Penonaktifan Gubernur Terdakwa
A
A
A
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
SETELAH berakhirnya masa kampanye Pilkada DKI Jakarta pada 11 Februari 2017 lalu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ternyata kembali diaktifkan menjadi gubernur DKI Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Pilihan kebijakan mantan anggota DPR RI ini tentu saja mengundang kritik dari sejumlah pihak seperti akademisi dan politisi di DPR. Pasalnya apa yang dilakukan Mendagri bertabrakan dengan setidaknya dua aspek: hukum dan etika.
Aspek hukum dalam hal ini bahwa tidak menonaktifkan Ahok setelah masa cuti kampanyenya bertentangan dengan Pasal 83 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Klausul di UU itu dengan jelas berbunyi: ”Kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Di sejumlah media massa disebutkan bahwa Mendagri ”berlindung” di balik alasan menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sampai persidangan terakhir, agenda persi-dangan masih mendengar keterangan dari para saksi sehingga belum sampai tahap penuntutan oleh jaksa.
Padahal alasan itu tidak dapat diterima. Hal itu mengingat ada dua pasal alternatif yang digunakan jaksa. Salah satunya Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya selama-lamanya lima tahun.
Selain itu di pasal lain dari UU No 23 Tahun 2014, khususnya Pasal 83 ayat (2), disebutkan: ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.” Kalimat pada pasal di atas menunjukkan bahwa menunggu tuntutan jaksa tidaklah diperlukan. Seperti diketahui bersama, Ahok sudah menjadi terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016.
Langkah Mendagri ini tak pelak menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan pada saat yang sama telah menabrak hukum (baca: undang-undang) yang berlaku. Sulit bagi Mendagri untuk berkelit bahwa tindakannya itu akan menguntungkan calon gubernur yang didukung partai politik tempatnya berasal, baik itu disadarinya maupun tidak. Tak pelak, hal ini akan merupakan preseden buruk untuk masa yang akan datang.
Untuk aspek etika, seorang kepala daerah terdakwa juga seharusnya menyadari dirinya sudah ditetapkan sebagai terdakwa, maka idealnya dia sejalan dengan isi UU Pemerintahan Daerah, yakni nonaktif sebagai gubernur.
Bahkan ada sederet contoh di masa lalu di mana ketika baru ditetapkan sebagai tersangka saja, tak sedikit pejabat negara yang berinisiatif mengundurkan diri meskipun belum tentu dirinya diputuskan bersalah di persidangan.
Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng adalah dua contoh kecil di antaranya. Tindakan berbesar hati turun dari jabatan yang sedang diduduki oleh seorang pejabat publik adalah bagian dari praktik mengedepankan etika ketimbang hal lain seperti kepentingan pribadi dan kelompok.
Begitu pula dengan Mendagri, semestinya tidak bermain api dengan bersikukuh tidak menonaktifkan Ahok. Publik tidak bisa dipaksa untuk sependapat dengan argumentasi Mendagri seperti telah diungkapkan di atas.
Pasalnya, jarak ke hari H perhitungan suara hanya menyisakan beberapa hari saja. Demi mengedepankan etika publik pula, sepantasnya Mendagri tidak keliru dalam mengambil keputusan politik di tengah suasana ”hangat” di tengah-tengah masyarakat.
Dampak Politis
Selain bertentangan dengan aspek hukum dan etika, tidak menonaktifkan Ahok dari kursi DKI-1 juga berdampak secara politik. Beberapa politikus di Senayan mulai mewacanakan untuk mengusung hak angket kepada Presiden atas soal ini.
Reaksi dari para legislator dapat diterima secara akal sehat karena Pasal 79 ayat 1 (b) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memperbolehkan hal itu. Pasal 79 ayat 1 (b) diperkuat oleh Pasal 79 ayat 3 yang menyebutkan: ”DPR berhak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/ atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Entah sampai mana akhir dari polemik atas hal ini. Bukan hal mustahil bahwa keputusan Mendagri ini akan berbuntut panjang. Kita tunggu saja.
