Paradoks Kebijakan Utang
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SEJAK negara ini berdiri, kebijakan utang pemerintah selalu berhasil memanaskan sekam-sekam perdebatan. Penulis lebih suka menyebut utang pemerintah sebagai “utang kita”, karena nantinya tidak lain kitalah (masyarakat Indonesia) yang akan menanggung seluruh kewajiban pelunasan beserta beban bunganya.
Perdebatan yang timbul di sela-sela ruang diskursus publik menjadi sangat wajar terjadi, mengingat tidak ada jaminan yang tegas, pemasukan yang bersumber dari utang akan selalu berdampak positif terhadap kualitas pembangunan di Indonesia.
Pertaruhan besar sudah dilakukan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam dua tahun masa pemerintahan terkesan sangat “ramah” dengan penerimaan utang. Berdasarkan data Bank Indonesia (2017) serta Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR, 2017), posisi utang luar negeri Indonesia hingga November 2016 terakumulasi sebesar USD316 miliar.
Sebesar USD150,96 miliar atau 47,77% di antaranya merupakan utang luar negeri pemerintah. Jika diakumulasikan lagi dengan sumber-sumber utang lainnya (termasuk utang dalam negeri), total utang yang diterima pemerintah saat ini dalam mata uang rupiah sudah mencapai Rp3.485,36 triliun.
Padahal dua tahun sebelumnya ketika Presiden Jokowi baru menjabat, total utang kita baru mencapai Rp2.608,78 triliun. Dengan demikian, hanya dalam jangka waktu dua tahun, Sang Presiden “sukses” meningkatkan total utang kita hingga mencapai 33,60%.
Beberapa alasan yang digunakan pemerintah untuk merasionalisasikan kebijakan utang sebenarnya masih dapat diterima logika. Ciri khas dari sebagian besar negara berkembang memang memiliki dana pembangunan yang relatif cekak untuk membiayai berbagai kebutuhan pembangunan.
Apalagi ketika terjadi gap fiskal akibat realisasi pendapatan dan kebutuhan belanja yang tak seimbang, alternatif pembiayaan yang paling terjangkau biasanya ditutupi dengan penerimaan utang.
Pemerintah memang memiliki kewajiban menjaga defisit fiskal bertahan di bawah batas 3% terhadap agregat produk domestik bruto (PDB), untuk menghindari risiko sistemik di sektor keuangan negara. Selain untuk kepentingan pembiayaan, utang yang bersumber dari luar negeri juga dianggap mampu memperkuat kurs rupiah dengan masuknya aliran modal asing.
Di pihak seberang, juga muncul beberapa argumen yang berusaha melawan paradigma yang telah disampaikan pemerintah. Mereka yang berharap pemerintah menahan berutang, lebih karena mengantisipasi atau mengonservasi bangsa ini dari potensi intervensi terselubung (rente) para pemberi utang, terutama terhadap kebijakan-kebijakan politik di dalam negeri.
Isu ini sudah sering merebak sejak era Orde Baru berkuasa. Dampak buruknya bisa membuat susunan kebijakan politik pemerintah berlawanan arah dengan target kemandirian ekonomi domestik.
Hasilnya bisa kita saksikan bersama berdasarkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang tergolong rapuh, khususnya ketika menghadapi tantangan global (eksternal) yang berimbas pada kondisi perekonomian dalam negeri. Kemudian terkait dengan dalih penguatan nilai tukar rupiah seiring masuknya aliran modal dari luar negeri hanya berjalan sementara, karena pada periode berikutnya kita juga wajib melakukan pembayaran utang beserta beban bunganya, sehingga model penguatan ini dapat dianggap trade-off.
Masih Ada Jalan
Jika paradoks terkait kebijakan utang masih terus berlanjut, kondisi perekonomian kita akan berjalan stagnan tanpa diisi dengan perkembangan signifikan. Kita masih memiliki problem pada manajemen utang.
