Hoax dan Harmonisasi Sosial

Rabu, 18 Januari 2017 - 13:41 WIB
Hoax dan Harmonisasi...
Hoax dan Harmonisasi Sosial
A A A
Suwaib Amiruddin
Dosen Sosiologi FISIP Untirta

FENOMENA hoax menjadi perbincangan di Indonesia saat ini, terutama di kalangan pencinta media sosial. Kehadiran media sosial sebagai wadah berbincang dan bertukar informasi antara satu dengan yang lain tentu memberikan dampak yang sangat positif.

Sayangnya, media sosial juga menjadi arena bagi penyampaian opini, ujaran penuh kebencian (hate speech), dan berita-berita palsu (hoax). Bagaimanapun, penggunaan media sosial sebagai media informasi tentu perlu tetap memperhatikan tata nilai dalam berkomunikasi.

Memang media sosial sebagai alat atau wadah untuk menyampaikan ide dan gagasan, namun tetap ada batas dan rambu-rambu. Memang penggunaan media sosial untuk menyerang seseorang sangat mudah karena hanya memiliki modal melempar isu, kemudian isu itu dikembangkan dan selanjutnya diangkat ke masyarakat.

Setelah diangkat, lalu dikomentari secara bersama-sama dan semakin banyak jumlahnya yang mengomentari, seolah- olah sudah menjadi pembenaran bahwa berita tersebut sudah benar adanya.

Multitafsir Kebebasan Berpendapat
Publikasi berbagai pernyataan di media sosial merupakan cerminan bahwa era keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat saat ini dimanfaatkan sebagian kalangan masyarakat untuk berekspresi berdasarkan keinginan mereka masing-masing.

Karena merasa bahwa keterbukaan itu sudah diberikan sepenuhnya, apa saja boleh diketahui dan boleh dibuka ke publik. Padahal, terminologi keterbukaan dalam alam demokrasi kita adalah keterbukaan berdasarkan tata regulasi yang ada. Boleh terbuka, tapi tidak membuka aib, apalagi menjelek- jelekkan.

Bukankah masyarakat yang santun tetap memiliki tata nilai dan norma-norma sosial yang mengikat? Kebebasan menyampaikan gagasan dan ide-ide sebenarnya diperbolehkan sepanjang tidak mengganggu pribadi seseorang atau menyinggung kelompok-kelompok sosial lain.

Bukankah negara kita menjamin warga negaranya untuk berekspresi untuk menyampaikan pendapatnya, namun bukan untuk menyinggung orang lain. Negara kita negara yang berdasarkan pada konstitusi UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi. Sebagai negara Pancasila, sila keempat menegaskan bahwa warga negara diberi hak berdemokrasi, yang salah satunya menyampaikan hak suara dan berpendapat.

Banyaknya bermunculan akun-akun di media sosial yang dianggap tidak bertanggung jawab membuat serangan-serangan dengan kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan seseorang semakin berkembang. Sejauh itukah perilaku yang terjadi pada masyarakat pengguna media sosial, yang pada akhirnya menghasilkan permusuhan, pertengkaran, bahkan mengusik ketenangan individu seseorang sebagai warga negara yang harusnya saling menghargai hak hidup yang aman dan tenteram?

Bila seorang individu terusik dan sudah dianggap tren di media sosial, isu itu lalu digiring sedemikian rupa untuk menjatuhkan seseorang tersebut dari apa yang dia lakukan berdasarkan kompetensi dan hak-haknya untuk mengembangkan diri dan profesinya. Lebih urgen lagi, media sosial seakan-akan menjadi pembenaran dalam dunia nyata.

Karena sudah menjadi kesepakatan di dunia media sosial, hasil perdebatan di media sosial (dunia maya) itu diantarkan ke dunia nyata (kenyataan) dan seakan-akan sudah dianggap sebagai bagian dari kebenaran hakiki. Setelah diantarkan ke dunia nyata dan dianggap bagian dari kesepakatan, muncullah kelompok-kelompok pembela atas berbagai tuduhan yang sudah didiskusikan dalam dunia media sosial.

