokowi sebagai presiden RI.
Dengan tidak melaksanakan kewajibannya menegakkan konstitusi negara, Jokowi bukan saja melanggar konstitusi RI, yakni UUD ’45, namun sekaligus juga sedang mempertontonkan pembangkangannya terhadap hukum dan prinsip antidiskriminasi.
Persoalan pemberhentian kepala daerah adalah ruang lingkup hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang dijadikan acuan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini sebagai konsekuensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) dan bukan negara atas dasar kekuasaan (macht staat).
Pemberhentian Ahok sebagai kepala daerah, murni harus dilakukan berdasarkan pada ketentuan undang-undang. Inilah konsekuensi dari pilihan negara hukum dan bukan atas dasar kekuasaan. Itu bunyi Penjelasan UUD 1945.
Terjadinya intervensi politik terhadap hukum dalam kasus Ahok yang aktif kembali sebagai gubernur, men-down grade kedudukan negara hukum dan berpotensi menyebabkan kegaduhan masyarakat yang berujung pada keadaan masyarakat yang tidak stabil dan dapat bereskalasi luas sehingga situasi menjadi tidak stabil (instabilitas) nasional.
Setidaknya terdapat tiga ketentuan hukum terkait dalam kasus aktifnya kembali Ahok sebagai gubernur definitif yaitu; (1) UU Nomor 10/2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, (2) UU Nomor 23/2014 tentang pemerintahan daerah, dan (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berkaitan dengan pemilihan kepala daerah.
Aktifnya kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta secara definitif, menimbulkan persoalan hukum yang amat kompleks dan menciptakan kegaduhan baru dari sisi hukum dan politik, maka DPR harus segera melaksanakan fungsi kontrolnya atas pelanggaran serius yang dilakukan oleh mendagri dan presiden terhadap ketentuan UU tersebut, agar jangan sampai masyarakat akan melakukan ikhtiar sendiri-sendiri untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri (anarkis).
Tentu saja hal itu sesuatu yang harus dihindari. Jalan terbaik tentu harus membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji.
Ada baiknya kita cek kembali UU Pemilihan Kepala Daerah, yakni UU Nomor 23/2014. Pasal 83 ayat 1 yang menegaskan bahwa “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal ini pula dalam ayat (3) mengatur kewajiban hukum Presiden untuk memberhentikan gubernur Ahok sebagai kepala daerah DKI Jakarta. Pasal tersebut sebagai landasan konstitusional untuk dijalankan oleh presiden dan seluruh kementeriannya dan aparatur penegak hukumnya tanpa kecuali.
Pemberhentian ini sudah ditegaskan oleh UU Pemda sebagai pemberhentian sementara, bukan definitif (pemberhentian tetap). Pemberhentian tetap oleh Presiden sesuai ayat 4 pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkragh van gewijsde).
Sebagaimana kita ketahui, pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya “tuntutan jaksa penuntut umum” melainkan “kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, sehingga pemberhentian sementara adalah menjadi keharusan dan merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa pada jabatan publik lainnya yang pernah diberhentikan sementara, seperti pada kasus bupati Bogor, gubernur Sumatera Utara, gubernur Banten.
Sama sekali tidak terkait menunggu tuntutan jaksa penuntut umum sebagai dasar pemberhentian sementara, karena UU sama sekali tidak mensyaratkan perihal tersebut.
Pasal 83 ayat 1-5 sudah menyebutkan secara nyata atau sangat jelas tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang kepala daerah. Maka dengan tidak dilakukannya pemberhentian sementara Ahok sebagai gubernur oleh Presiden, dapat dimaknai rakyat sebagai sikap politik seorang presiden untuk menyelamatkan Ahok.
Maka amat jelas Presiden telah melakukan intervensi politik terhadap hukum, yang dapat mendorong bagi terjadinya suatu keguncangan sosial yang berkelanjutan. Dari perspektif hukum administrasi, langkah Presiden tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta merupakan tindakan malaadministrasi. Hal ini dapat dilihat dari perspektif UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik.
