Hubungan Indonesia-Amerika di Era Trump

Selasa, 14 Februari 2017 - 08:36 WIB
Hubungan Indonesia-Amerika...
Hubungan Indonesia-Amerika di Era Trump
A A A
Dave Laksono
Anggota Komisi Luar Negeri DPR RI

PASCAPELANTIKAN Donald Trump sebagai presiden Amerika, saat ini arus protes terhadap berbagai kebijakan kontroversial Trump sedang meluas di beberapa negara bagian di Amerika. Kasus teranyar, Presiden Trump beberapa waktu lalu meneken aturan larangan masuk warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim ke Amerika Serikat, yaitu Suriah, Irak, Iran, Yaman, Libya, Somalia, dan Sudan.

Selain itu, Trump juga menghentikan penerimaan imigran di mana secara khusus protokol tersebut melarang sementara pengungsi Suriah masuk ke Amerika. Akibat itu, terjadi pengurangan jumlah pengungsi yang semula sekitar 110.000 menjadi hanya 50.000.

Namun, putusan pengadilan banding Amerika Serikat telah mengalahkan gugatan pemerintahan Presiden Donald Trump terkait larangan masuk bagi warga dan pengungsi dari tujuh negara mayoritas muslim.

Tiga anggota majelis hakim pengadilan banding memutuskan untuk memperkuat putusan pengadilan federal yang membekukan perintah eksekutif Trump untuk melarang warga dan pengungsi dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke Amerika Serikat.

Meluasnya aksi protes terhadap Trump terutama dipicu oleh isu hak sipil yang dinilai “tidak manusiawi” bagi pengungsi dan korban kekejaman ekstremis. Namun, Trump berdalih langkahnya semata-mata demi membantu melindungi warga Amerika dari serangan terorisme. Ia juga menegaskan larangan itu bukan mengenai muslim atau nonmuslim, tetapi soal keamanan.

Terlepas dari dalih yang disampaikan Trump, yang pasti Trump telah memulai suatu era pemerintahan baru di Amerika dengan sejumlah kebijakan kontroversial yang sedang mendapat kecaman dari warga negara Amerika sendiri. Kontroversi Trump diprediksi akan terus berlanjut, terutama menyangkut kebijakan luar negeri Amerika dalam bidang politik, keamanan, dan perdagangan.

Indonesia sebagai negara yang mempunyai pengaruh yang begitu besar di kawasan Asia Tenggara dan memiliki hubungan kemitraan yang dekat dengan Amerika juga tidak akan lepas dari kontroversi Trump, terutama menyangkut isu terorisme, hubungan militer, dan perdagangan.

Menerka Hubungan Dua Negara
Dalam kunjungan kerja saya saat ini di Amerika sejak 8 Februari lalu, saya sudah bertemu beberapa stakeholder di Amerika yakni beberapa anggota Kongres dan Senat dari Partai Republik dan Demokrat, termasuk juga dengan para analis politik untuk Pemerintah Amerika.

Pada prinsipnya, mereka mempunyai visi masa depan untuk membangun kemitraan yang lebih strategis lagi dengan Indonesia di era pemerintahan Jokowi dan Presiden Donald Trump yang sudah dimulai di era pemerintahan SBY.

Visi ini terutama didorong oleh kenyataan bahwa Indonesia mempunyai pengaruh yang begitu signifikan di era komunitas ASEAN dan merupakan negara demokrasi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia.

Indonesia diyakini dapat menjadi motor pendorong perdamaian di negara-negara muslim sekaligus menjadi jembatan penghubung negara-negara Barat dengan negara-negara Islam. Indonesia juga diyakini akan mempunyai andil yang besar dalam upaya pemberantasan terorisme setelah sukses menyelesaikan kasus Bom Bali.

Di sisi lain, dengan model demokrasi yang saat ini sedang dikembangkan, Indonesia dapat menjadi percontohan negara muslim yang demokratis bagi dunia internasional. Amerika juga mempunyai harapan agar Indonesia dapat memainkan peranan yang signifikan dalam mendorong penyelesaian sengketa Laut China Selatan.