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
SETELAH berakhirnya masa kampanye Pilkada DKI Jakarta pada 11 Februari 2017 lalu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ternyata kembali diaktifkan menjadi gubernur DKI Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Pilihan kebijakan mantan anggota DPR RI ini tentu saja mengundang kritik dari sejumlah pihak seperti akademisi dan politisi di DPR. Pasalnya apa yang dilakukan Mendagri bertabrakan dengan setidaknya dua aspek: hukum dan etika.
Aspek hukum dalam hal ini bahwa tidak menonaktifkan Ahok setelah masa cuti kampanyenya bertentangan dengan Pasal 83 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Klausul di UU itu dengan jelas berbunyi: ”Kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Di sejumlah media massa disebutkan bahwa Mendagri ”berlindung” di balik alasan menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sampai persidangan terakhir, agenda persi-dangan masih mendengar keterangan dari para saksi sehingga belum sampai tahap penuntutan oleh jaksa.
Padahal alasan itu tidak dapat diterima. Hal itu mengingat ada dua pasal alternatif yang digunakan jaksa. Salah satunya Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya selama-lamanya lima tahun.
Selain itu di pasal lain dari UU No 23 Tahun 2014, khususnya Pasal 83 ayat (2), disebutkan: ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.” Kalimat pada pasal di atas menunjukkan bahwa menunggu tuntutan jaksa tidaklah diperlukan. Seperti diketahui bersama, Ahok sudah menjadi terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016.
Langkah Mendagri ini tak pelak menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan pada saat yang sama telah menabrak hukum (baca: undang-undang) yang berlaku. Sulit bagi Mendagri untuk berkelit bahwa tindakannya itu akan menguntungkan calon gubernur yang didukung partai politik tempatnya berasal, baik itu disadarinya maupun tidak. Tak pelak, hal ini akan merupakan preseden buruk untuk masa yang akan datang.
Untuk aspek etika, seorang kepala daerah terdakwa juga seharusnya menyadari dirinya sudah ditetapkan sebagai terdakwa, maka idealnya dia sejalan dengan isi UU Pemerintahan Daerah, yakni nonaktif sebagai gubernur.
Bahkan ada sederet contoh di masa lalu di mana ketika baru ditetapkan sebagai tersangka saja, tak sedikit pejabat negara yang berinisiatif mengundurkan diri meskipun belum tentu dirinya diputuskan bersalah di persidangan.
Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng adalah dua contoh kecil di antaranya. Tindakan berbesar hati turun dari jabatan yang sedang diduduki oleh seorang pejabat publik adalah bagian dari praktik mengedepankan etika ketimbang hal lain seperti kepentingan pribadi dan kelompok.
Begitu pula dengan Mendagri, semestinya tidak bermain api dengan bersikukuh tidak menonaktifkan Ahok. Publik tidak bisa dipaksa untuk sependapat dengan argumentasi Mendagri seperti telah diungkapkan di atas.
Pasalnya, jarak ke hari H perhitungan suara hanya menyisakan beberapa hari saja. Demi mengedepankan etika publik pula, sepantasnya Mendagri tidak keliru dalam mengambil keputusan politik di tengah suasana ”hangat” di tengah-tengah masyarakat.
Dampak Politis
Selain bertentangan dengan aspek hukum dan etika, tidak menonaktifkan Ahok dari kursi DKI-1 juga berdampak secara politik. Beberapa politikus di Senayan mulai mewacanakan untuk mengusung hak angket kepada Presiden atas soal ini.
Reaksi dari para legislator dapat diterima secara akal sehat karena Pasal 79 ayat 1 (b) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memperbolehkan hal itu. Pasal 79 ayat 1 (b) diperkuat oleh Pasal 79 ayat 3 yang menyebutkan: ”DPR berhak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/ atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Entah sampai mana akhir dari polemik atas hal ini. Bukan hal mustahil bahwa keputusan Mendagri ini akan berbuntut panjang. Kita tunggu saja.
(poe)