Internasionalisasi Industri Pertahanan
A
A
A
Dr Connie Rahakundini Bakrie
Dewan Pembina National Air Power And
Space Centre Of Indonesia (NAPSCI),
President Indonesia Institute For Maritime Studies (IIMS)
PRESIDEN Joko Widodo dalam pengarahannya pada pembukaan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 16 Januari 2017 menyoroti industri pertahanan dalam negeri dan berpesan agar industri pertahanan (indhan) Indonesia tidak saja harus mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kapabilitas TNI, tetapi juga dapat go international.
Presiden menekankan akan pentingnya kekompetitifan karena menurutnya semua produk termasuk alat peralatan pertahanan (alpalhan) dan alat peralatan khusus (alpalsus)—keduanya lebih dikenal sebagai alutsista— akan berkompetisi dengan negara lain.
Apa yang disampaikan Presiden menjadi momentum penting karena sesungguhnya pasang-surut industri pertahanan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pimpinan negara. Industri pertahanan akan bangkit jika ada kemauan, komitmen, dan keberpihakan pemerintah untuk mendorong kebangkitan industri pertahanan dalam negeri.
Untuk mengimplementasikan arahan Presiden ini, perlu dilakukan beberapa penekanan: Pertama, penting ada koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan supervisi pada pelaksanaan pencapaian stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan melalui apa yang disebut sebagai poros Quadraple Helix Academicians, Businessman, Government, and Military (ABGM).
Kedua, dibutuhkan kesamaan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dari semua pemangku kepentingan dalam rangka memberdayakan industri pertahanan dalam negeri dan interagency approach untuk mengelola peran, waktu, dan penahapan yang jelas dan rinci akan pelibatan dan komitmen para stakeholders terkait keperluan end users (TNI).
Patut disadari bahwa pengadaan alat senjata menuju industrialisasi untuk mengurangi ketergantungan militer dan sistem pertahanan negara terhadap impor senjata dan alat khusus pertahanan memerlukan counter dependent strategy yang sebenarnya sudah terbagi secara jelas. Dalam konsep ini jika negara dikategorikan masih dalam tahap weak technological base, yang dapat semata dilakukan negara adalah diversifikasi teknologi.
Tetapi, jika negara dinilai sudah dalam tahapan strong technological base, industrialisasi indhanlah yang harus dibangun dan karenanya transparansi serta audit teknologi harus dapat dilakukan negara pada BUMN serta BUMS penunjang indhan.
Industri pertahanan sendiri dikelompokkan berdasarkan industri akhir alat utama hingga ke industri hulunya dengan pembagian tier sebagai berikut:
1) Industri/produsen alat utama yang berperan sebagai lead integrator untuk memproduksi alutsista (sebagai pabrikan/ produsen/manufaktur alutsista, tier-1/BUMN/BUMS). 2) Industri/ produsen komponen utama (main component) yang memproduksi bagian-bagian besar dan penting atau sub system dari alat utama (tier-2/ industri pendukung).
3) Industri/ produsen komponen/suku cadang dan/atau nonalutsista yang berfungsi sebagai industri penunjang (tier-3). 4) Industri/ produsen bahan baku yang memproduksi bahan baku untuk digunakan di industri/produsen alat utama, industri/produsen komponen utama, dan industri/produsen komponen/ suku cadang (tier-4).
Dari pengelompokkan tier industri pertahanan maka ditetapkan kriteria industri yang memiliki beberapa kemampuan dan penguasaan baik secara sendiri ataupun bersama-sama dalam hal: 1) Teknologi rancang bangun (design engineering). 2) Mewujudkan desain menjadi suatu prototipe atau produk (product development).
3) Produksi/ manufaktur/merakit (production/manufacturing/assembling). 4) Pemasaran (marketing). 5) Pelayanan purnajual (after sales service). 6) Pelayanan pemeliharaan dan perbaikan (maintenance services and repair) dan modifikasi (upgrading/retrofit). Terakhir, 7) Pelayanan dukungan/bantuan logistik terpadu kepada pengguna produk (integrated logistic support).
Membangun negara yang berkeinginan untuk memiliki kemandirian dalam pembangunan industri pertahanannya membawa konsekuensi terutama pada pentingnya perlindungan negara terhadap proses pembangunan kekuatan kemandirian industri ini sendiri.
Prinsip ekonomi murni atas dasar untung-rugi tidak dapat diterapkan. Aspek keuntungrugian harus juga terukur dari faktor nonekonomi seperti kontribusi pembangunan kemandirian industri pertahanan terhadap sektor-sektor lain sesuai tahapan tier, dampak pengembangan terhadap produk bagi keperluan sipil.
