Proyek Gagal Paham

Kamis, 09 Februari 2017 - 10:34 WIB
Proyek Gagal Paham
Proyek Gagal Paham
A A A
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan

SETIAP kali bepergian melalui bandara, kolega saya yang asal Minang sering melempar jokes tentang gagal paham. Orang Minang, katanya, kalau berada di bandara jalannya cepat-cepat. Mengapa? Sebab di bandara ada tulisan “baggage“.

Anda tahu, bagageh dalam bahasa Minang artinya bergegas. Jadi baginya itu petunjuk agar ia mesti jalan cepat-cepat. Baggage tentu tidak sama dengan bagageh. Tapi sebagai obrolan persahabatan, kepleset sedikit jadi ceria. Anda tahu, gagal paham berbeda dengan salah paham.

Salah paham, menurut versi online dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya salah dan keliru dalam memahami pembicaraan, pernyataan, sikap orang lain (dan ini biasanya menimbulkan reaksi bagi yang bersangkutan).

Kalau gagal paham? Sayang KBBI belum membuat definisinya. Mungkin karena ini kosakata yang tergolong baru. Tapi simpelnya begini. Kalau salah paham, meluruskannya biasanya tidak begitu sulit.

Kalau gagal paham, terkadang meluruskannya sulit bukan main. Bukannya apa, ini menyangkut soal rasa dan logika. Soal makna. Gagal paham ada yang dari tingkatan sederhana sampai yang serius.

Kalau yang sederhana, contohnya kasus salah ketik (typo error) ketika membalas pesan SMS atau BlackBerry Messenger (masih ada lho yang pakai aplikasi ini), WhatsApp atau Line. Saya punya banyak contohnya, tetapi tak usahlah dipaparkan di sini. Hanya, catatan saya, meski hanya salah ketik, dampaknya bisa sangat serius.

Bayangkan kalau itu terjadi antara Anda dengan atasan atau dengan mitra bisnis. Order yang sudah disepakati mungkin bisa batal. Kalau yang serius, misalnya, mereka yang gagal paham karena menganggap informasi atau pengetahuan yang dimilikinya sudah benar.

Di luar itu mereka anggap salah. Kasus gagal paham semacam ini sedang nge-tren sekarang. Bahkan sampai saling tuding dan lapor ke polisi. Kita yang mengikuti beritanya mulanya senyum- senyum, lalu jengkel, dan akhirnya dibuat lelah. Menghabiskan energi. Masalah yang simpel sengaja diputar-putar dan dibuat rumit.

Banyak Kasus


Di negara kita ada banyak sekali kasus gagal paham. Saya mulai dengan yang paling sepele. Pernah dengar heboh om telolet om? Sampai sekarang saya gagal paham mengapa fenomena tersebut bisa mewabah di negara kita. Lalu yang membuat saya kembali gagal paham adalah wacana untuk menertibkan klakson truk yang telolet tadi.

Untung akhirnya rencana itu batal. Kasus lain adalah soal naiknya biaya administrasi untuk SIM, STNK, dan BPKB yang diumumkan menjelang tutup tahun 2016.

Kenaikannya bisa mencapai dua atau tiga kali lipat. Masyarakat kita yang gagal paham menganggap pajak kendaraan yang harus mereka bayar bakal meningkat menjadi dua hingga tiga kali lipat.

Jadi kalau semula pajak kendaraannya, katakanlah, Rp500.000, setelah tanggal 6 Januari 2017 menjadi Rp1 juta atau bahkan lebih. Maka tak mengherankan kalau menjelang tanggal tersebut, masyarakat kita berbondong-bondong menyerbu kantor-kantor Samsat.

Mereka ingin memanfaatkan peluang sebelum pajak kendaraan bermotornya naik hingga dua kali lipat. Antrean pun mengular. Berjamjam waktu terbuang.

Banyak kantor Samsat yang terpaksa buka hingga malam hari. Padahal kenyataannya bukan begitu. Bukan pajak kendaraannya yang naik, tapi hanya biaya administrasinya. Misalnya kalau semula Rp50.000 menjadi Rp100.000. Jadi sebetulnya hanya naik Rp50.000. Layakkah untuk kenaikan sebesar itu kita harus antre seharian? Kasus gagal paham lainnya soal isu kebangkitan PKI.

