Invasi Generasi Milenial di Dunia Kerja, Siapkah Kita?

Selasa, 24 Januari 2017 - 08:25 WIB
Invasi Generasi Milenial di Dunia Kerja, Siapkah Kita?
Invasi Generasi Milenial di Dunia Kerja, Siapkah Kita?
A A A
Ripy Mangkoesoebroto
Chief Human Resources Officer at Indosat Ooredoo

AKHIR-akhir ini marak diskusi baik di coffee shop, kantor, maupun di seminar-seminar membahas pusingnya para atasan menghadapi spesies pekerja baru, yang dikenal dengan istilah generasi milenial. Inilah mereka yang baru mulai masuk dunia kerja, anak-anak kelahiran tahun 1980-an.

Generasi yang lebih mengenal Minecraft dibanding Lego, memiliki jam terbang online games, maupun jam terbang naik pesawat lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Generasi Milenial terkenal dengan image-nya yang idealistic, mereka ingin mengubah dunia, kurang komitmen alias cepat bosan dengan tantangan kerja yang rutin, suka sharing, dan tidak mementingkan konsep kepemilikan. Oleh karena itu, sharing economy sukses berkembang di era milenial ini.

Suka maupun tidak, Gen Y sudah masuk ke dunia kerja dan di 2020 Gen Z akan bergabung juga. Tim rekruter yang sebelumnya cukup berbekal pengetahuan soal lingkup tanggung jawab pekerjaan, gaji dan sarana kerja, sekarang pusing menghadapi pertanyaan tentang visi perusahaan, tanggung jawab sosial, dan kemungkinan mereka dapat bekerja di kafe atau izin untuk cuti lebih lama agar dapat keliling dunia.

Masalahnya, begitu masuk dunia kerja, bagaimana dengan perilaku mereka yang kesannya mementingkan diri sendiri, senang travelling, mudah bosan dan kurang komitmen? Pusing juga sepertinya punya anak buah yang sulit diandalkan untuk tugas berjangka waktu panjang. Jangan-jangan baru selesai mengikuti pelatihan mereka langsung pindah perusahaan.

Seorang teman merekrut lulusan baru dari beragam universitas terkemuka. Dia selama ini dikenal cukup dekat dengan timnya. Dia pun ikut memakai jaringan media sosial termasuk twitter dan mem-follow teman-teman maupun timnya, termasuk si anak baru generasi milenial ini.

Di satu hari dia heboh bercerita tentang anak baru tersebut, ”Baru satu hari, itu anak sudah nge-tweet ‘first day in a new job and I am bored to death’. Waduh, saya gimana sebaiknya nih?” Apa yang terjadi? Baru hari pertama, generation gap sudah terasa. Sesuatu yang tabu bagi atasan, bagi si milenial dianggap wajar untuk diketahui orang sedunia twitter. Untung si atasan cukup kekinian dan menjadi follower twitter anak buahnya sehingga dia dapat menangkap masalah ini.

Rupanya si atasan (Gen X) beranggapan, karyawan baru tentunya perlu belajar dulu seluk-beluk perusahaan, sehingga diberilah si karyawan baru setumpuk dokumen standar kerja, proses dan kebijakan perusahaan untuk dibaca. Kebanyakan Gen X dibesarkan melalui proses belajar yang teratur, terstruktur dan satu arah.

Sementara generasi milenial, yang kebanyakan sudah memiliki akses ke internet serta beribu sumber daya, si anak muda yang dianggap dengan istilah sekarang sotoy, cenderung lebih suka bila diberi masalah untuk dipecahkan. Solusinya?

Beri dia tugas atau permasalahan yang perlu kerjakan dalam waktu tertentu serta setumpuk aturan, proses, standar kebijakan yang harus dituruti. Baru itu namanya tantangan berarti bagi pekerja milenial.

Mereka memperlakukan tugas kerja bak memecahkan misteri. Dari sinilah si anak baru akan merasakan bahwa teori lebih indah daripada realita dan atasan yang Gen X bisa jadi memang punya pengalaman dan pengetahuan yang dapat membantu mereka mengatasi masalah. Jangan lupa, mereka suka sekali diberi umpan balik yang spesifik, tetapi akan cenderung menunggu kita untuk mendekat.

Mereka yang salah atau kita yang Gen X, bahkan baby boomer yang justru perlu melihat mereka dengan cara yang berbeda? Toh generasi milenial merupakan produk dari lingkungan, teknologi, kondisi sosio-ekonomi yang muncul karena generasi kita juga. Dan toh kita juga pernah muda seperti mereka.

Kita lupa bahwa saat kuliah dan baru lulus, yang namanya orang muda memang banyak yang masih idealis, ingin kebebasan tinggi, belum terbebani dengan kebutuhan membentuk dan menghidupi keluarga serta kondisi kesehatan masih segar bugar. Apalagi ditambah dengan mudahnya akses internet serta biaya perjalanan yang semakin terjangkau, wajarlah bila orang-orang muda tertarik menjelajah dunia dan menjadi bagian dari generasi dengan mimpi membenahi dunia.

Kemudian apa dampaknya bagi perusahaan? Perusahaan dan atasan yang menerapkan aturan-aturan kaku seperti jumlah cuti terbatas, bekerja harus di jam dan lokasi kerja tertentu kemungkinan besar akan kalah dengan perusahaan dan atasan yang memberikan kebebasan memilih bagi pekerjanya.

Bagaimana dengan bidang bisnis yang menuntut rutinitas dan disiplin seperti di bidang manufaktur serta jasa layanan? Bukankah semua bidang tersebut membutuhkan komitmen, keteraturan serta kejelasan yang rinci dalam menjalankan bisnisnya?

Sebenarnya kebutuhan bisnis ini tidak harus berseberangan dengan kebutuhan generasi milenial untuk memiliki kebebasan, atau lebih tepatnya perception of freedom. Selama target, KPI, dan perannya jelas, dia juga diberi kesempatan berinovasi, kebanyakan generasi milenial dapat berprestasi di dunia kerja, bahkan memberi terobosan-terobosan bermakna.

Pada akhirnya pertanyaan yang penting bukan apakah generasi milenial sudah siap atau belum menghadapi dunia kerja? Namun lebih tepatnya adalah, apakah kita dan dunia kerja sudah siap menyambut generasi milenial?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3804 seconds (0.1#10.140)