Termasuk juga di dalamnya kompetisi industri ini sendiri dalam tingkat permainan serta perang ekonomi dan teknologi yang akan sangat terkait erat serta memerlukan pertimbangan dan keputusan politis dan strategis. Di Inggris misalnya sangat disadari bahwa diperlukan upaya keras agar negara mampu mempertahankan tingkat kedaulatan pada aspek industrial skills, capacities, capabilities, and technology untuk menjamin keberlangsungan operational independence (Defence Industrial Strategy, UK, 2005).
Karena itu, tersusun jelas ranah otoritas kementerian atau departemen dan lembaga di Inggris yang membidangi pertahanan negara sehingga tidak lahir kemudian persaingan ranah kewenangan dalam pembuatan kebijakan dan pengelolaan pembangunan industri pertahanan tersebut.
Patut disadari oleh Presiden bahwa pasar utama industri pertahanan adalah negara, bukan aktor nonnegara, sehingga diperlukan regulasi yang sangat ketat dan terukur. Harus pula disadari dalam menapaki “tangga pembangunan industri pertahanan” internasional kelak sangatlah sarat akan political strategic contents sehingga kemungkinan hal ini menjadi isu sensitif baik di dalam negeri maupun dalam hubungan dengan negara lain.
Situasi seperti itu harus diantisipasi utamanya terkait teknologi, perjanjian penggunaan alpahan dan alpalsus, termasuk sistem kelaikan serta sertifikasi di mana kesemuanya dikendalikan oleh rezim internasional. Itu mengapa dalam membangun kemandirian industri pertahanan seringkali negara mengalami beberapa perdebatan terkait: Pertama, state-control atau market system.
Kedua, pilihan antara memproduksi sendiri ataukah membeli dari negara lain ditinjau baik dari sisi pertahanan negara maupun pertimbangan ekonomi. Ketiga, pengaruh serta konsentrasi pada key aspects of defence capability dan pilihan prioritas teknologi untuk memperoleh keunggulan inovatif dalam pembangunan arah kekuatan serta penangkalan.
Pembangunan industri pertahanan juga sangat terkait pada kebijakan atau Strategi Raya Presiden dengan visi awal menjadikan Indonesia sebagai negara Poros Maritim Dunia, yang jelas berdampak sekaligus menjadikan juga Indonesia sebagai Poros Dirgantara Dunia.
Visi ini harusnya dapat menjawab akan transformasi militer seperti apa yang kita butuhkan bagi TNI untuk menghadapi ancaman baik dalam level nasional, regional, maupun internasional serta mengukur dengan jujur kemampuan kita sendiri terkait sampai di mana tahap industri militer kita saat ini dan dari mana teknologi tersebut akan didapat?
Apakah dengan alih teknologi yaitu melalui lisensi atau pelatihan yang dilakukan berkaitan dengan pengadaan alutsista dari luar negeri? Apakah melalui forward engineering dengan meningkatkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dalam berbagai bidang ilmu dasar dan ilmu terapan melalui tahapan “idea-design-manufacturing-testing” ataukah melalui reverse engineering yaitu membongkar sistem senjata yang dimiliki untuk dipelajari dan dikembangkan menjadi produk baru sesuai kebutuhan?
Bagaimana mekanisme “off-set” and transfer of technology yang diharapkan dan dapat dicapai? Terpenting di atas semua itu, untuk mencapai impian Presiden di atas, BUMN dan produsen alpalhan/alpalsus Indonesia dituntut untuk bersiap diri dalam memasuki ranah pembentukan “simpul pasar produsen senjata” yang selain memerlukan keterlibatan sangat luas dalam kemitraan strategis (menuntut tidak ada monopoli oleh produsen senjata dunia tertentu pada industri pertahanan BUMN/ BUMS).
Dalam konteks ini diperlukan kekuatan interagency kementerian atau lembaga terkait dalam membangun “regional daninternational hub“ terkait simpul pasar produsen senjata tersebut. Mengapa diperlukan arah kebijakan sipil dan rasionalisasi terhadap pembangunan profesionalisme TNI serta kemandirian industri pertahanan yang akurat dan jelas?
Karena, dengan inilah baru dapat ditetapkan arah penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan kita yang akhirnya harus terkait dengan beberapa teknologi yang wajib dikuasai seperti teknologi material, aerodinamika, hidrodinamika, instrumentalia, kontrol, informatika, dan propulsi di mana semua harus dapat tersertifikasi secara internasional dan dapat terintegrasi pada kerangka acuan pembangunan teknologi dan kebijakan pertahanan kita.
