Resolusi 2334
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional Co-founder &
Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
MINGGU-minggu ini tema politik dunia tidak lepas dari dinamika politik menjelang pelantikan Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat (AS).
Keadaan ini wajar karena Amerika adalah salah satu ekonomi terkuat dan terbesar di dunia bersama China. Mereka yang bergelut dengan pasar modal, mau tidak mau, harus memantau akun media sosial Donald Trump karena kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik AS kemungkinan akan lebih sering lahir lewat media tersebut.
Salah satu peristiwa penting pekan ini adalah pembicaraan tentang peneguhan negara Palestina di Paris, Prancis. Pertemuan ini dihadiri oleh hampir 75 negara dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tujuan formal dari pertemuan ini adalah membicarakan peneguhan tentang berdirinya negara Palestina yang akan hidup berdampingan dengan negara Israel.
Konferensi di Paris itu mengusung tiga agenda pokok, antara lain mendorong kesepakatan untuk sebuah insentif perdamaian bagi kedua pihak, penguatan kapasitas bagi negara Palestina, dan mempromosikan dialog antara warga sipil Israel dan Palestina.
Dalam pertemuan itu, Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir. Wamenlu dalam kesempatan itu menekankan bahwa perdamaian di Timur Tengah, khususnya kemerdekaan Palestina, hanya dapat dicapai apabila seluruh isu utama seperti permukiman ilegal, pengungsi Palestina, status Kota Yerusalem, status perbatasan, dan masalah keamanan serta ketersediaan air dapat diselesaikan.
Karena itu, Pemerintah RI menyambut baik pengesahan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2334 Tahun 2016 tentang Permukiman Israel di Palestina sebagai Ilegal pada 23 Desember 2016. Meski demikian, pertemuan ini kurang memiliki bobot karena tidak dihadiri oleh Palestina dan Israel. Israel mengatakan bahwa pertemuan di Paris hanya akan menyudutkan Israel yang telah ditekan melalui Resolusi 2334 di atas.
Di sisi lain, Israel berpendapat untuk menunggu Donald Trump dilantik pada 20 Januari. Selama ini Donald Trump diketahui memiliki gagasan yang berbeda dengan pemerintahan Obama, bahkan telah mengeluarkan pernyataan- pernyataan yang melawan arus seperti akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Pemindahan yang secara langsung akan mengakui dan mendukung kota itu sebagai ibu kota Israel.
Sebaliknya, Palestina juga tidak hadir dengan alasan Presiden Abbas perlu hadir dalam pembukaan Kedutaan Besar Palestina di Kota Vatikan, walaupun menyambut baik konferensi tersebut. Ketidakhadiran kedua belah pihak menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan capaian dari konferensi.
Inggris, sebagai salah satu pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, menempatkan diri sebagai pengamat daripada peserta aktif. Seperti halnya Israel, Inggris juga mempertanyakan waktu penyelenggaraan konferensi ini yang dilakukan beberapa hari menjelang berakhirnya pemerintahan Obama dan pelantikan Donald Trump.
Selain itu, Inggris setelah Brexit juga dipimpin oleh pemerintahan yang cenderung konservatif terkait masalah konflik Israel- Palestina. Dari sisi konteks, konferensi ini mungkin menjadi kelanjutan dari disahkannya Resolusi 2334 pada 23 Desember 2016. Selama delapan tahun kepemimpinan Obama selalu menentang segala resolusi yang mengutuk tindakan Israel.
Karena itu, banyak pihak yang pesimistis posisi abstain yang dilakukan AS di masa akhir jabatan tidak memiliki dampak nyata. Alasannya, sikap itu belum tentu akan ditindaklanjuti oleh pemerintahan Amerika yang baru.
Pemerintah AS biasanya menolak segala hal yang terkait dengan tekanan atau kecaman terhadap Israel. Sikap abstain adalah sikap yang paling ”progresif” apabila terkait Israel.
Hal yang menarik adalah bahwa Zaid Jilani (2016) mencatat selama kepemimpinan AS sebelum Obama justru lebih banyak teguran dari Amerika kepada Israel dibandingkan pada masa Obama. Misalnya pada masa Reagan, aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan dan aktivitas militer di Lebanon serta operasi militer melawan PLO di Tunisia dikecam dalam resolusi PBB.
