Membela Wasathiyya Islam

Jum'at, 10 Februari 2017 - 13:29 WIB
Membela Wasathiyya Islam
Membela Wasathiyya Islam
A A A
Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Peneliti Senior di LIPI

KETIKA Azyumardi Azra CBE (2015) menyampaikan pandangannya bahwa Indonesian wasathiyya Islam is too big to fail, beberapa kali saya menegaskan keraguan dan kekhawatiran atas tesis tersebut. Memang, bila dilihat dari respons umat Islam terhadap terorisme, Islam moderat sepertinya akan menjadi pemenang.

Dan, bila dilihat dari wujud dan kuantitas warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang sering dianggap sebagai representasi dari Islam wasathiyya (moderat), keduanya sepertinya akan terus mewarnai pandangan keagamaan di Indonesia pada tahun-tahun mendatang.

Namun, bila melihat beberapa fenomena belakangan ini seperti berbagai aksi intoleransi terhadap minoritas, mudahnya mem-bully secara berjamaah kepada mereka yang berpandangan berbeda, dan terjadi konflik keagamaan hanya karena persoalan sepele, ada kekhawatiran bahwa Islam moderat di Indonesia itu sudah goyah.

Tindakan intoleransi, diskriminasi, dan bigotry memang bukanlah masuk kategori terorisme, namun itu bisa menjadi awal dari perilaku yang bisa berujung pada terorisme.

Ancaman melemahnya Islam moderat itu juga bisa dilihat dari penyebaran otoritas keagamaan dengan kehadiran dai dan mubalig instan, infiltrasi pandangan non-wasathiyya ke NU dan Muhammadiyah, masuknya berbagai gerakan keagamaan transnasional dengan agenda yang bertentangan dengan semangat untuk hidup dalam masyarakat majemuk, serta instant-learning agama karena media sosial dan teknologi informasi lain.

Jika tak sadar dan waspada, kegagalan Islam moderat itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Bukan sekarang tentu, tapi jika tak diantisipasi, bisa terjadi pada tahun-tahun yang akan datang.

Kekhawatiran itu seperti semakin mendapatkan peneguhan ketika melihat perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat, Filipina, dan Inggris. Kemenangan kelompok konservatif sedang menyebar di seluruh dunia, baik itu konservatisme Islam, Kristen, maupun agama lain. Inilah yang kemudian membuat tulisan ini ingin menyebut fenomena sekarang ini sebagai the triumph of conservatism (kemenangan konservatisme).

Buya Ahmad Syafii Maarif
Salah satu tantangan nyata terhadap otoritas keagamaan tradisional, yang menjadi fondasi bagi Islam moderat, adalah apa yang dialami oleh Buya Ahmad Syafii Maarif. Tokoh yang sejak kecil belajar agama dalam sistem pendidikan Islam di Minangkabau, dilanjutkan dengan sekolah guru di Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dan menempuh pendidikan doktoral dalam kajian Islam di Universitas Chicago, tiba-tiba dipertanyakan otoritasnya berbicara agama oleh mereka yang baru kemarin sore belajar Islam. Ini sesuatu yang sangat menggelikan, namun betul-betul terjadi.

Buya Syafii yang selama delapan tahun (1998-2005) dipilih untuk memimpin Muhammadiyah, organisasi modernis terbesar di Indonesia dengan puluhan juta anggota, tiba-tiba dipertanyakan kredibilitasnya dalam memahami Alquran oleh mereka yang membaca Alquran pun barangkali belum fasih.

Orang-orang yang belajar Islam melalui Google, Facebook, dan Twitter tiba-tiba merasa lebih mengerti Islam daripada imam dari jutaan jamaah Muhammadiyah. Mereka lebih percaya dan menggandrungi kelompok celebrity preachers yang memiliki pengetahuan agama dangkal, tapi penampilannya penuh dengan aksesoris dan simbol-simbol agama, atau lebih tepatnya simbol Arab. Mereka bahkan sering menjadikan kelompok ”ulama” ini sebagai kiblat dalam beragama.

Fenomena yang dialami Buya Syafii ini oleh Julia Day Howell dianggap sebagai pergeseran otoritas keagamaan dari high-brow (terdidik dan berpengetahuan) ke low-brow (dadakan, namun gemerlapan) karena ada revolusi teknologi informasi, terutama televisi dan media sosial. Yang menjadi daya tarik dari agamawan baru ini bukanlah kedalaman pengetahuan, tapi performance dan entertainment yang didukung oleh media.

Berkaitan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, tentu saja diakui bahwa ia memudahkan manusia dalam memperoleh data, memberikan akses terhadap sesuatu yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Namun, kelemahannya, seringkali informasi dan data yang kita peroleh sebetulnya hanyalah yang sesuai dengan keinginan kita.

Data yang kita peroleh adalah yang sesuai dengan status yang kita buat, info yang kita cari, dan teman yang kita miliki. Intinya, apa yang kita dapat adalah yang sesuai dengan algoritma pikiran kita selama ini.

Sehingga, jika teman-teman kita adalah kelompok liberal atau konservatif, info yang lebih banyak masuk tentu saja sesuai dengan algoritma itu. Ini yang membuat orang tanpa mengecek dulu siapa Buya Syafii Maarif dengan mudahnya membagi dan retweet berbagai meme jahat tentang Buya.

Menghargai Perbedaan
Di antara ciri Islam wasathiyya (Islam moderat) adalah sikap tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang), dan i’tidal (adil). Ini misalnya diwujudkan dalam menyikapi dan menghargai perbedaan.

Imam Syafii, yang menjadi panutan dalam bidang fikih oleh kelompok muslim moderat, dikenal dengan qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) yang menunjukkan kesediaan berubah dan menerima perbedaan jika ada argumen yang lebih kuat.

Mengikuti tradisi ulama, pesantren kita memahami betul semboyan qauluna shahih yahtamilul khata’, qauluhum khata’ lakin yahtamilul shahih (pandangan kita benar, tapi bisa jadi mengandung kesalahan. Pandangan mereka salah, tapi bisa jadi mengandung kebenaran). Ini adalah refleksi tentang penghargaan terhadap mereka yang berbeda pandangan, termasuk dalam isu-isu yang serius.

Nilai-nilai moderatisme itu yang belakangan terasa hilang. Karena berbeda pandangan, ada kader Muhammadiyah yang secara kurang tawadhu’ menyebut Buya Syafii bicara ”ngelantur ”. Ada pula yang memplesetkan Buya menjadi buaya atau menyebutnya ”tua bangka”, ”bau tanah”, dan ”sudah mau mati”.

Bahkan banyak sekali kata-kata yang lebih parah dan tidak merefleksikan ajaran Islam tentang bagaimana bersikap terhadap orang tua. Padahal, Nabi Muhammad berpesan: laisa minna man lam yarham saghirana walam yuwaqqir kabirana (bukanlah bagian dari umatku mereka yang tak menyayangi yang lebih kecil/ lemah/minoritas dan mereka yang tak menghormati yang lebih besar/tua/mayoritas).
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6738 seconds (0.1#10.140)