Perubahan arah kebijakan sipil akan fungsi militer inilah yang kemudian mampu menghubungkan konsep “transforming- transformation“. Konsep ini merupakan konsekuensi nyata dari dunia yang semakin terintegrasi di mana kemudian disadari bahwa penekanan dalam penataan persepsi ancaman yang baru ternyata menghasilkan pemahaman lebih luas pada militer dalam aspek “homeland security“, termasuk arah pembangunan kekuatan industri pertahanan dan pengembangan teknologi yang diperlukannya.
US Quadrennial Defense Review mengidentifikasikan “transformasi militer” mencakup proses di antara lain perpindahan dari threat-based planning ke capabilities based planning, dari DoD solutions ke interagency approaches, dari static defense garrison forces ke mobile expeditionary operations, dan dari perpindahan fragmented homeland assistance ke integrated homeland security.
Jika negara tidak mampu memberikan guideline jelas akan military deployment capabilities yang ditargetkannya, negara akan terus memerangkap militernya (TNI) dalam perdebatan antara efisiensi belanja pertahanan dan rasionalisasi postur pertahanan, dihadapkan pada optimalisasi militer dan efektivitas industri pertahanannya.
Guidline inilah juga yang akan menjawab apa, di mana, dan kapan tahapan tangga produksi senjata harus terkejar untuk memenuhi tuntutan serta kompetensi mencakup project agreement, pengembangan teknologi, manufacturing, serta production contract dari pasar dunia yang ingin kita masuki.
Sebagai catatan penutup, perkembangan teknologi perang yang sedang digunakan saat ini dan terlebih pada masa mendatang telah mencakup teknologi yang terkait serta terintegrasi di antara peran dan militer kompetisi terkait precision war, stealth unmanned system, tactical operational use of space, network based warfare and joint integration menuju ke antiaccess, un-manned war, extended range operation, space war, dan nano war.
Semua ini sangat akan bermuara pada peningkatan anggaran research and development (R&D) pertahanan secara signifikan. Jelaslah, perjalanan negara beserta aktor industri pertahanan alpalhan/alpalsus kita masih sangat panjang dalam mewujudkan harapan Presiden akan “go international”-nya industri pertahanan Indonesia.
Dewan Pembina National Air Power And
Space Centre Of Indonesia (NAPSCI),
President Indonesia Institute For Maritime Studies (IIMS)
PRESIDEN Joko Widodo dalam pengarahannya pada pembukaan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 16 Januari 2017 menyoroti industri pertahanan dalam negeri dan berpesan agar industri pertahanan (indhan) Indonesia tidak saja harus mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kapabilitas TNI, tetapi juga dapat go international.
Presiden menekankan akan pentingnya kekompetitifan karena menurutnya semua produk termasuk alat peralatan pertahanan (alpalhan) dan alat peralatan khusus (alpalsus)—keduanya lebih dikenal sebagai alutsista— akan berkompetisi dengan negara lain.
Apa yang disampaikan Presiden menjadi momentum penting karena sesungguhnya pasang-surut industri pertahanan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pimpinan negara. Industri pertahanan akan bangkit jika ada kemauan, komitmen, dan keberpihakan pemerintah untuk mendorong kebangkitan industri pertahanan dalam negeri.
Untuk mengimplementasikan arahan Presiden ini, perlu dilakukan beberapa penekanan: Pertama, penting ada koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan supervisi pada pelaksanaan pencapaian stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan melalui apa yang disebut sebagai poros Quadraple Helix Academicians, Businessman, Government, and Military (ABGM).
Kedua, dibutuhkan kesamaan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dari semua pemangku kepentingan dalam rangka memberdayakan industri pertahanan dalam negeri dan interagency approach untuk mengelola peran, waktu, dan penahapan yang jelas dan rinci akan pelibatan dan komitmen para stakeholders terkait keperluan end users (TNI).
Patut disadari bahwa pengadaan alat senjata menuju industrialisasi untuk mengurangi ketergantungan militer dan sistem pertahanan negara terhadap impor senjata dan alat khusus pertahanan memerlukan counter dependent strategy yang sebenarnya sudah terbagi secara jelas. Dalam konsep ini jika negara dikategorikan masih dalam tahap weak technological base, yang dapat semata dilakukan negara adalah diversifikasi teknologi.
Tetapi, jika negara dinilai sudah dalam tahapan strong technological base, industrialisasi indhanlah yang harus dibangun dan karenanya transparansi serta audit teknologi harus dapat dilakukan negara pada BUMN serta BUMS penunjang indhan.
