Tren Saling Lapor

Jum'at, 27 Januari 2017 - 07:30 WIB
Tren Saling Lapor
Tren Saling Lapor
A A A
TAHUN ini tugas institusi kepolisian hingga pengadilan akan lebih berat. Dua institusi ini akan kebanjiran kasus yang kini sedang tren.

Selama hampir tiga bulan terakhir, tren saling lapor mulai ramai. Mulai rakyat biasa hingga orang ternama, ramai-ramai menggugat seseorang yang dinilainya berucap kurang tepat dan menyinggung umat.

Ihwal sepele yang bersifat keceplosan bicara atau mengkritisi sesuatu hal dengan kata yang tajam bernada sindiran pun tak luput dari dosa kesalahan. Seolah semua orang yang ingin mengungkapkan ekspresinya secara terang-terangan kini menjadi persoalan.

Kritik tajam atau saran yang ditujukan kepada siapa pun yang dimaksudkan menjadi hilang maknanya karena dianggap melanggar hukum atau melecehkan agama.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sepertinya saat ini kita mulai merasakan kehilangan sifat tepo seliro, menerima kritikan dengan lapang hati, hingga budaya silaturahmi untuk menjernihkan situasi dan saling koreksi.

Tren saling lapor saat ini juga menjalar ke partai politik hingga institusi. Menjelang pilkada, semua calon yang diduga memiliki sangkutan hukum di masa lalu tiba-tiba dilaporkan ke kepolisian.

Laporan yang masuk dari masyarakat terhadap kandidat langsung diproses oleh Polri. Padahal, untuk menjaga ketenangan dan suasana tetap kondusif menjelang pilkada, Polri pernah mengeluarkan surat Peraturan Kapolri Nomor SE/7/VI/2014.

Surat yang diterbitkan pada era kepemimpinan Jenderal Pol Badrodin Haiti itu menegaskan, ketika sudah memasuki tahapan pemilu, apalagi masa pendaftaran, semua laporan terhadap calon kepala daerah baik bupati, wali kota, hingga gubernur ditangani seusai pilkada.

Namun, sejak kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi desakan masyarakat terhadap kepolisian untuk segera memproses kasus hukumnya, menjadikan hal ini sebagai acuan Polri untuk memproses semua calon yang tersangkut kasus hukum. Penegasan tentang tidak berlakunya surat peraturan kapolri yang terbit dua tahun lalu itu disampaikan langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.

Saling lapor yang terjadi menjelang pilkada tentu akan menjadi kendala besar dalam proses demokrasi. Semua pihak ramai-ramai mencari dosa politik lawan tanpa harus menunggu selesai hajatan.

Suara massa menjadi taruhan, dan diperebutkan melalui aksi saling buka borok untuk menyerang. Tentu saja semua menggunakan alasan yang sama, mencari pemimpin yang bersih meski melalui politisasi hukum.

Munculnya aksi saling lapor juga tak lepas dari kurangnya rasa kenyamanan masyarakat dengan kondisi politik saat ini. Kenyamanan dan kesejukan yang seharusnya diberikan oleh para pemangku jabatan menjadi hilang rasanya di masyarakat.

Media sosial menjadi tempat curhatan berbagai kekecewaan hingga umpatan, sampai akhirnya menimbulkan berbagai tuduhan yang berujung sebagai fitnah. Fenomena krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum juga menjadi sorotan.

Mayoritas yang tidak puas terhadap penegak hukum secara sadar diri mencoba untuk melakukan penolakan hukum melalui ormas yang dinaunginya. Mereka ramai-ramai menolak proses yang diputuskan lembaga penegak hukum untuk membebaskan orang yang dinilainya bersih dari hukum.

Kenapa dari berbagai kejadian saling lapor ini pemerintah tidak turun tangan? Bukankah untuk menenangkan emosi masyarakat yang sedang tidak terarah bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan? Misalnya saja melalui berbagai unsur yang dimiliki oleh kementrian yang ada hingga ke tingkat pemerintahan kota melalui pemimpinnya.

Terlebih lagi para pemangku penegakan hukum yang bisa adil dalam menegakkan hukum. Misalnya dengan memprioritaskan kasus hukum yang mengguncang persatuan, dan menunda sementara kasus politisasi hukum yang sengaja diajukan saat pilkada. Tentu langkah ini akan sedikit memberikan rasa ketenangan.

Jangan sampai pemangku kepentingan menggunakan momentum dan kesempatan aji mumpung selagi memiliki kekuatan sehingga menjadi arogan dan berkehendak seperti membalas dendam.

Bila demikian yang terjadi, sampai kapan demokrasi di negeri ini bisa menjadi demokratis, dan bukan menjadi demokrasi yang kebablasan. Bukankah pemimpin yang dipilih harus menjaga tujuannya yang mulia seperti harapan dan cita-cita yang tertulis dalam Nawacita.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8918 seconds (0.1#10.140)