Menjaga Kualitas Pilkada
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
DALAM hitungan hari gelaran pilkada serentak tahap kedua akan segera dilaksanakan di 101 wilayah seluruh Indonesia. Rinciannya, 7 pilkada di tingkat provinsi, 18 pilkada di tingkat kota, dan 76 pilkada di level kabupaten.
Hajatan lima tahunan ini akan menjadi momentum memilih pemimpin populer yang mampu meningkatkan kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja. Sebab, pilkada bukan semata ritual demokrasi tanpa arti, melainkan ajang meningkatkan derajat kehidupan masyarakat melalui program kerakyatan.
Berulang kali kita telah menyelenggarakan pilkada, namun tetap saja praktik demokrasi substantif masih jauh panggang dari api. Sejumlah problem krusial seperti money politics, netralitas birokrasi, rendahnya partisipasi, hingga gurita politik dinasti yang terbukti korup.
Praktik politik semacam ini menghambat lahirnya pemimpin prorakyat. Pemenang pilkada adalah mereka yang miskin komitmen memperbaiki kualitas hidup masyarakat di daerah.
Dengan uang dan mobilisasi birokrasi, mereka begitu digdaya menang dalam pilkada. Karena itu, kualitas pilkada mesti terus dijaga, baik dari segi teknis penyelenggaraan, domain isu, politik beradab, serta melawan calon kepala daerah yang terbukti tak membumi dan berasal dari keluarga korup.
Tanpa menafikan faktor penting teknis penyelenggaraan pilkada, ada empat variabel substantif yang perlu diperhatikan secara serius guna merawat kualitas pilkada serentak tahap kedua. Pertama, partisipasi pemilih. Mengacu pada pilkada serentak tahap pertama pada 2015, kalkulasi partisipasi pemilih nasional rata-rata 70%. Angka ini menurun dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang mencapai 75%.
Banyak faktor yang mengakibatkan partisipasi menurun. Misalnya konflik antarpartai, kandidat yang tak menjual atau bermasalah, hingga rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pilkada. Bagi mereka, pilkada hanya ajang pesta pora pemburu kekuasaan yang abai terhadap persoalan mendasar publik.
Anthony Giddens dalam Runaway World (1999) mengatakan, menurunnya angka partisipasi pemilih dalam sebuah negara demokratis disebabkan oleh kinerja pemerintah, performa parpol, perilaku elite, serta kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik. Demokrasi hanya sebatas ajang ritual tanpa substansi.
Silih berganti suksesi kepemimpinan dilakukan secara berkala, namun tetap saja kesejahteraan dan pemerataan hidup tak kunjung hadir. Pada saat bersamaan, kelakuan elite semakin memamerkan sikap acuh terhadap persoalan-persoalan mendasar rakyat.
Akibatnya, publik apatis terhadap persoalan politik. Publik berkeyakinan, siapa pun yang jadi pemimpin, kesejahteraan sebatas janji indah saat kampanye. Bahkan, tak sedikit pemimpin terpilih yang mempertontonkan gaya hidup glamor menikmati hasil korupsi.
Sejatinya, demokrasi kita yang kian matang memberikan efek positif bagi lahirnya pemilih rasional. Yakni, pemilih cerdas yang menambatkan pilihan hatinya pada pemimpin yang merakyat, serta melawan calon kepala daerah yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua, politik uang (money politics). Praktik kotor ini inhern dalam politik elektoral kita. Hampir bisa dipastikan, semua kontestan berusaha menjadikan uang sebagai mesin utama pendulang suara.
Meski ilegal, barter suara pemilih dengan ”uang segar” marak dilakukan. Tentu saja money politics menjadi kisah pilu dalam pilkada kita. Ironis karena rakyat dijadikan objek jual beli suara demi kemenangan elektoral. Tak ada lagi ruang beradu argumen, visi misi, dan gagasan besar membangun daerah. Yang ada hanya ruang transaksi logistik antarelite dengan rakyat.
Di tengah pragmatisme hidup, para kontestan silih berganti menawarkan segepok cash money sebagai kompensasi meraup dukungan. Iming-iming logistik menandakan sang kandidat miskin program. Tak ada lagi tata krama, kecuali hasrat berkuasa. Alam bawah sadar rakyat dijejali janji palsu yang semu.
Di era demokrasi transaksional, uang nyatanya mampu menjadi alat politik mahaampuh meraih dukungan di level grass root. Uang adalah raja yang secara perlahan menggiring rakyat pada jurang kehancuran. Dalam konteks inilah moral politik dicampakkan ke tong sampah.
Ketiga, netralitas birokrasi yang hingga kini menjadi persoalan serius. Hasil evaluasi pilkada serentak tahap pertama memperlihatkan birokrasi tetap menjadi instrumen politik demi memobilisasi dukungan.