Industri pertahanan sendiri dikelompokkan berdasarkan industri akhir alat utama hingga ke industri hulunya dengan pembagian tier sebagai berikut:
1) Industri/produsen alat utama yang berperan sebagai lead integrator untuk memproduksi alutsista (sebagai pabrikan/ produsen/manufaktur alutsista, tier-1/BUMN/BUMS). 2) Industri/ produsen komponen utama (main component) yang memproduksi bagian-bagian besar dan penting atau sub system dari alat utama (tier-2/ industri pendukung).
3) Industri/ produsen komponen/suku cadang dan/atau nonalutsista yang berfungsi sebagai industri penunjang (tier-3). 4) Industri/ produsen bahan baku yang memproduksi bahan baku untuk digunakan di industri/produsen alat utama, industri/produsen komponen utama, dan industri/produsen komponen/ suku cadang (tier-4).
Dari pengelompokkan tier industri pertahanan maka ditetapkan kriteria industri yang memiliki beberapa kemampuan dan penguasaan baik secara sendiri ataupun bersama-sama dalam hal: 1) Teknologi rancang bangun (design engineering). 2) Mewujudkan desain menjadi suatu prototipe atau produk (product development).
3) Produksi/ manufaktur/merakit (production/manufacturing/assembling). 4) Pemasaran (marketing). 5) Pelayanan purnajual (after sales service). 6) Pelayanan pemeliharaan dan perbaikan (maintenance services and repair) dan modifikasi (upgrading/retrofit). Terakhir, 7) Pelayanan dukungan/bantuan logistik terpadu kepada pengguna produk (integrated logistic support).
Membangun negara yang berkeinginan untuk memiliki kemandirian dalam pembangunan industri pertahanannya membawa konsekuensi terutama pada pentingnya perlindungan negara terhadap proses pembangunan kekuatan kemandirian industri ini sendiri.
Prinsip ekonomi murni atas dasar untung-rugi tidak dapat diterapkan. Aspek keuntungrugian harus juga terukur dari faktor nonekonomi seperti kontribusi pembangunan kemandirian industri pertahanan terhadap sektor-sektor lain sesuai tahapan tier, dampak pengembangan terhadap produk bagi keperluan sipil.
Termasuk juga di dalamnya kompetisi industri ini sendiri dalam tingkat permainan serta perang ekonomi dan teknologi yang akan sangat terkait erat serta memerlukan pertimbangan dan keputusan politis dan strategis. Di Inggris misalnya sangat disadari bahwa diperlukan upaya keras agar negara mampu mempertahankan tingkat kedaulatan pada aspek industrial skills, capacities, capabilities, and technology untuk menjamin keberlangsungan operational independence (Defence Industrial Strategy, UK, 2005).
Karena itu, tersusun jelas ranah otoritas kementerian atau departemen dan lembaga di Inggris yang membidangi pertahanan negara sehingga tidak lahir kemudian persaingan ranah kewenangan dalam pembuatan kebijakan dan pengelolaan pembangunan industri pertahanan tersebut.
Patut disadari oleh Presiden bahwa pasar utama industri pertahanan adalah negara, bukan aktor nonnegara, sehingga diperlukan regulasi yang sangat ketat dan terukur. Harus pula disadari dalam menapaki “tangga pembangunan industri pertahanan” internasional kelak sangatlah sarat akan political strategic contents sehingga kemungkinan hal ini menjadi isu sensitif baik di dalam negeri maupun dalam hubungan dengan negara lain.
Situasi seperti itu harus diantisipasi utamanya terkait teknologi, perjanjian penggunaan alpahan dan alpalsus, termasuk sistem kelaikan serta sertifikasi di mana kesemuanya dikendalikan oleh rezim internasional. Itu mengapa dalam membangun kemandirian industri pertahanan seringkali negara mengalami beberapa perdebatan terkait: Pertama, state-control atau market system.
Kedua, pilihan antara memproduksi sendiri ataukah membeli dari negara lain ditinjau baik dari sisi pertahanan negara maupun pertimbangan ekonomi. Ketiga, pengaruh serta konsentrasi pada key aspects of defence capability dan pilihan prioritas teknologi untuk memperoleh keunggulan inovatif dalam pembangunan arah kekuatan serta penangkalan.
Pembangunan industri pertahanan juga sangat terkait pada kebijakan atau Strategi Raya Presiden dengan visi awal menjadikan Indonesia sebagai negara Poros Maritim Dunia, yang jelas berdampak sekaligus menjadikan juga Indonesia sebagai Poros Dirgantara Dunia.