Setelah munculnya isu hasil diskusi dari media sosial itulah kemudian semakin diperuncing lagi oleh kelompok-kelompok pembela atas tuduhan kebenaran atau tidak benarnya sebuah isu yang sedang diperbincangkan. Tata nilai dan norma-norma sosial yang mengikat kita sebagai manusia sebenarnya bukan hanya saat interaksi bertatap muka secara langsung.

Dalam dunia media sosial (dunia maya) pun seharusnya setiap individu perlu memperhatikan norma-norma sosial itu dalam menyampaikan pesan dan gagasan –antara lain tidak berisi tentang ancaman dan kekerasan. Komunitas pengguna media sosial harusnya memperhatikan aturan-aturan tidak tertulis pula, di antaranya ada prinsip saling menghargai, saling memanusiakan manusia, menjaga aib seseorang, serta tidak menyinggung hak-hak orang lain.

Kebebasan memang suatu sisi dalam berdemokrasi, namun bukan berarti bahwa kita bebas menyebarkan berita dan informasi yang belum tentu ada fakta dan data pendukungnya. Dunia media sosial, memang membenarkan kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat, namun sebelum disebarkan harus terlebih dulu didukung oleh data dan fakta-fakta. Mengapa penting data dan fakta-fakta pendukung? Agar informasi yang disampaikan dapat mendidik dan memberikan pencerahan bagi masyarakat yang membacanya.

Dunia Maya vs Dunia Nyata
Fenomena pertarungan opini di media sosial sangat memengaruhi kehidupan sosial di dunia nyata. Dunia nyata adalah dunia yang penuh dengan realitas, kasatmata, terbukti secara fakta, dan diperkuat oleh data. Adapun dunia maya yaitu dunia yang tidak dapat diraba dan tidak dapat bertemu secara langsung dan bertatap mata dengan lawan interaksi sosial.

Dunia maya selama ini hanya lebih banyak mengandalkan pencarian identitas seseorang yang melakukan posting, sehingga untuk menemukan orang yang menyebar berita macam itu siapa pun kesulitan. Kini ada inisiatif pemerintah untuk memberikan pembatasan penggunaan media sosial.

Pemerintah sudah memasang portal akses ke media sosial tertentu dan menghapus berbagai konten media sosial yang dianggap mengampanyekan unsur-unsur keresahan sosial. Lebih mutakhir pemerintah mengharapkan agar pembuatan konten media sosial dilengkapi identitas pemiliknya.

Pembatasan penggunaan media sosial dan kelengkapan identitas pemilik akunnya merupakan langkah maju bagi pemerintah untuk mengantisipasi pemakaian media sosial yang tidak bertanggung jawab. Keberadaan media sosial memang sangat bermanfaat bagi masyarakat, namun perlu ada penyaringan agar masyarakat tidak terjebak oleh berita-berita yang merugikan.

Harmonisasi
Kebenaran dalam dunia maya, menurut asumsi dasar saya, sebenarnya bukan dilihat pada ketajaman analisis sebuah kalimat demi kalimat, namun lebih pada berapa yang suka pada konten tersebut. Persoalan, apakah konten yang sudah disukai oleh banyak orang itu sudah valid dan benar bila dilihat dari berbagai aspek lain?

Sebagai solusi, desakan pemerintah agar pendaftar mencantumkan identitas yang sebenarnya demi memperoleh akun di media sosial tertentu sepantasnya diapresiasi. Hal itu dilakukan agar kita bertanggung jawab atas apa yang kita sampaikan.

Keinginan pemerintah agar pemilik akun di media sosial mencantumkan identitas yang sebenarnya merupakan salah satu cara untuk menciptakan harmonisasi di tengah hiruk-pikuk penyebaran berita hoax. Saya berpendapat, memperlihatkan identitas di dunia maya berarti turut dalam upaya menciptakan harmonisasi. Saling mengenal identitas yang sebenarnya di dunia maya akan bermuara pada sikap lebih akrab dan berimplikasi baik di dunia nyata.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6809 seconds (0.1#10.140)