Mengembalikan Marwah Mahkamah Konstitusi

Senin, 30 Januari 2017 - 09:42 WIB
Mengembalikan Marwah Mahkamah Konstitusi
Mengembalikan Marwah Mahkamah Konstitusi
A A A
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang dilancarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap beberapa pihak yang salah satunya adalah hakim konstitusi Patrialis Akbar mengguncangkan dunia penegakan hukum Indonesia.

OTT dugaan suap ini merupakan sebuah kejadian yang sangat merusak marwah lembaga tumpuan penjaga konstitusi kita itu. Dewan Etik Mahkamah Konstitusi telah mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk keperluan mengadili Patrialis Akbar secara internal, paralel dengan penanganan kasusnya di KPK. Usulan tersebut telah diterima kedelapan hakim konstitusi. MK juga membebastugaskan Patrialis Akbar melalui surat dengan Nomor 3/DEH/U.02/I/2017.

Langkah sigap yang diambil MK ini patut diapreasiasi. Karena MK tentu tidak bisa berlama-lama mengulur waktu hingga tercapai putusan inkracht dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan salah satu hakimnya. Jika MK mengulur hingga menunggu kepastian, bisa dipastikan citra lembaga penjaga konstitusi ini akan tercerai-berai. Publik tentu masih ingat betul bagaimana pada Oktober 2013 Ketua MK saat itu Akil Mochtar juga kena ciduk KPK.

Tentu sangat menyedihkan ada dugaan suap dalam tubuh MK ini. Kedelapan hakim konstitusi yang lain harus sadar bahwa merekalah yang menjaga arah perjalanan bangsa ini. Politik yang sangat dinamis dan kadang keras tentu berdampak pada tarik menarik dari segi perundang-undangan yang harus ditelaah secara baik dan diputuskan apakah sesuai dengan konstitusi oleh para hakim konstitusi.

Pilkada yang jumlahnya ratusan tiap tahun pun selalu menjadi objek yang harus diberi putusan yang jujur oleh para hakim konstitusi. Dengan posisinya yang sedemikian strategis, tentu kita sangat berharap para hakim konstitusi yang dalam text book dikatakan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini untuk berlaku adil. Kasus OTT KPK terhadap Patrialis Akbar ini juga memberikan pelajaran baru bagi publik bahwa suap-menyuap itu tak harus dilakukan pihak yang beperkara.

Patrialis Akbar dengan lantang mengatakan bahwa dia tidak menerima serupiah pun dari Basuki Hariman yang kena garuk OTT KPK juga dan menegaskan bahwa pengusaha tersebut bukanlah pihak yang beperkara di MK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa dalam setiap putusan judicial review akan ada dampak positif maupun negatif terhadap pihak yang tidak langsung beperkara.

Dalam hal ini pihak yang dirugikan jika tuntutan diterima akan berupaya untuk menjegal tuntutan, sementara pihak yang diuntungkan akan mendorong agar tuntutannya diterima. Berkaca pada dua kali kejadian kasus korupsi di MK, ada beberapa hal yang harus diperbaiki.

Pertama, standar etik para hakim konstitusi harus menjadi perhatian utama.

Para hakim konstitusi bukanlah rakyat biasa yang bisa bertemu dengan semua orang, mereka harus dijaga agar bersih dari tekanan dan berbagai tawaran curang dalam menjalankan tugasnya. Dewan Etik MK harus bekerja lebih keras untuk menjaga kesembilan hakimnya tidak main mata.

Kedua, harus ada pemberatan hukuman yang benar-benar membuat hakim takut untuk korupsi.

Hukuman seumur hidup seperti yang ditimpakan terhadap Akil Mochtar sudah menjadi standar yang baik, jangan sampai ada penuntutan dan vonis di bawah standar itu. Para penyuap yang berusaha main mata dengan hakim konstitusi juga harus dihukum berat.

Ketiga, sistem seleksi harus menjadi perhatian yang serius.

OTT terhadap Patrialis Akbar mengemukakan lagi perdebatan ketika Patrialis Akbar diangkat sebagai hakim konstitusi tidak melalui jalur seleksi yang biasanya. Tak tanggung-tanggung, mantan Ketua MK Mahfud MD ikut menyuarakan hal itu. Semoga ke depan marwah konstitusi kita tetap terjaga oleh para hakim konstitusi yang bersih.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5713 seconds (0.1#10.140)