Penerimaan yang berasal dari utang-utang pada masa lalu dapat dikatakan “gagal” mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Apalagi, proyeksi penggunaan dana yang berasal dari utang masih terbatas untuk membiayai sektor-sektor pembangunan produktif.
Apalagi, skor incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia pada tahun 2015 masih tertahan di angka 6,78% sehingga pola investasi kita masih jauh dari efisien, karena untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, kita membutuhkan pertumbuhan investasi sebesar 6,78%.
Selain itu, alih-alih utang hendak meningkatkan produktivitas pembangunan, pembiayaan yang berasal dari utang yang paling gres biasanya justru digunakan untuk membayar utang-utang sebelumnya. Kita terjebak dengan pola “gali lubang tutup lubang”.
Namun, kondisi yang ada bukan berarti tidak dapat diperbaiki lagi. Masih ada secercah harapan yang dapat kita lakukan meskipun tidak seinstan jalan melalui utang. Solusi-solusi sederhananya dapat kita lakukan melalui empat strategi berikut.
Pertama, penerimaan dari pajak hingga saat ini masih menjadi alternatif yang terbaik untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan. Posisi tax ratio kita pada 2016 kemarin memang masih terbatas di sekitar angka 11% terhadap PDB.
Namun, potensi untuk meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak masih terhampar sangat luas. Tingkat compliers-nya juga masih bisa terus diperbaiki.
Syarat utamanya, efforts untuk peningkatan penerimaan pajak harus relevan dengan peningkatan layanan yang terkait dengan perpajakan. Momentum tax amnesty yang hingga saat ini masih terus berjalan bisa dimanfaatkan untuk memicu ide reformasi perpajakan agar kinerjanya dapat terus membaik.
Selain dengan memperbaiki infrastruktur layanan perpajakan, reformasi perpajakan sebaiknya juga berupaya untuk meningkatkan modal sosial dan kapasitas SDM perpajakan agar lebih dekat dengan masyarakat dan sejalan dengan peningkatan kepatuhan para wajib pajak.
Kedua, pemerintah bisa meningkatkan efisiensi belanja dengan memangkas pos-pos anggaran yang dinilai kurang produktif. Ide ini bertujuan meningkatkan kredibilitas anggaran pemerintah, seperti halnya yang telah dilakukan pada kuartal terakhir 2016.
Meskipun membuat daya konsumsi pemerintah menurun dan beberapa program kebijakan mengalami perombakan, setidaknya pemerintah dapat mengurangi proporsi utang untuk menutupi defisit fiskal yang ada.
Pemerintah, baru bisa memperluas anggarannya kembali jika penerimaan pajaknya sudah mampu berjalan sesuai dengan ekspektasi. Solusinya, pemerintah dapat melakukan efisiensi anggaran dengan meningkatkan koordinasi perencanaan terutama pada program-program lintas instansi yang memungkinkan untuk dielaborasi.
Ketiga, sektor-sektor potensial yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kas negara perlu didorong agar lebih berkembang. Jika melihat kondisi eksistingnya, kita bisa memprioritaskan kunci pembangunan pada sektor investasi, ekspor, dan industri pengolahan.
Sektor investasi akan mengakomodasi visi perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, sektor ini juga berpotensi menggantikan sektor konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang selama ini menjadi tonggak terbesar untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Berhubung kondisi pendapatan masyarakat dan negara tengah terganggu, efeknya langsung terasa dengan hasil perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika mengacu pada indikator daya saing global versi World Economic Forum (WEF, 2016), faktor pendorong daya investasi di dalam negeri yang perlu diupayakan pemerintah sedikitnya menyinggung empat hal utama, yakni penurunan persepsi korupsi, efisiensi birokrasi, peningkatan kualitas infrastruktur, serta peningkatan produktivitas dan kapasitas tenaga kerja.
Kebijakan ekspor juga tidak kalah penting untuk terus diperhatikan. Selain sebagai indikator yang paling mudah untuk mengukur tingkat efisiensi dan daya saing domestik, kebijakan ekspor bertujuan meningkatkan produktivitas dalam negeri dan memperkuat nilai tukar rupiah.