Kandidat petahana merupakan pihak yang paling mudah mengapitalisasi dukungan di semua level birokrasi. Bahkan, tidak sedikit oknum aparat birokrasi yang menjadi tim pemenangan kandidat tertentu.
Modus kerjanya berjalan begitu rapi, terstruktur dan sistematis. Hingga tak ada yang mengira bahwa mereka ‘bekerja’ memenangkan salah satu calon.
Godaan politik yang begitu besar mengakibatkan birokrasi kita sulit bekerja profesional. Realitas ini makin menyuburkan nada peyoratif bahwa birokrasi tetap menjadi sumber masalah, memihak, dan kerap menyalahgunakan fasilitas negara.
Padahal, birokrasi harus netral demi mewujudkan administrasi negara yang bersih dan efisien, sesuai amanat konstitusi. Posisi birokrasi sebagai kepanjangan pejabat harus kuat, mampu menghindar dari jebakan kepentingan politik penguasa.
Di banyak daerah birokrasi masih menjadi mesin politik yang ampuh untuk memengaruhi pemilih. Penetrasi jaringan ke semua level semakin mempermudah ”kerja” aparat birokrasi memenangkan pasangan calon jagoannya.
Keempat, gurita politik dinasti. Secara umum, dinasti politik bernada negatif karena selalu dikaitkan dengan korupsi. Sebab itu, dinasti politik sering mendapat perlawanan, jika bukan penolakan, di banyak daerah.
Kampanye antipolitik dinasti didasarkan pada realitas korupsi di sejumlah daerah seperti di Banten dilakukan Ratu Atut Chosiyah. Teranyar adalah korupsi Bupati Klaten, Sri Hartini yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap. Realitas ini yang membuat politik dinasti harus diamputasi.
Ruang gerak politik dinasti sempat dibatasi dalam UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Namun, undang-undang ini dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah dengan alasan inkonstitusional dan membatasi hak politik warga negara.
Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam banyak kesempatan, mengungkapkan pentingnya melawan dominasi politik dinasti. Baginya, politik dinasti di mana pun akan selalu menyuburkan praktik politik yang manipulatif, kotor, dan mendistorsi struktur masyarakat.
Politik dinasti adalah aib dari praktik demokrasi elektoral saat ini. Karena itu, sebagai upaya merawat kualitas pilkada, menjadi penting menjaga netralitas birokrasi, meningkatkan partisipasi pemilih rasional, melawan politik uang, serta memutus mata rantai politik dinasti. Semua hal ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk membangun demokrasi yang substantif.
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
DALAM hitungan hari gelaran pilkada serentak tahap kedua akan segera dilaksanakan di 101 wilayah seluruh Indonesia. Rinciannya, 7 pilkada di tingkat provinsi, 18 pilkada di tingkat kota, dan 76 pilkada di level kabupaten.
Hajatan lima tahunan ini akan menjadi momentum memilih pemimpin populer yang mampu meningkatkan kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja. Sebab, pilkada bukan semata ritual demokrasi tanpa arti, melainkan ajang meningkatkan derajat kehidupan masyarakat melalui program kerakyatan.
Berulang kali kita telah menyelenggarakan pilkada, namun tetap saja praktik demokrasi substantif masih jauh panggang dari api. Sejumlah problem krusial seperti money politics, netralitas birokrasi, rendahnya partisipasi, hingga gurita politik dinasti yang terbukti korup.
Praktik politik semacam ini menghambat lahirnya pemimpin prorakyat. Pemenang pilkada adalah mereka yang miskin komitmen memperbaiki kualitas hidup masyarakat di daerah.
Dengan uang dan mobilisasi birokrasi, mereka begitu digdaya menang dalam pilkada. Karena itu, kualitas pilkada mesti terus dijaga, baik dari segi teknis penyelenggaraan, domain isu, politik beradab, serta melawan calon kepala daerah yang terbukti tak membumi dan berasal dari keluarga korup.
Tanpa menafikan faktor penting teknis penyelenggaraan pilkada, ada empat variabel substantif yang perlu diperhatikan secara serius guna merawat kualitas pilkada serentak tahap kedua. Pertama, partisipasi pemilih. Mengacu pada pilkada serentak tahap pertama pada 2015, kalkulasi partisipasi pemilih nasional rata-rata 70%. Angka ini menurun dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang mencapai 75%.
Banyak faktor yang mengakibatkan partisipasi menurun. Misalnya konflik antarpartai, kandidat yang tak menjual atau bermasalah, hingga rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pilkada. Bagi mereka, pilkada hanya ajang pesta pora pemburu kekuasaan yang abai terhadap persoalan mendasar publik.
Anthony Giddens dalam Runaway World (1999) mengatakan, menurunnya angka partisipasi pemilih dalam sebuah negara demokratis disebabkan oleh kinerja pemerintah, performa parpol, perilaku elite, serta kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik. Demokrasi hanya sebatas ajang ritual tanpa substansi.