Status terdakwa sebagai pejabat publik tentu akan memengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut, yang sehari-hari tentu disibukkan dengan proses hukum yang harus dijalaninya di pengadilan. Di samping keabsahan tindakannya bertali-temali dengan keabsahannya secara hukum administrasi, baik berkaitan dengan produk keputusannya maupun tindakannya yang sangat rawan untuk dipersoalkan keabsahannya (delegitimasi).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelaksanaan pemberhentian gubernur merupakan kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU Nomor 23/2014. Pasal tersebut adalah ketentuan imperatif (bukan fakultatif), karena tidak ada frase kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut.
Ketentuan normatif itu mengharuskan presiden untuk melaksanakan ketentuan pasal tersebut secara tegas tanpa diskriminasi. Tindakan mengabaikan hukum merupakan pembangkangan kekuasaan Presiden atas UUD 1945 yang dapat merusak tatanan hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus menjalankan hukum berasas keadilan dan kepastian dan tidak diskriminatif serta tunduk kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Presiden wajib melaksanakan dan menjunjung tinggi hukum dan UU.
Apabila presiden melanggar hukum atau memberlakukan hukum secara diskriminatif, tindakan tersebut merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan berakibat sangat serius bagi rusaknya tatanan hukum dan munculnya disharmoni sosial dan social distrust (ketidakpercayaan) masyarakat. Dan, inilah titik dan benih kerawanan sosial yang semestinya disadari dan dihindari oleh Bapak Jokowi sebagai seorang presiden.
Praktisi Hukum pada Kantor Law Firm H Ikhsan Abdullah & Partners
PRESIDEN Jokowi sedang mempertontonkan pembangkangannya kepada hukum. Sabtu 11 Februari 2017 lalu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah aktif kembali sebagai gubernur DKI Jakarta setelah kurang lebih 3,5 bulan menjalani masa cuti.
Sesuai ketentuan UU Pilkada, Ahok sebagai gubernur petahana harus cuti bila mengikuti pencalonan kembali sebagai calon gubernur. Namun sesuai ketentuan UU Pemerintah Daerah, gubernur dalam status terdakwa dan diancam hukuman lima tahun atau lebih maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai gubernur.
Hal itu diatur sangat jelas dalam Pasal 83 ayat 1 dan 2. Namun pada pelaksanaannya, presiden tidak mengindahkan ketentuan undang-undang tersebut yang seharusnya dijalankan dengan semestinya, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan adil dan berkepastian.
Sesuai prinsip equality before the law sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UUD 45, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan pemerintahan. Inilah yang harus dilaksanakan oleh Jokowi sebagai presiden RI.
Dengan tidak melaksanakan kewajibannya menegakkan konstitusi negara, Jokowi bukan saja melanggar konstitusi RI, yakni UUD ’45, namun sekaligus juga sedang mempertontonkan pembangkangannya terhadap hukum dan prinsip antidiskriminasi.
Persoalan pemberhentian kepala daerah adalah ruang lingkup hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang dijadikan acuan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini sebagai konsekuensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) dan bukan negara atas dasar kekuasaan (macht staat).
Pemberhentian Ahok sebagai kepala daerah, murni harus dilakukan berdasarkan pada ketentuan undang-undang. Inilah konsekuensi dari pilihan negara hukum dan bukan atas dasar kekuasaan. Itu bunyi Penjelasan UUD 1945.
Terjadinya intervensi politik terhadap hukum dalam kasus Ahok yang aktif kembali sebagai gubernur, men-down grade kedudukan negara hukum dan berpotensi menyebabkan kegaduhan masyarakat yang berujung pada keadaan masyarakat yang tidak stabil dan dapat bereskalasi luas sehingga situasi menjadi tidak stabil (instabilitas) nasional.
Setidaknya terdapat tiga ketentuan hukum terkait dalam kasus aktifnya kembali Ahok sebagai gubernur definitif yaitu; (1) UU Nomor 10/2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, (2) UU Nomor 23/2014 tentang pemerintahan daerah, dan (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berkaitan dengan pemilihan kepala daerah.