Tentunya dengan perluasan pasar output yang dikuasai Indonesia, sekali lagi akan dapat meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Kunci utama untuk pengembangan ekspor dapat kita arahkan pada kinerja sektor industri yang sepanjang 2016 berperan sebesar 76% terhadap total ekspor. Jadi, pengaruh kinerja sektor industri sangat mendominasi terhadap kondisi ekspor Indonesia.
Upaya pengembangan sektor industri bukanlah target yang mudah. Senada dengan tantangan pengembangan investasi, peningkatan kinerja sektor industri juga terhambat dengan empat faktor yang telah disebutkan sebelumnya yakni persepsi korupsi, birokrasi, infrastruktur, dan tenaga kerja.
Faktor tambahannya, industri kita terhitung lemah dalam jejaring rantai usaha dan sebagian besar industri kita sangat tergantung pada impor input produksi (bahan baku, bahan penolong, dan barang modal), sehingga daya saing dari sisi harga relatif mengambang dan tergantung dengan nilai tukar rupiah.
Untuk itulah, industri substitusi impor menjadi teramat penting agar sektor industri lebih terproteksi dari “jebakan” impor serta berpeluang meningkatkan efisiensi harga produk (output).
Dan keempat, terkait dengan janji pembangunan infrastruktur yang fantastis, pemerintah tidak bisa hanya menggantungkan proses pembiayaan hanya menggunakan alokasi dari APBN. Pemerintah perlu meningkatkan peran swasta mengingat kapasitas anggaran dari APBN sangat terbatas.
Beberapa alternatifnya ialah dengan mengembangkan program Public-Private Partnership atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha untuk proses pembiayaan dan pengelolaan infrastruktur. Namun, strategi ini mensyaratkan komitmen yang kuat antara pemerintah dan sektor swasta karena biaya transaksi yang dibutuhkan relatif besar.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SEJAK negara ini berdiri, kebijakan utang pemerintah selalu berhasil memanaskan sekam-sekam perdebatan. Penulis lebih suka menyebut utang pemerintah sebagai “utang kita”, karena nantinya tidak lain kitalah (masyarakat Indonesia) yang akan menanggung seluruh kewajiban pelunasan beserta beban bunganya.
Perdebatan yang timbul di sela-sela ruang diskursus publik menjadi sangat wajar terjadi, mengingat tidak ada jaminan yang tegas, pemasukan yang bersumber dari utang akan selalu berdampak positif terhadap kualitas pembangunan di Indonesia.
Pertaruhan besar sudah dilakukan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam dua tahun masa pemerintahan terkesan sangat “ramah” dengan penerimaan utang. Berdasarkan data Bank Indonesia (2017) serta Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR, 2017), posisi utang luar negeri Indonesia hingga November 2016 terakumulasi sebesar USD316 miliar.
Sebesar USD150,96 miliar atau 47,77% di antaranya merupakan utang luar negeri pemerintah. Jika diakumulasikan lagi dengan sumber-sumber utang lainnya (termasuk utang dalam negeri), total utang yang diterima pemerintah saat ini dalam mata uang rupiah sudah mencapai Rp3.485,36 triliun.
Padahal dua tahun sebelumnya ketika Presiden Jokowi baru menjabat, total utang kita baru mencapai Rp2.608,78 triliun. Dengan demikian, hanya dalam jangka waktu dua tahun, Sang Presiden “sukses” meningkatkan total utang kita hingga mencapai 33,60%.
Beberapa alasan yang digunakan pemerintah untuk merasionalisasikan kebijakan utang sebenarnya masih dapat diterima logika. Ciri khas dari sebagian besar negara berkembang memang memiliki dana pembangunan yang relatif cekak untuk membiayai berbagai kebutuhan pembangunan.