Pada masa George HW Bush (senior), ada sembilan resolusi PBB yang kritis terhadap Israel, termasuk yang mengecam meninggalnya 20 orang Palestina dan 150 warga sipil di Temple Mount atau Haram al-Sharif di Yerusalem. Pada masa Obama justru tidak ada resolusi PBB yang berhasil lolos kecuali yang terakhir tadi, sebelum Obama habis masa jabatan.
Alasan yang pernah digunakan pemerintahan Obama pada 2011 adalah ia menjaga agar upaya mencapai perdamaian tidak terganggu, agar pemerintahan Netanyahu terdorong untuk lebih konstruktif. Kembali pada Resolusi 2334. Meskipun belum dianggap memiliki daya tekan yang kuat, Resolusi 2334 ini memiliki beberapa makna.
Pertama, resolusi ini menggambarkan bahwa permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem timur adalah ilegal dan telah menjadi sebuah penghambat dalam dialog yang konstruktif untuk mencapai perdamaian. Tekanan ini sebetulnya bukan hal baru bagi masyarakat internasional karena banyak anggota PBB yang sudah menyatakan bahwa permukiman Israel sudah melanggar Konvensi Jenewa IV terkait pengelolaan wilayah pendudukan (rules for administering occupied territor).
Pascaperang 1967 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242 yang menyerukan kepada angkatan bersenjata Israel untuk mundur dari wilayah pendudukan di Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Walau bukan hal baru, secara politik resolusi ini dapat memperkuat tekanan bagi Israel dan Palestina untuk berunding kembali.
Kedua, resolusi ini dapat digunakan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) untuk membawa para pejabat Israel ke International Criminal Court (ICC) di Belanda. Selama ini ICC sulit untuk mengadili karena Israel telah lama berpendapat bahwa Konvensi Jenewa IV—yang melarang negara melakukan pemindahan sebagian dari populasi sipilnya ke wilayah yang diduduki— tidak berlaku untuk Tepi Barat dengan alasan karena tidak ada yang kekuasaan yang berdaulat yang diakui memerintah di sana sebelum perang 1967.
Sebagian besar negara tidak setuju dengan penafsiran Israel tersebut. Dengan Resolusi 2334 itu ICC lebih punya alasan untuk secara formal menolak legalitas permukiman Yahudi di wilayah yang masih disengketakan.
Ketiga, resolusi ini secara eksplisit menetapkan batas wilayah sebelum perang 1967 sebagai baseline bagi wilayah negara Palestina, mengumumkan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa ”tidak mengakui perubahan apa pun atas garis batas yang ditetapkan 4 Juni 1967, termasuk terkait Yerusalem, selain yang sudah disepakati melalui proses negosiasi.”
Dengan kata lain, resolusi terkini tersebut secara efektif memenuhi permintaan Palestina yang terbesar dan kondisi dasar untuk memulai lagi proses negosiasi status Palestina. Di sisi lain, resolusi ini tidak memenuhi permintaan Israel seperti permintaan untuk menetapkan Israel sebagai negaranya orang Yahudi.
Karena sejarah veto atas resolusi-resolusi yang sifatnya anti-Israel, Washington dapat diasumsikan akan berusaha meminta konsesi sebesar-besarnya sebagai ”ganti rugi” atas penggunaan garis 1967 itu. Namun, karena Obama tidak melakukan itu, maka masih membingungkan juga mengapa Obama tidak melakukan hal itu.
Keempat, di luar implikasi hukum, resolusi ini dapat menjadi landasan bagi gerakan boikot produk-produk Israel, yaitu sebuah gerakan yang didukung oleh konsumen, para artis, akademisi, atau perusahaan untuk memutus hubungan dengan Israel, terutama produk-produk yang diproduksi di luar garis hijau.
Bagi Indonesia, mengingat bahwa salah satu fokus diplomasi RI 2017 adalah melanjutkan dukungan pada kemerdekaan Palestina, hasil dari Pertemuan Paris belum bisa menjamin jalan mulus bagi kemerdekaan Palestina. Dapat dilihat dari lika-liku menuju lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB, pada dasarnya AS memang kerap menggunakan cara tekanan pada Israel, tetapi posisi tarik ulurnya hampir dipastikan masih selalu menguntungkan Israel dan menekan Palestina.