Visi ini harusnya dapat menjawab akan transformasi militer seperti apa yang kita butuhkan bagi TNI untuk menghadapi ancaman baik dalam level nasional, regional, maupun internasional serta mengukur dengan jujur kemampuan kita sendiri terkait sampai di mana tahap industri militer kita saat ini dan dari mana teknologi tersebut akan didapat?
Apakah dengan alih teknologi yaitu melalui lisensi atau pelatihan yang dilakukan berkaitan dengan pengadaan alutsista dari luar negeri? Apakah melalui forward engineering dengan meningkatkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dalam berbagai bidang ilmu dasar dan ilmu terapan melalui tahapan “idea-design-manufacturing-testing” ataukah melalui reverse engineering yaitu membongkar sistem senjata yang dimiliki untuk dipelajari dan dikembangkan menjadi produk baru sesuai kebutuhan?
Bagaimana mekanisme “off-set” and transfer of technology yang diharapkan dan dapat dicapai? Terpenting di atas semua itu, untuk mencapai impian Presiden di atas, BUMN dan produsen alpalhan/alpalsus Indonesia dituntut untuk bersiap diri dalam memasuki ranah pembentukan “simpul pasar produsen senjata” yang selain memerlukan keterlibatan sangat luas dalam kemitraan strategis (menuntut tidak ada monopoli oleh produsen senjata dunia tertentu pada industri pertahanan BUMN/ BUMS).
Dalam konteks ini diperlukan kekuatan interagency kementerian atau lembaga terkait dalam membangun “regional daninternational hub“ terkait simpul pasar produsen senjata tersebut. Mengapa diperlukan arah kebijakan sipil dan rasionalisasi terhadap pembangunan profesionalisme TNI serta kemandirian industri pertahanan yang akurat dan jelas?
Karena, dengan inilah baru dapat ditetapkan arah penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan kita yang akhirnya harus terkait dengan beberapa teknologi yang wajib dikuasai seperti teknologi material, aerodinamika, hidrodinamika, instrumentalia, kontrol, informatika, dan propulsi di mana semua harus dapat tersertifikasi secara internasional dan dapat terintegrasi pada kerangka acuan pembangunan teknologi dan kebijakan pertahanan kita.
Perubahan arah kebijakan sipil akan fungsi militer inilah yang kemudian mampu menghubungkan konsep “transforming- transformation“. Konsep ini merupakan konsekuensi nyata dari dunia yang semakin terintegrasi di mana kemudian disadari bahwa penekanan dalam penataan persepsi ancaman yang baru ternyata menghasilkan pemahaman lebih luas pada militer dalam aspek “homeland security“, termasuk arah pembangunan kekuatan industri pertahanan dan pengembangan teknologi yang diperlukannya.
US Quadrennial Defense Review mengidentifikasikan “transformasi militer” mencakup proses di antara lain perpindahan dari threat-based planning ke capabilities based planning, dari DoD solutions ke interagency approaches, dari static defense garrison forces ke mobile expeditionary operations, dan dari perpindahan fragmented homeland assistance ke integrated homeland security.
Jika negara tidak mampu memberikan guideline jelas akan military deployment capabilities yang ditargetkannya, negara akan terus memerangkap militernya (TNI) dalam perdebatan antara efisiensi belanja pertahanan dan rasionalisasi postur pertahanan, dihadapkan pada optimalisasi militer dan efektivitas industri pertahanannya.
Guidline inilah juga yang akan menjawab apa, di mana, dan kapan tahapan tangga produksi senjata harus terkejar untuk memenuhi tuntutan serta kompetensi mencakup project agreement, pengembangan teknologi, manufacturing, serta production contract dari pasar dunia yang ingin kita masuki.
Sebagai catatan penutup, perkembangan teknologi perang yang sedang digunakan saat ini dan terlebih pada masa mendatang telah mencakup teknologi yang terkait serta terintegrasi di antara peran dan militer kompetisi terkait precision war, stealth unmanned system, tactical operational use of space, network based warfare and joint integration menuju ke antiaccess, un-manned war, extended range operation, space war, dan nano war.
Semua ini sangat akan bermuara pada peningkatan anggaran research and development (R&D) pertahanan secara signifikan. Jelaslah, perjalanan negara beserta aktor industri pertahanan alpalhan/alpalsus kita masih sangat panjang dalam mewujudkan harapan Presiden akan “go international”-nya industri pertahanan Indonesia.
(poe)