Apalagi ketika terjadi gap fiskal akibat realisasi pendapatan dan kebutuhan belanja yang tak seimbang, alternatif pembiayaan yang paling terjangkau biasanya ditutupi dengan penerimaan utang.
Pemerintah memang memiliki kewajiban menjaga defisit fiskal bertahan di bawah batas 3% terhadap agregat produk domestik bruto (PDB), untuk menghindari risiko sistemik di sektor keuangan negara. Selain untuk kepentingan pembiayaan, utang yang bersumber dari luar negeri juga dianggap mampu memperkuat kurs rupiah dengan masuknya aliran modal asing.
Di pihak seberang, juga muncul beberapa argumen yang berusaha melawan paradigma yang telah disampaikan pemerintah. Mereka yang berharap pemerintah menahan berutang, lebih karena mengantisipasi atau mengonservasi bangsa ini dari potensi intervensi terselubung (rente) para pemberi utang, terutama terhadap kebijakan-kebijakan politik di dalam negeri.
Isu ini sudah sering merebak sejak era Orde Baru berkuasa. Dampak buruknya bisa membuat susunan kebijakan politik pemerintah berlawanan arah dengan target kemandirian ekonomi domestik.
Hasilnya bisa kita saksikan bersama berdasarkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang tergolong rapuh, khususnya ketika menghadapi tantangan global (eksternal) yang berimbas pada kondisi perekonomian dalam negeri. Kemudian terkait dengan dalih penguatan nilai tukar rupiah seiring masuknya aliran modal dari luar negeri hanya berjalan sementara, karena pada periode berikutnya kita juga wajib melakukan pembayaran utang beserta beban bunganya, sehingga model penguatan ini dapat dianggap trade-off.
Masih Ada Jalan
Jika paradoks terkait kebijakan utang masih terus berlanjut, kondisi perekonomian kita akan berjalan stagnan tanpa diisi dengan perkembangan signifikan. Kita masih memiliki problem pada manajemen utang.
Penerimaan yang berasal dari utang-utang pada masa lalu dapat dikatakan “gagal” mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Apalagi, proyeksi penggunaan dana yang berasal dari utang masih terbatas untuk membiayai sektor-sektor pembangunan produktif.
Apalagi, skor incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia pada tahun 2015 masih tertahan di angka 6,78% sehingga pola investasi kita masih jauh dari efisien, karena untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, kita membutuhkan pertumbuhan investasi sebesar 6,78%.
Selain itu, alih-alih utang hendak meningkatkan produktivitas pembangunan, pembiayaan yang berasal dari utang yang paling gres biasanya justru digunakan untuk membayar utang-utang sebelumnya. Kita terjebak dengan pola “gali lubang tutup lubang”.
Namun, kondisi yang ada bukan berarti tidak dapat diperbaiki lagi. Masih ada secercah harapan yang dapat kita lakukan meskipun tidak seinstan jalan melalui utang. Solusi-solusi sederhananya dapat kita lakukan melalui empat strategi berikut.
Pertama, penerimaan dari pajak hingga saat ini masih menjadi alternatif yang terbaik untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan. Posisi tax ratio kita pada 2016 kemarin memang masih terbatas di sekitar angka 11% terhadap PDB.
Namun, potensi untuk meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak masih terhampar sangat luas. Tingkat compliers-nya juga masih bisa terus diperbaiki.
Syarat utamanya, efforts untuk peningkatan penerimaan pajak harus relevan dengan peningkatan layanan yang terkait dengan perpajakan. Momentum tax amnesty yang hingga saat ini masih terus berjalan bisa dimanfaatkan untuk memicu ide reformasi perpajakan agar kinerjanya dapat terus membaik.
Selain dengan memperbaiki infrastruktur layanan perpajakan, reformasi perpajakan sebaiknya juga berupaya untuk meningkatkan modal sosial dan kapasitas SDM perpajakan agar lebih dekat dengan masyarakat dan sejalan dengan peningkatan kepatuhan para wajib pajak.