Silih berganti suksesi kepemimpinan dilakukan secara berkala, namun tetap saja kesejahteraan dan pemerataan hidup tak kunjung hadir. Pada saat bersamaan, kelakuan elite semakin memamerkan sikap acuh terhadap persoalan-persoalan mendasar rakyat.
Akibatnya, publik apatis terhadap persoalan politik. Publik berkeyakinan, siapa pun yang jadi pemimpin, kesejahteraan sebatas janji indah saat kampanye. Bahkan, tak sedikit pemimpin terpilih yang mempertontonkan gaya hidup glamor menikmati hasil korupsi.
Sejatinya, demokrasi kita yang kian matang memberikan efek positif bagi lahirnya pemilih rasional. Yakni, pemilih cerdas yang menambatkan pilihan hatinya pada pemimpin yang merakyat, serta melawan calon kepala daerah yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua, politik uang (money politics). Praktik kotor ini inhern dalam politik elektoral kita. Hampir bisa dipastikan, semua kontestan berusaha menjadikan uang sebagai mesin utama pendulang suara.
Meski ilegal, barter suara pemilih dengan ”uang segar” marak dilakukan. Tentu saja money politics menjadi kisah pilu dalam pilkada kita. Ironis karena rakyat dijadikan objek jual beli suara demi kemenangan elektoral. Tak ada lagi ruang beradu argumen, visi misi, dan gagasan besar membangun daerah. Yang ada hanya ruang transaksi logistik antarelite dengan rakyat.
Di tengah pragmatisme hidup, para kontestan silih berganti menawarkan segepok cash money sebagai kompensasi meraup dukungan. Iming-iming logistik menandakan sang kandidat miskin program. Tak ada lagi tata krama, kecuali hasrat berkuasa. Alam bawah sadar rakyat dijejali janji palsu yang semu.
Di era demokrasi transaksional, uang nyatanya mampu menjadi alat politik mahaampuh meraih dukungan di level grass root. Uang adalah raja yang secara perlahan menggiring rakyat pada jurang kehancuran. Dalam konteks inilah moral politik dicampakkan ke tong sampah.
Ketiga, netralitas birokrasi yang hingga kini menjadi persoalan serius. Hasil evaluasi pilkada serentak tahap pertama memperlihatkan birokrasi tetap menjadi instrumen politik demi memobilisasi dukungan.
Kandidat petahana merupakan pihak yang paling mudah mengapitalisasi dukungan di semua level birokrasi. Bahkan, tidak sedikit oknum aparat birokrasi yang menjadi tim pemenangan kandidat tertentu.
Modus kerjanya berjalan begitu rapi, terstruktur dan sistematis. Hingga tak ada yang mengira bahwa mereka ‘bekerja’ memenangkan salah satu calon.
Godaan politik yang begitu besar mengakibatkan birokrasi kita sulit bekerja profesional. Realitas ini makin menyuburkan nada peyoratif bahwa birokrasi tetap menjadi sumber masalah, memihak, dan kerap menyalahgunakan fasilitas negara.
Padahal, birokrasi harus netral demi mewujudkan administrasi negara yang bersih dan efisien, sesuai amanat konstitusi. Posisi birokrasi sebagai kepanjangan pejabat harus kuat, mampu menghindar dari jebakan kepentingan politik penguasa.
Di banyak daerah birokrasi masih menjadi mesin politik yang ampuh untuk memengaruhi pemilih. Penetrasi jaringan ke semua level semakin mempermudah ”kerja” aparat birokrasi memenangkan pasangan calon jagoannya.
Keempat, gurita politik dinasti. Secara umum, dinasti politik bernada negatif karena selalu dikaitkan dengan korupsi. Sebab itu, dinasti politik sering mendapat perlawanan, jika bukan penolakan, di banyak daerah.
Kampanye antipolitik dinasti didasarkan pada realitas korupsi di sejumlah daerah seperti di Banten dilakukan Ratu Atut Chosiyah. Teranyar adalah korupsi Bupati Klaten, Sri Hartini yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap. Realitas ini yang membuat politik dinasti harus diamputasi.
Ruang gerak politik dinasti sempat dibatasi dalam UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Namun, undang-undang ini dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah dengan alasan inkonstitusional dan membatasi hak politik warga negara.
Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam banyak kesempatan, mengungkapkan pentingnya melawan dominasi politik dinasti. Baginya, politik dinasti di mana pun akan selalu menyuburkan praktik politik yang manipulatif, kotor, dan mendistorsi struktur masyarakat.
Politik dinasti adalah aib dari praktik demokrasi elektoral saat ini. Karena itu, sebagai upaya merawat kualitas pilkada, menjadi penting menjaga netralitas birokrasi, meningkatkan partisipasi pemilih rasional, melawan politik uang, serta memutus mata rantai politik dinasti. Semua hal ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk membangun demokrasi yang substantif.
(poe)