Namun, menjadi pertanyaan, sejauh mana hubungan kemitraan Indonesia-Amerika dapat berlangsung? Ini masih menjadi teka-teki, terutama di beberapa kalangan di Amerika, termasuk juga masyarakat Indonesia yang berada di Amerika mengingat ciri khas kepemimpinan Trump yang penuh dengan kontroversi.

Dalam konteks kebijakan luar negeri, kepemimpinan Donald Trump akan memengaruhi hubungan AS dan Indonesia. Kebijakan Trump akan lebih fokus untuk penguatan industri dalam negeri. Kebijakan ini akan berdampak besar terhadap cara Amerika menjalankan kepentingan bisnisnya dengan seluruh negara dunia.

Sejak memenangkan pemilu, Trump mengancam untuk menarik diri dari pakta-pakta kerja sama perdagangan bebas seperti Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA) dan Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (Trans Pacific Partnership Agreement/TPPA). Ia bahkan menyarankan AS menarik diri dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kebijakan Trump yang cenderung antiglobalisasi dan antiliberalisasi perdagangan dikhawatirkan akan menyulut perang dagang antarnegara yang ujungnya bakal menimbulkan ketidakstabilan ekonomi global. Dampak kebijakan perdagangan Trump bagi ekonomi Indonesia berpotensi memukul industri dalam negeri karena masih banyak industri dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor dan berpotensi memperlemah ekspor Indonesia ke Amerika. Padahal, hubungan ekonomi Indonesia-Amerika selama ini begitu strategis.

Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia ke Amerika pada 2016 mencapai USD11,59 miliar atau 11,5% terhadap total ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke Amerika lebih besar dibandingkan ekspor Indonesia ke Jepang, China, India, dan Singapura yang merupakan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia.

Begitu juga kebijakan Trump yang akan memangkas pajak korporasi tentu akan menarik perusahaan-perusahaan Amerika untuk lebih banyak berinvestasi di negaranya sendiri. Dampaknya, alokasi investasi korporasi-korporasi Amerika di negara-negara lain termasuk Indonesia bisa jadi akan berkurang.

Padahal, menurut data BKPM, pada 2016 penanaman modal asing (PMA) dari AS cukup signifikan dengan realisasi investasi langsung Amerika di Indonesia mencapai USD430,4 juta atau setara Rp5,7 triliun.

Kebijakan Trump di bidang perdagangan yang antiglobalisasi dan perdagangan bebas oleh anggota Kongres dari Partai Demokrat dan para analis politik di Amerika dinilai akan melemahkan ekonomi Amerika karena selama ini Indonesia merupakan negara mitra kerja sama ekonomi yang strategis.

Amerika masih membutuhkan impor pangan, energi, dan beberapa komoditas industri tekstil dari Indonesia. Namun, kebijakan Trump bisa berpotensi memperlemah hubungan kerja sama Indonesia dengan Amerika.

Memperkuat Diri
Tentu menjadi pertanyaan, lalu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kontroversi kebijakan Trump? Jawabannya, kita harus membangun fundamental ekonomi dalam negeri menjadi lebih kuat agar tidak mudah terguncang oleh kontroversi kebijakan Trump. Fondasi perekonomian pun harus dibangun dengan kekuatan sendiri.

Dalam beberapa kesempatan rapat Komisi I dengan menteri luar negeri dan beberapa kementerian terkait, saya kerap kali menyampaikan untuk menghadapi kebijakan Trump yang mengisolasi Amerika dari perdagangan internasional, Indonesia sudah harus mempunyai industri dalam negeri yang kuat agar tidak tergantung impor bahan baku dari Amerika.

Seperti AS yang inward looking, Indonesia juga harus fokus membenahi industri nasional sehingga ketergantungan pada asing semakin berkurang. Rangkaian kebijakan besar yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi hingga 14 jilid harus direalisasikan secara lebih nyata agar paket-paket kebijakan tersebut dapat memperbaiki iklim bisnis di dalam negeri, mulai dari kemudahan izin berinvestasi hingga kepastian hukum dalam berusaha.

Saya yakin, jika fundamental perekonomian Indonesia kuat, kita bisa menentukan nasib kita sendiri dan tidak akan terpengaruhi gaya kepemimpinan Trump yang kontroversial.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1247 seconds (0.1#10.140)