Kedua, pemerintah bisa meningkatkan efisiensi belanja dengan memangkas pos-pos anggaran yang dinilai kurang produktif. Ide ini bertujuan meningkatkan kredibilitas anggaran pemerintah, seperti halnya yang telah dilakukan pada kuartal terakhir 2016.
Meskipun membuat daya konsumsi pemerintah menurun dan beberapa program kebijakan mengalami perombakan, setidaknya pemerintah dapat mengurangi proporsi utang untuk menutupi defisit fiskal yang ada.
Pemerintah, baru bisa memperluas anggarannya kembali jika penerimaan pajaknya sudah mampu berjalan sesuai dengan ekspektasi. Solusinya, pemerintah dapat melakukan efisiensi anggaran dengan meningkatkan koordinasi perencanaan terutama pada program-program lintas instansi yang memungkinkan untuk dielaborasi.
Ketiga, sektor-sektor potensial yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kas negara perlu didorong agar lebih berkembang. Jika melihat kondisi eksistingnya, kita bisa memprioritaskan kunci pembangunan pada sektor investasi, ekspor, dan industri pengolahan.
Sektor investasi akan mengakomodasi visi perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, sektor ini juga berpotensi menggantikan sektor konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang selama ini menjadi tonggak terbesar untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Berhubung kondisi pendapatan masyarakat dan negara tengah terganggu, efeknya langsung terasa dengan hasil perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika mengacu pada indikator daya saing global versi World Economic Forum (WEF, 2016), faktor pendorong daya investasi di dalam negeri yang perlu diupayakan pemerintah sedikitnya menyinggung empat hal utama, yakni penurunan persepsi korupsi, efisiensi birokrasi, peningkatan kualitas infrastruktur, serta peningkatan produktivitas dan kapasitas tenaga kerja.
Kebijakan ekspor juga tidak kalah penting untuk terus diperhatikan. Selain sebagai indikator yang paling mudah untuk mengukur tingkat efisiensi dan daya saing domestik, kebijakan ekspor bertujuan meningkatkan produktivitas dalam negeri dan memperkuat nilai tukar rupiah.
Tentunya dengan perluasan pasar output yang dikuasai Indonesia, sekali lagi akan dapat meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Kunci utama untuk pengembangan ekspor dapat kita arahkan pada kinerja sektor industri yang sepanjang 2016 berperan sebesar 76% terhadap total ekspor. Jadi, pengaruh kinerja sektor industri sangat mendominasi terhadap kondisi ekspor Indonesia.
Upaya pengembangan sektor industri bukanlah target yang mudah. Senada dengan tantangan pengembangan investasi, peningkatan kinerja sektor industri juga terhambat dengan empat faktor yang telah disebutkan sebelumnya yakni persepsi korupsi, birokrasi, infrastruktur, dan tenaga kerja.
Faktor tambahannya, industri kita terhitung lemah dalam jejaring rantai usaha dan sebagian besar industri kita sangat tergantung pada impor input produksi (bahan baku, bahan penolong, dan barang modal), sehingga daya saing dari sisi harga relatif mengambang dan tergantung dengan nilai tukar rupiah.
Untuk itulah, industri substitusi impor menjadi teramat penting agar sektor industri lebih terproteksi dari “jebakan” impor serta berpeluang meningkatkan efisiensi harga produk (output).
Dan keempat, terkait dengan janji pembangunan infrastruktur yang fantastis, pemerintah tidak bisa hanya menggantungkan proses pembiayaan hanya menggunakan alokasi dari APBN. Pemerintah perlu meningkatkan peran swasta mengingat kapasitas anggaran dari APBN sangat terbatas.
Beberapa alternatifnya ialah dengan mengembangkan program Public-Private Partnership atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha untuk proses pembiayaan dan pengelolaan infrastruktur. Namun, strategi ini mensyaratkan komitmen yang kuat antara pemerintah dan sektor swasta karena biaya transaksi yang dibutuhkan relatif besar.
(poe)