Saya sampai sekarang tidak paham, mengapa masih ada orang yang menganggap isu ini relevan bagi kita. Saya yang gagal paham atau mungkin kelompok ini yang gagal paham terhadap perubahan kondisi geopolitik dunia atau sengaja membuat rakyat ini gagal paham. Padahal yang membuat cerita paham-paham saja. Sebab di negara asalnya sana, seperti di Uni Soviet dan Eropa Timur, komunisme sudah bangkrut karena gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Di China memang ada partai komunis, tapi penerapan ideologinya sudah jauh berbeda. Rakyat di sana kini lebih bebas berekspresi bila dibandingkan dengan masa lalu—meski mungkin belum sebebas di negara kita (yang oleh sebagian orang malah dianggap sudah kebablasan). Lalu China juga sudah membuka diri terhadap masuknya pihak lain, termasuk investor asing.

Dengan kebijakan semacam itu, China kini menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Mungkin satu-satunya negara yang masih menerapkan paham komunisme secara kaku adalah Korea Utara. Isu gagal paham juga menimpa pejabat tertentu yang mengurus daging sapi dan cabai.

Kendati sudah melakukan berbagai upaya, kenyataannya harga dua komoditas tersebut sampai sekarang memang masih tinggi. Masyarakat kita juga dianggap gagal paham dalam memahami fenomena tenaga kerja asing (TKA), khususnya asal China. Mereka menelan begitu saja info bahwa jumlah TKA China di Indonesia mencapai 10 juta.

Bagaimana bisa? Belasan ribu sih mungkin, tapi jutaan? Pebisnis kita juga kerap gagal paham ketika berhadapan dengan pemerintah daerah. Contohnya di Palembang ada bioskop kelas premium. Jumlah penontonnya terbatas. Di bioskop itu penonton bisa nonton film sambil rebahan. Sofanya enak, dilengkapi bantal dan selimut.

Setelah sekian lama beroperasi, bioskop tersebut digerebek oleh wakil wali Kota Palembang dan petugas Satpol PP. Alasannya, dengan konsep seperti itu, bioskop tersebut berpotensi untuk jadi tempat mesum. Maka, untuk mencegah, Pemkot Palembang kemudian menyegel bioskop tersebut dan memintanya mengubah konsep. Kalau Anda jadi pemilik bioskop tentu pusing tujuh keliling. Mengapa dulu izinnya disetujui, sekarang malah dilarang?

Generasi Gagal Paham


Mengapa begitu banyak kasus gagal paham di negara kita? Ada banyak penjelasan. Namun saya ingin melihatnya dari perspektif pendidik. Pertama, ini dampak dari proses pendidikan kita yang mencetak generasi penghafal, bukan menalar. Anak-anak kita dididik untuk mengejar nilai, bukan memahami.

Kita dan anak-anak kita dijejali tentang apa itu Bhinneka Tunggal Ika, tetapi bukan diajak mengalaminya secara langsung. Kedua, kita dididik dengan budaya instan. Budaya mencari jalan pintas. Kita dibesarkan dalam budaya lisan, bukan tulisan. Maka kita jadi tak terbiasa membaca dan mencoba untuk secara kritis memahaminya.

Banyak berita yang hanya kita baca judulnya, bukan isinya. Maka jadilah kita generasi yang kerap gagal paham. Kita belum paham isinya, tetapi langsung bereaksi. Kita tak mengerti maknanya, tetapi langsung mengikutinya. Gagal paham membuat situasi gampang memanas, membuat sekelompok orang ketiban rezeki.

Ya mereka yang menawarkan aneka proyek untuk menggagalkan undang-undang, keputusan, bahkan untuk mengurangi popularitas seseorang dalam ajang pilkada, merusak reputasinya, bahkan memenjarakannya. Ini sudah jadi rahasia umum dan lihatlah, mereka seakan jadi pengangguran bermobil Hammer, Jeep, dan sejenisnya. Tinggal dibungkus-bungkus seakan orang baik.

Mereka ahli memelintir karena khalayak mudah dibuat gagal paham. Semua itu kian memuncak dalam kontestasi politik. Anda tahu, nature kompetisi memang begitu. Ketegangan meningkat, tensi meninggi. Tapi kalau mau hidup damai hendaknya kita jangan larut di dalamnya. Kalau tidak, kita jadi ikut-ikutan gagal paham.

Maka, menjelang hari pencoblosan, dengan suasana yang serba riuh dengan saling tuding gagal paham, kita jadikan momen ini untuk membuat kita menjadi lebih cerdas. Jangan lagi termakan oleh janji-janji atau pidato para elite. Apalagi yang cuma jago membuat janji. Ya, mungkin mereka gagal paham terhadap maunya kita.

Kita mau program yang menjawab permasalahan, dikasih janji. Kita mau pemimpin yang banyak bekerja, di sana malah ngomong melulu. Kita maunya pilkada damai, di sana malah membuat rusuh. Jadi, menjelang pencoblosan, ayo kita pilih pemimpin yang benar. Jangan pilih pemimpin yang gagal paham!
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0836 seconds (0.1#10.140)