Mahasiswa ala Militer

Rabu, 25 Januari 2017 - 07:30 WIB
Mahasiswa ala Militer
Mahasiswa ala Militer
A A A
WAJAH pendidikan kita kembali tercoreng dengan kejadian yang menimpa tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang meninggal dunia seusai mengikuti pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam (mapala) kampus tersebut di kawasan Gunung Lawu, Karangayar, Jawa Tengah.

Beberapa hari yang lalu, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta juga meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan seniornya.

Kedua kasus di awal tahun tersebut sama-sama ulah kebablasan para senior mereka di kampus demi menanamkan nilai-nilai komunitasnya. Kasus-kasus tersebut bukanlah pertama kali terjadi di Indonesia. Kasus yang masuk kategori bullying tingkat berat tersebut sering mewarnai dunia pendidikan di Tanah Air.

Itulah sebagian wajah pendidikan kita, terutama di perguruan tinggi, yang menanamkan nilai-nilai komunitasnya dengan cara militer, namun tidak mempunyai standar yang pasti. Berbeda dengan pendidikan militer yang mempunyai batas ukuran tertentu dalam memberikan pendidikan dasar.

Sungguh ironi, terkadang sering kita jumpai mahasiswa membenci sikap militeristik namun mereka justru melakukan gaya-gaya militer dalam menjalankan pendidikan dasar atau orientasi siswa dan pengenalan kampus (ospek).

Dengan dalih menanamkan nilai-nilai komunitas, junior yang mungkin secara fisik belum, atau bahkan tidak siap, “digarap” ala militer. Bentakan, bahkan pukulan, yang penuh emosi dan dendam sering terjadi.

Apakah hanya dengan cara militer menanamkan atau memberikan doktrin dan nilai-nilai sebuah komunitas? Tentu tidak.

Dunia pendidikan tinggi tentu lebih mengedepankan intelektualitas mereka dalam memberikan pemahaman tentang doktrin atau penanaman nilai-nilai. Masih banyak cara selain gaya militer untuk membangun sebuah karakter kepada seseorang.

Kondisi tersebut juga sebuah ironi karena mahasiswa adalah kelompok intelektual yang justru menggunakan cara-cara non-intelektual dalam memberikan pendidikan dasar.

Doktrinasi atau penanaman nilai-nilai dengan gaya militer pun bisa dilakukan, namun dengan standar yang jelas. Pendidikan militer ala Akmil pun pasti mempunyai batasan-batasan dalam melakukan doktrinasi.

Begitu juga mereka yang ingin pendidikan untuk menjadi bintara atau tamtama, pasti ada ukuran-ukuran sehingga risiko yang akan terjadi bisa diukur. Harus diakui, di Indonesia ini untuk urusan penanaman nilai-nilai bergaya militer ya hanya TNI yang mempunyai panduan pastinya. Pertanyaannya, kenapa tidak menggunakan jasa atau bekerja sama dengan TNI untuk melakukan ini?

Toh, PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga bekerja sama dengan TNI untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawannya. Bahkan beberapa perusahaan swasta yang besar juga bekerja sama dengan TNI untuk membangun kekompakan dan kedisiplinan bagi karyawannya.

Bukan hanya karyawan setingkat staf, karyawan yang duduk di level manajerial juga mendapat sentuhan ala militer. Dan TNI mempunyai cara yang tepat untuk melakukan ini.

TNI pun akan membedakan kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi karyawan baru atau lama, muda dan tua, ataupun staf maupun di bagian manajerial. Hasilnya pun cukup bagus dalam membangun kekompakan dan kedisiplinan karyawan sebuah perusahaan. Cara-cara tersebut tampaknya bisa juga digunakan oleh kampus-kampus dalam melakukan pendidikan dasar.

Berkaca pada kasus UII atau STIP, juga kasus-kasus sebelumnya, pemerintah harus melakukan perubahan pada sistem pendidikan dasar setiap unit kegiatan mahasiswa (UKM) atau sistem penanaman nilai-nilai kampus atau komunitas. Jika memang tidak mempunyai cara yang tepat dan korban terus berjatuhan, lebih baik cara-cara tersebut dilarang.

Bukankah kekerasan dari senior kepada junior akan terus terjadi jika sistem ini diberlakukan? Bukankah seorang junior akan mempunyai dendam kepada junior lain di kemudian tahun dan akan terus setiap tahunnya.

Jika cara-cara ini ingin diteruskan, setidaknya perguruan tinggi bisa menggandeng TNI. Atau jika tidak, akan lebih baik cara-cara kekerasan dalam menanamkan nilai-nilai komunitas atau kampus dihilangkan. Kita tentu tidak ingin wajah pendidikan tinggi kita terus digelayuti wajah muram.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4346 seconds (0.1#10.140)