Aktifnya kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta secara definitif, menimbulkan persoalan hukum yang amat kompleks dan menciptakan kegaduhan baru dari sisi hukum dan politik, maka DPR harus segera melaksanakan fungsi kontrolnya atas pelanggaran serius yang dilakukan oleh mendagri dan presiden terhadap ketentuan UU tersebut, agar jangan sampai masyarakat akan melakukan ikhtiar sendiri-sendiri untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri (anarkis).
Tentu saja hal itu sesuatu yang harus dihindari. Jalan terbaik tentu harus membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji.
Ada baiknya kita cek kembali UU Pemilihan Kepala Daerah, yakni UU Nomor 23/2014. Pasal 83 ayat 1 yang menegaskan bahwa “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal ini pula dalam ayat (3) mengatur kewajiban hukum Presiden untuk memberhentikan gubernur Ahok sebagai kepala daerah DKI Jakarta. Pasal tersebut sebagai landasan konstitusional untuk dijalankan oleh presiden dan seluruh kementeriannya dan aparatur penegak hukumnya tanpa kecuali.
Pemberhentian ini sudah ditegaskan oleh UU Pemda sebagai pemberhentian sementara, bukan definitif (pemberhentian tetap). Pemberhentian tetap oleh Presiden sesuai ayat 4 pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkragh van gewijsde).
Sebagaimana kita ketahui, pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya “tuntutan jaksa penuntut umum” melainkan “kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, sehingga pemberhentian sementara adalah menjadi keharusan dan merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa pada jabatan publik lainnya yang pernah diberhentikan sementara, seperti pada kasus bupati Bogor, gubernur Sumatera Utara, gubernur Banten.
Sama sekali tidak terkait menunggu tuntutan jaksa penuntut umum sebagai dasar pemberhentian sementara, karena UU sama sekali tidak mensyaratkan perihal tersebut.
Pasal 83 ayat 1-5 sudah menyebutkan secara nyata atau sangat jelas tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang kepala daerah. Maka dengan tidak dilakukannya pemberhentian sementara Ahok sebagai gubernur oleh Presiden, dapat dimaknai rakyat sebagai sikap politik seorang presiden untuk menyelamatkan Ahok.
Maka amat jelas Presiden telah melakukan intervensi politik terhadap hukum, yang dapat mendorong bagi terjadinya suatu keguncangan sosial yang berkelanjutan. Dari perspektif hukum administrasi, langkah Presiden tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta merupakan tindakan malaadministrasi. Hal ini dapat dilihat dari perspektif UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik.
Status terdakwa sebagai pejabat publik tentu akan memengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut, yang sehari-hari tentu disibukkan dengan proses hukum yang harus dijalaninya di pengadilan. Di samping keabsahan tindakannya bertali-temali dengan keabsahannya secara hukum administrasi, baik berkaitan dengan produk keputusannya maupun tindakannya yang sangat rawan untuk dipersoalkan keabsahannya (delegitimasi).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelaksanaan pemberhentian gubernur merupakan kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU Nomor 23/2014. Pasal tersebut adalah ketentuan imperatif (bukan fakultatif), karena tidak ada frase kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut.
Ketentuan normatif itu mengharuskan presiden untuk melaksanakan ketentuan pasal tersebut secara tegas tanpa diskriminasi. Tindakan mengabaikan hukum merupakan pembangkangan kekuasaan Presiden atas UUD 1945 yang dapat merusak tatanan hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus menjalankan hukum berasas keadilan dan kepastian dan tidak diskriminatif serta tunduk kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Presiden wajib melaksanakan dan menjunjung tinggi hukum dan UU.
Apabila presiden melanggar hukum atau memberlakukan hukum secara diskriminatif, tindakan tersebut merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan berakibat sangat serius bagi rusaknya tatanan hukum dan munculnya disharmoni sosial dan social distrust (ketidakpercayaan) masyarakat. Dan, inilah titik dan benih kerawanan sosial yang semestinya disadari dan dihindari oleh Bapak Jokowi sebagai seorang presiden.
(poe)