Atas Nama Komite Sekolah

Kamis, 19 Januari 2017 - 08:58 WIB
Atas Nama Komite Sekolah
Atas Nama Komite Sekolah
A A A
Prof Amzulian Rifai, PhD
Ketua Ombudsman RI

SEJAK 30 Desember 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Salah satu pertimbangan diterbitkannya peraturan ini dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan, merevitalisasi tugas komite sekolah atas dasar prinsip gotong-royong.

Saya menilai setidaknya ada dua tujuan lain yang hendak dicapai. Pertama, meluruskan eksistensi Komite Sekolah. Jangan sampai komite sekolah menjelma menjadi lembaga pemungut iuran kepada peserta didik sekalipun bersifat liar.

Kedua, Permendikbud No 75 Tahun 2016 juga ingin mengajak semua komponen masyarakat untuk secara bergotong-royong terlibat dalam pembangunan pendidikan. Aturan ini seakan ingin menegaskan bahwa bidang pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi ada juga di pundak orang tua dan masyarakat.

Memang tentu saja penerapan permendikbud ini masih harus diuji implementasinya di lapangan. Tidak boleh realisasinya nanti justru menyimpang.

Komite Sekolah Selama Ini
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan itu bukan hanya pada pemerintah. Orang tua dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab tersebut. Permendikbud No 75 Tahun 2016 mengartikan komite sekolah sebagai lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/ wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

Selama ini komite sekolah merupakan wadah yang cukup populer, tetapi juga “momok” bagi sebagian peserta didik/ orang tua. Tentu bukan tanpa alasan apabila ada pandangan semacam ini.

Itu sebabnya ketika Mendikbud mengeluarkan peraturan soal ini “langsung disambar” begitu saja oleh publik dengan tafsir sendiri. Mungkin tanpa membaca tuntas isi per-mendikbud tersebut. Penyebab lainnya karena selama ini sepak terjang sebagian komite sekolah memang menyimpang.

Selama ini pula banyak komite sekolah menjelma menjadi lembaga justifikasi untuk memungut berbagai iuran atas nama kepentingan sekolah. Walaupun belum tentu terjadi di semua sekolah, ada iuran yang menjelma dalam beragam rupa.

Ada pungutan uang asrama berjumlah jutaan rupiah per bulan untuk sekolah negeri yang mengasramakan peserta didiknya. Iuran wajib karena peserta didik setidaknya untuk tahun pertama wajib tinggal di sekolah.

Ombudsman Republik Indonesia memiliki “pohon pungutan sekolah” yang menggambarkan berbagai jenis pungutan oleh sekolah. Ada pungutan untuk seragam, untuk pembangunan, untuk pelajaran tambahan. Begitu juga beragam jenis pungutan lain seperti uang pindah sekolah, uang perpisahan, biaya ekskul, biaya daftar ulang, biaya kegiatan operasional sekolah, infak, studi tur, dan lain-lain.

Jangan heran jika penyelenggara pendidikan dasar dan menengah rentan berurusan dengan kepolisian dan kejaksaan terkait tindak pidana korupsi. Cukup banyak penyelenggara pendidikan di daerah yang masuk penjara karena didakwa korupsi melalui berbagai pungutan yang dinilai liar.

Kontribusi Diperlukan
Beberapa waktu lalu ada seorang kepala sekolah di DKI Jakarta yang mengeluhkan kebutuhan sekolahnya di saat saya menjadi pembicara di Kemendikbud. Bayangkan, kepala sekolah berlokasi di ibu kota negara saja berkeluh kesah atas fasilitasnya. Bagaimana dengan para kepala sekolah di 33 provinsi lainnya, bahkan di pelosok-pelosok Tanah Air, pasti sudah lama menangisi kondisinya.

Itu sebabnya kontribusi dari masyarakat terhadap aktivitas pendidikan itu diperlukan. Tidak mungkin semua kebutuhan sekolah dapat dipenuhi melalui anggaran pemerintah. Ada keterbatasan jumlah dana dibandingkan dengan kebutuhan.

Kita menyaksikan berbagai kebutuhan fasilitas minimal di banyak sekolah di negeri ini masih belum terpenuhi. Fasilitas ruang kelas, toilet, komputer, perpustakaan, dan sebagainya. Banyak sekolah yang belum memiliki ruang pertemuan. Sementara kucuran dana dari pemerintah tersendat dan belum merata.

Memang publik juga bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kewajiban negara mengalokasikan sebesar 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Di satu sisi hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah di bidang pendidikan, tetapi pada sisi lain juga dipertanyakan soal keseriusan alokasinya.

Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi anggaran pendidikan. Hal ini dikuatkan dengan Putusan MK No:013/PUU-VI/2008 bahwa pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Alokasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan terkait peningkatan kualitas. Kemudian soal alokasi 20% ini lebih khusus dimuat dalam Pasal 49 UU No 20 Tahun 2003 Pasal 1.

