RUU Pemilu, Yusril: Presidential Threshold Tak Relevan Diberlakukan
A
A
A
JAKARTA - Revisi Undang-undang (UU) Pemilu sedang dibahas oleh para legilslator di Senayan, Jakarta salah satu isu strategis yang dibahs adalah perdebatan mengenai ambang batas partai politik (parpol) dapat mengajukan calon presiden (presidential threshold).
Merespons hal itu Pengamat Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat, pascaputusan MK pada tahun 2014, presidential threshold tidak ada relevansinya. Dalam putusan itu dinyatakan bahwa Pemilu untuk memilih DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden mulai tahun 2019 wajib dilaksanakan serentak pada hari yang sama.
Yusril mengurai alasan mengapa pemberlakukan presidential threshold tak relevan, dalam Pasal 22E UUD 1945 dengan jelas dinyatakan, bahwa Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Khusus tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden UUD 45 menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan.
Yusril menilai, norma Pasal UUD 45 di atas itu, selama ini diplintir oleh Pemerintah dan beberapa fraksi DPR untuk mewujudkan keinginan politik mereka agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dibatasi. Frasa kata 'sebelum pemilihan umum dilaksanakan' diartikan sebagai sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
"Pemikiran yang lebih musykil mengenal ambang batas ini justru datang dari Mendagri yang ingin menjadikan perolehan kursi dalam Pemilu DPR sebelumnya dijadikan sebagai dasar penentuan ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden," terang Yusril, Kamis (19/1/2017).
Menurut Yusril, dalam Pasal 6A jika dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 45 dengan jelas menunjukkan bahwa Pemilu dilaksanakan serentak dan setiap parpol peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebelum pesta demokrasi itu dilaksanakan. Kalau Pemilu memang wajib dilaksanakan serentak, maka pembicaraan tentang threshold atau ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi tidak relevan sama sekali.
"Perolehan hasil Pemilu lima tahun yang lalu itu, tidak ada alasan rasionalnya untuk dijadikan dasar penentuan ambang batas. Situasi politik sudah berubah dalam kurun waktu lima tahun, karena itulah harus diadakan pemilu lagi," pungkasnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM era SBY ini memprediksi jika ambang batas tetap disahkan menjadi Undang-undang. Aturan seperti akan dibatalkan oleh MK dalam proses uji materil. Atas hal itu, Yusril meminta UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten.
"Demi melaksanakan UUD 45 secara konsekuen, maka kepentingan politik golongan dalam membahas perlu tidaknya ambang batas ini hendaknya disingkirkan jauh-jauh dari sekarang. Membangun bangsa dan negara haruslah dengan kesatria dan berjiwa besar. Jiwa yang kerdil hanyalah akan mengerdilkan bangsa ini," tukasnya.
Merespons hal itu Pengamat Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat, pascaputusan MK pada tahun 2014, presidential threshold tidak ada relevansinya. Dalam putusan itu dinyatakan bahwa Pemilu untuk memilih DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden mulai tahun 2019 wajib dilaksanakan serentak pada hari yang sama.
Yusril mengurai alasan mengapa pemberlakukan presidential threshold tak relevan, dalam Pasal 22E UUD 1945 dengan jelas dinyatakan, bahwa Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Khusus tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden UUD 45 menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan.
Yusril menilai, norma Pasal UUD 45 di atas itu, selama ini diplintir oleh Pemerintah dan beberapa fraksi DPR untuk mewujudkan keinginan politik mereka agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dibatasi. Frasa kata 'sebelum pemilihan umum dilaksanakan' diartikan sebagai sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
"Pemikiran yang lebih musykil mengenal ambang batas ini justru datang dari Mendagri yang ingin menjadikan perolehan kursi dalam Pemilu DPR sebelumnya dijadikan sebagai dasar penentuan ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden," terang Yusril, Kamis (19/1/2017).
Menurut Yusril, dalam Pasal 6A jika dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 45 dengan jelas menunjukkan bahwa Pemilu dilaksanakan serentak dan setiap parpol peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebelum pesta demokrasi itu dilaksanakan. Kalau Pemilu memang wajib dilaksanakan serentak, maka pembicaraan tentang threshold atau ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi tidak relevan sama sekali.
"Perolehan hasil Pemilu lima tahun yang lalu itu, tidak ada alasan rasionalnya untuk dijadikan dasar penentuan ambang batas. Situasi politik sudah berubah dalam kurun waktu lima tahun, karena itulah harus diadakan pemilu lagi," pungkasnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM era SBY ini memprediksi jika ambang batas tetap disahkan menjadi Undang-undang. Aturan seperti akan dibatalkan oleh MK dalam proses uji materil. Atas hal itu, Yusril meminta UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten.
"Demi melaksanakan UUD 45 secara konsekuen, maka kepentingan politik golongan dalam membahas perlu tidaknya ambang batas ini hendaknya disingkirkan jauh-jauh dari sekarang. Membangun bangsa dan negara haruslah dengan kesatria dan berjiwa besar. Jiwa yang kerdil hanyalah akan mengerdilkan bangsa ini," tukasnya.
(mhd)