Politikus Golkar: Pidato Megawati Penuh Sarkastis dan Sinisme
A
A
A
JAKARTA - Pidato Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri pada HUT ke-44 PDIP, beberapa waktu lalu, mengundang polemik.
Politikus muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai, pidato yang disampaikan Megawati di hadapan kader PDIP kala itu, adalah pidato terburuk yang disampaikan seorang yang pernah menjadi Presiden RI.
"Pidato itu sangat jauh dari sikap kenegarawanan, sarkastis, dan penuh sinisme," kata Doli kepada SINDOnews, Rabu (18/1/2017).
Ada beberapa catatan kritis yang disampaikan Doli terkait pidato Megawati. Doli menilai, pidato itu menunjukkan Mega ikut larut kepada kepentingan kelompok tertentu yang ingin membuat jarak dan menebar kebencian terhadap Islam.
Pidato yang mempertentangkan antara Islam dan Pancasila dengan mengkontestasikan ideologi tertutup dengan ideologi terbuka, kata Doli, justru mempertontonkan bahwa sesungguhnya Mega tidak faham pengertian agama, ideologi, Islam, dan Pancasila itu sendiri.
"Bahkan pernyataannya tentang keyakinan terhadap akhirat yang dalam Islam memang diimankan, bisa mengarah kepada kategori pelecehan," imbuh Doli.
Masih kata Doli, mengabaikan Islam atau bahkan mempertentangkan Islam dengan Pancasila adalah sikap yang tidak faham akan sejarah Indonesia.
Doli bahkan menyebut Megawati seperti merasa pemilik tunggal Pancasila serta mengganggap yang lain tidak Pancasilais dan tidak paham Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara itu, dalam membicarakan Pancasila, Mega dinilai Doli tidak relevan dengan realitas hari ini. Pancasila sebagai prinsip dasar dan sebagai penuntun sekaligus rambu dalam menyusun norma sosial dan politik bukan lagi isu hari ini.
"Dari dulu kita semua sudah tahu itu. Namun yang dibutuhkan hari ini adalah kepemimpinan yang mampu membumikan Pancasila sebagai pedoman, jiwa, dan sikap yang hadir serta hidup di tengah-tengah masyarakat dan negara," tutur Doli.
Untuk diketahui, dalam pidato kebangsaan di HUT PDIP ke-44, Mega banyak menyinggung soal Pancasila dan tatanan kehidupan berbangsa serta bernegara, termasuk keyakinan agama.
"Ketuhanan bukan jadi ketiga karena derajat kepentingan lebih bawah, namun sebagai pondasi kebangsaan," kata Megawati Soekarnoputri di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa, 10 Januari 2017.
Mega menjelaskan, ketuhanan sebagaimana yang ada dalam Pancasila adalah ketuhanan yang berkebudayaan nusantara, yang kaya dengan adat dan budaya bangsa.
"Bung Karno menegaskan, kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini," kata Megawati.
Mega menambahkan, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolerir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan.
"Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa 'self fulfilling prophecy', para peramal masa depan," tutur Mega.
"Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya," imbuhnya.
Politikus muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai, pidato yang disampaikan Megawati di hadapan kader PDIP kala itu, adalah pidato terburuk yang disampaikan seorang yang pernah menjadi Presiden RI.
"Pidato itu sangat jauh dari sikap kenegarawanan, sarkastis, dan penuh sinisme," kata Doli kepada SINDOnews, Rabu (18/1/2017).
Ada beberapa catatan kritis yang disampaikan Doli terkait pidato Megawati. Doli menilai, pidato itu menunjukkan Mega ikut larut kepada kepentingan kelompok tertentu yang ingin membuat jarak dan menebar kebencian terhadap Islam.
Pidato yang mempertentangkan antara Islam dan Pancasila dengan mengkontestasikan ideologi tertutup dengan ideologi terbuka, kata Doli, justru mempertontonkan bahwa sesungguhnya Mega tidak faham pengertian agama, ideologi, Islam, dan Pancasila itu sendiri.
"Bahkan pernyataannya tentang keyakinan terhadap akhirat yang dalam Islam memang diimankan, bisa mengarah kepada kategori pelecehan," imbuh Doli.
Masih kata Doli, mengabaikan Islam atau bahkan mempertentangkan Islam dengan Pancasila adalah sikap yang tidak faham akan sejarah Indonesia.
Doli bahkan menyebut Megawati seperti merasa pemilik tunggal Pancasila serta mengganggap yang lain tidak Pancasilais dan tidak paham Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara itu, dalam membicarakan Pancasila, Mega dinilai Doli tidak relevan dengan realitas hari ini. Pancasila sebagai prinsip dasar dan sebagai penuntun sekaligus rambu dalam menyusun norma sosial dan politik bukan lagi isu hari ini.
"Dari dulu kita semua sudah tahu itu. Namun yang dibutuhkan hari ini adalah kepemimpinan yang mampu membumikan Pancasila sebagai pedoman, jiwa, dan sikap yang hadir serta hidup di tengah-tengah masyarakat dan negara," tutur Doli.
Untuk diketahui, dalam pidato kebangsaan di HUT PDIP ke-44, Mega banyak menyinggung soal Pancasila dan tatanan kehidupan berbangsa serta bernegara, termasuk keyakinan agama.
"Ketuhanan bukan jadi ketiga karena derajat kepentingan lebih bawah, namun sebagai pondasi kebangsaan," kata Megawati Soekarnoputri di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa, 10 Januari 2017.
Mega menjelaskan, ketuhanan sebagaimana yang ada dalam Pancasila adalah ketuhanan yang berkebudayaan nusantara, yang kaya dengan adat dan budaya bangsa.
"Bung Karno menegaskan, kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini," kata Megawati.
Mega menambahkan, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolerir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan.
"Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa 'self fulfilling prophecy', para peramal masa depan," tutur Mega.
"Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya," imbuhnya.
(maf)