Dalam APBN tahun 2016 misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat alokasi anggaran Rp49,2 triliun. Ditambah lagi dengan anggaran untuk Kementerian Riset dan Teknologi sebesar Rp40,6 triliun sehingga total anggaran pendidikan mencapai Rp89,8 triliun. Apakah jumlah ini sudah memenuhi 20% dari anggaran negara?

Mengutip Menkeu saat itu bahwa dalam kesepakatan antara pemerintah dan DPR, pendapatan negara ditetapkan Rp1.822,5 triliun. Belum ada penjelasan komprehensif tentang cukup tidaknya anggaran pendidikan “yang sudah cukup besar itu” bila dibandingkan dengan kebutuhan nyata. Namun mengamati berbagai keluhan di lapangan oleh penyelenggara pendidikan, dapat dipastikan anggaran itu ternyata belum juga memuaskan.

Buktinya, di banyak sekolah hampir semua “berteriak keras” perlunya dana tambahan selain yang digelontorkan pemerintah. Ada juga macam-macam pungutan yang dinilai liar di sekolah sehingga harus berurusan dengan aparat hukum. Mestinya semua ini merefleksikan kurangnya anggaran negara untuk dunia pendidikan.

Atas alasan itu, kontribusi dari masyarakat untuk bidang pendidikan menjadi diperlukan. Pendidikan berkualitas sudah menjadi keniscayaan dan banyak orang tua memprioritaskan ini. Tidak sedikit dari mereka yang siap berkontribusi untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas tersebut.

Meluruskan Komite Sekolah
Tantangannya sekarang adalah bagaimana cara memungut uang dari masyarakat atas nama pendidikan tanpa menimbulkan persoalan hukum. Selama ini pungutan itu melalui komite sekolah dalam berbagai rupa dan macam-macam pula akibatnya. Komite sekolah menjelma menjadi lembaga tukang pungut dana.

Komite sekolah juga dipersepsikan sebagai lembaga untuk menjustifikasi pungutan. Selain itu menjadi wadah perantara pungutan agar “seolah-olah” sekolah itu bersih, tidak terlibat sama sekali dalam soal pungutan yang dilakukan.

Itu sebabnya ada kecenderungan di banyak daerah, ketua komite sekolah adalah sosok kuat di daerah tersebut. Sering kali pejabat komite sekolah berasal dari orang tua yang memiliki posisi kuat seperti pejabat daerah, aparat hukum atau politisi. Salah satu tujuannya agar aman dari jangkauan aparat hukum.

Padahal, senyatanya dana masyarakat untuk pendidikan itu diperlukan dan di sisi lain ada anggota masyarakat yang bersedia memberikan kontribusi. Tentu dalam kondisi ini, diperlukan wadah untuk menjadi perantara antara “pemodal” dengan lembaga pendidikan. Komite sekolah menjadi paling tepat menjalankan fungsi itu.

Mungkin atas dasar itulah Menteri Pendidikan Nasional Menerbitkan Peraturan No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Salah satu tujuannya untuk meluruskan eksistensi komite sekolah.

Saya memandang setidaknya ada dua alasan pentingnya meluruskan keberadaan komite sekolah. Pertama agar masyarakat memiliki wadah untuk ikut menyumbang/berkontribusi guna meningkatkan mutu pendidikan.

Selain itu, permendikbud ini seharusnya dapat menjadi payung hukum bagi Komite Sekolah. Selama ini payung hukum untuk memungut itu lemah sekali. Akibatnya, tindakan komite sekolah rentan dipersoalkan secara hukum dan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang memanfaatkan situasi untuk tujuan sendiri.

Pasal 10 menegaskan bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya. Aktivitas ini dalam bentuk bantuan atau sumbangan sukarela. Artinya, bukan dalam bentuk pungutan yang besarannya ditentukan.

Ditegaskan juga bahwa dalam penggalangan dana tersebut, komite sekolah harus melakukannya secara transparan. Artinya, transparan dalam proses dan transparan pula dalam penggunaan dan pertanggungjawabannya.

Memang dalam praktik harus mendapatkan pengawasan maksimal. Dalam masyarakat kita “sumbangan sukarela” sering kali dilakukan atas dasar jumlah minimal. Ada patokan sumbangan terendah yang diikuti oleh yang lainnya.

Selain itu, dalam Pasal 11 dan 12 juga ditegaskan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain tidak diperbolehkan bersumber dari perusahaan rokok, perusahaan beralkohol dan partai politik.

Tetap ada celah permendikbud ini hanya menjustifikasi pungutan sumbangan pendidikan yang sudah berlangsung. Permendikbud tersebut menghalalkan sumbangan pendidikan sebagai pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela dan tidak mengikat satuan pendidikan.

Tetap ada yang kontra dengan permendikbud ini karena menilai negara seharusnya bertanggung jawab penuh semua urusan pendidikan sesuai perintah UUD. Namun Permendikbud Nomor 75/2016 setidaknya berupaya meluruskan eksistensi komite sekolah yang selama ini, bagi masyarakat kebanyakan, telanjur dipersepsikan kurang baik.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0852 seconds (0.1#10.140)