Pengamat Hubungan Internasional Co-founder &
Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
MINGGU-minggu ini tema politik dunia tidak lepas dari dinamika politik menjelang pelantikan Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat (AS).
Keadaan ini wajar karena Amerika adalah salah satu ekonomi terkuat dan terbesar di dunia bersama China. Mereka yang bergelut dengan pasar modal, mau tidak mau, harus memantau akun media sosial Donald Trump karena kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik AS kemungkinan akan lebih sering lahir lewat media tersebut.
Salah satu peristiwa penting pekan ini adalah pembicaraan tentang peneguhan negara Palestina di Paris, Prancis. Pertemuan ini dihadiri oleh hampir 75 negara dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tujuan formal dari pertemuan ini adalah membicarakan peneguhan tentang berdirinya negara Palestina yang akan hidup berdampingan dengan negara Israel.
Konferensi di Paris itu mengusung tiga agenda pokok, antara lain mendorong kesepakatan untuk sebuah insentif perdamaian bagi kedua pihak, penguatan kapasitas bagi negara Palestina, dan mempromosikan dialog antara warga sipil Israel dan Palestina.
Dalam pertemuan itu, Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir. Wamenlu dalam kesempatan itu menekankan bahwa perdamaian di Timur Tengah, khususnya kemerdekaan Palestina, hanya dapat dicapai apabila seluruh isu utama seperti permukiman ilegal, pengungsi Palestina, status Kota Yerusalem, status perbatasan, dan masalah keamanan serta ketersediaan air dapat diselesaikan.
Karena itu, Pemerintah RI menyambut baik pengesahan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2334 Tahun 2016 tentang Permukiman Israel di Palestina sebagai Ilegal pada 23 Desember 2016. Meski demikian, pertemuan ini kurang memiliki bobot karena tidak dihadiri oleh Palestina dan Israel. Israel mengatakan bahwa pertemuan di Paris hanya akan menyudutkan Israel yang telah ditekan melalui Resolusi 2334 di atas.
Di sisi lain, Israel berpendapat untuk menunggu Donald Trump dilantik pada 20 Januari. Selama ini Donald Trump diketahui memiliki gagasan yang berbeda dengan pemerintahan Obama, bahkan telah mengeluarkan pernyataan- pernyataan yang melawan arus seperti akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Pemindahan yang secara langsung akan mengakui dan mendukung kota itu sebagai ibu kota Israel.
Sebaliknya, Palestina juga tidak hadir dengan alasan Presiden Abbas perlu hadir dalam pembukaan Kedutaan Besar Palestina di Kota Vatikan, walaupun menyambut baik konferensi tersebut. Ketidakhadiran kedua belah pihak menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan capaian dari konferensi.
Inggris, sebagai salah satu pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, menempatkan diri sebagai pengamat daripada peserta aktif. Seperti halnya Israel, Inggris juga mempertanyakan waktu penyelenggaraan konferensi ini yang dilakukan beberapa hari menjelang berakhirnya pemerintahan Obama dan pelantikan Donald Trump.
Selain itu, Inggris setelah Brexit juga dipimpin oleh pemerintahan yang cenderung konservatif terkait masalah konflik Israel- Palestina. Dari sisi konteks, konferensi ini mungkin menjadi kelanjutan dari disahkannya Resolusi 2334 pada 23 Desember 2016. Selama delapan tahun kepemimpinan Obama selalu menentang segala resolusi yang mengutuk tindakan Israel.
Karena itu, banyak pihak yang pesimistis posisi abstain yang dilakukan AS di masa akhir jabatan tidak memiliki dampak nyata. Alasannya, sikap itu belum tentu akan ditindaklanjuti oleh pemerintahan Amerika yang baru.
Pemerintah AS biasanya menolak segala hal yang terkait dengan tekanan atau kecaman terhadap Israel. Sikap abstain adalah sikap yang paling ”progresif” apabila terkait Israel.
Hal yang menarik adalah bahwa Zaid Jilani (2016) mencatat selama kepemimpinan AS sebelum Obama justru lebih banyak teguran dari Amerika kepada Israel dibandingkan pada masa Obama. Misalnya pada masa Reagan, aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan dan aktivitas militer di Lebanon serta operasi militer melawan PLO di Tunisia dikecam dalam resolusi PBB.
Pada masa George HW Bush (senior), ada sembilan resolusi PBB yang kritis terhadap Israel, termasuk yang mengecam meninggalnya 20 orang Palestina dan 150 warga sipil di Temple Mount atau Haram al-Sharif di Yerusalem. Pada masa Obama justru tidak ada resolusi PBB yang berhasil lolos kecuali yang terakhir tadi, sebelum Obama habis masa jabatan.
Alasan yang pernah digunakan pemerintahan Obama pada 2011 adalah ia menjaga agar upaya mencapai perdamaian tidak terganggu, agar pemerintahan Netanyahu terdorong untuk lebih konstruktif. Kembali pada Resolusi 2334. Meskipun belum dianggap memiliki daya tekan yang kuat, Resolusi 2334 ini memiliki beberapa makna.
Pertama, resolusi ini menggambarkan bahwa permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem timur adalah ilegal dan telah menjadi sebuah penghambat dalam dialog yang konstruktif untuk mencapai perdamaian. Tekanan ini sebetulnya bukan hal baru bagi masyarakat internasional karena banyak anggota PBB yang sudah menyatakan bahwa permukiman Israel sudah melanggar Konvensi Jenewa IV terkait pengelolaan wilayah pendudukan (rules for administering occupied territor).
Pascaperang 1967 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242 yang menyerukan kepada angkatan bersenjata Israel untuk mundur dari wilayah pendudukan di Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Walau bukan hal baru, secara politik resolusi ini dapat memperkuat tekanan bagi Israel dan Palestina untuk berunding kembali.
Kedua, resolusi ini dapat digunakan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) untuk membawa para pejabat Israel ke International Criminal Court (ICC) di Belanda. Selama ini ICC sulit untuk mengadili karena Israel telah lama berpendapat bahwa Konvensi Jenewa IV—yang melarang negara melakukan pemindahan sebagian dari populasi sipilnya ke wilayah yang diduduki— tidak berlaku untuk Tepi Barat dengan alasan karena tidak ada yang kekuasaan yang berdaulat yang diakui memerintah di sana sebelum perang 1967.
Sebagian besar negara tidak setuju dengan penafsiran Israel tersebut. Dengan Resolusi 2334 itu ICC lebih punya alasan untuk secara formal menolak legalitas permukiman Yahudi di wilayah yang masih disengketakan.
Ketiga, resolusi ini secara eksplisit menetapkan batas wilayah sebelum perang 1967 sebagai baseline bagi wilayah negara Palestina, mengumumkan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa ”tidak mengakui perubahan apa pun atas garis batas yang ditetapkan 4 Juni 1967, termasuk terkait Yerusalem, selain yang sudah disepakati melalui proses negosiasi.”
Dengan kata lain, resolusi terkini tersebut secara efektif memenuhi permintaan Palestina yang terbesar dan kondisi dasar untuk memulai lagi proses negosiasi status Palestina. Di sisi lain, resolusi ini tidak memenuhi permintaan Israel seperti permintaan untuk menetapkan Israel sebagai negaranya orang Yahudi.
Karena sejarah veto atas resolusi-resolusi yang sifatnya anti-Israel, Washington dapat diasumsikan akan berusaha meminta konsesi sebesar-besarnya sebagai ”ganti rugi” atas penggunaan garis 1967 itu. Namun, karena Obama tidak melakukan itu, maka masih membingungkan juga mengapa Obama tidak melakukan hal itu.
Keempat, di luar implikasi hukum, resolusi ini dapat menjadi landasan bagi gerakan boikot produk-produk Israel, yaitu sebuah gerakan yang didukung oleh konsumen, para artis, akademisi, atau perusahaan untuk memutus hubungan dengan Israel, terutama produk-produk yang diproduksi di luar garis hijau.
Bagi Indonesia, mengingat bahwa salah satu fokus diplomasi RI 2017 adalah melanjutkan dukungan pada kemerdekaan Palestina, hasil dari Pertemuan Paris belum bisa menjamin jalan mulus bagi kemerdekaan Palestina. Dapat dilihat dari lika-liku menuju lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB, pada dasarnya AS memang kerap menggunakan cara tekanan pada Israel, tetapi posisi tarik ulurnya hampir dipastikan masih selalu menguntungkan Israel dan menekan Palestina.
(poe)