Pemilih Rasional yang Dinanti
A
A
A
DEBAT kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang dilaksanakan pada Jumat, 13 Januari 2017 lalu membawa kelegaan tersendiri bagi dunia perpolitikan Indonesia. Animo masyarakat untuk menontonnya sangat tinggi dan semangat untuk membicarakannya hasil debat kandidat ini jauh lebih tinggi lagi.
Ada semangat tersendiri dari mayoritas warga DKI Jakarta dan bahkan masyarakat di luar provinsi ini untuk melihat ketiga pasang calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta berdebat mengenai pola pembangunan DKI Jakarta.
Kenapa dikatakan melegakan? Karena dari sudut pandang partisipasi politik, adanya rasa keterikatan masyarakat terhadap suatu gelaran politik—dalam hal ini pilkada—merupakan salah satu indikator positif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat peduli akan apa yang ingin disampaikan oleh para kandidat dalam gelaran pilkada. Masyarakat tidak pada posisi apatis yang tidak peduli akan apapun yang terjadi di dunia politik.
Ramainya obrolan setelahnya—apapun nadanya baik miring maupun positif—juga menjadi indikator bahwa masyarakat terpengaruh oleh debat kandidat yang dilaksanakan. Bisa kita bayangkan jika debat kandidat tak menjadi bahan pembicaraan, berararti debat yang terjadi itu hambar. Atau lebih parah lagi jika debat kandidat tersebut menjadi olok-olok. Syukurlah ketiga pasang calon bisa menghibur masyarakat dan menyampikan programnya dengan baik.
Mungkin banyak pihak yang secara apatis memandang bahwa debat kandidat tidak akan bermakna banyak kecuali hanya sebagai tontonan pelepas dahaga masyarakat akan politik DKI Jakarta yang sangat panas persaingannya. Pandangan tersebut sebagian mungkin bisa dibenerkan, karena memang sudah ada beberapa bagian di masyarakat yang sudah menentukan pilihannya sejak jauh-jauh hari.
Berbagai alasan menjadi latar belakang pilihannya, mulai dari kesukaan atau ketidaksukaan kepada figur tertentu, keterpukauan terhadap suatu figur, kecocokan terhadap program yang ditawarkan, hingga kecocokan primordialisme. Kesemua alasan tersebut merupakan hal yang wajar dalam menentukan pilihan politik.
Namun, memandang bahwa tak akan ada yang berubah dalam pilihan politik ketika melihat debat kandidat yang beradu langsung bisa jadi merupakan kesimpulan yang prematur juga. Pilihan bisa berubah ketika ada pembanding langsung.
Misalnya ada orang yang suka suatu pasangan karena kecerdasan dan pesonanya, bisa saja berubah pilihannya ketika sang calon pilihannya terbukti tidak cerdas-cerdas betul dan kerap kalah beradu argument dengan calon lainnya. Atau bisa jadi makin yakin dengan pilihannya ketika calon pilihannya yang dianggap cerdas mampu dengan brilian menyampaikan programnya dan tampil lebih baik dibanding kandidat lain.
Atau misalnya ada yang suka suatu calon karena dianggap berpengalaman tinggi, namun ketika ada kandidat lain yang mampu mengkritisi langkah yang diambil dan memberikan pilihan solusi yang lebih baik dan manusiawi, bisa jadi pilihan akan berubah. Ada beberapa alasan lain yang memungkin suatu pilihan itu bisa berubah.
Dalam studi ilmu politik, perubahan-perubahan pilihan itu bisa dilakukan oleh para pemilih rasional. Mereka ini adalah kelompok yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan pilihan pertimbangan rasional.
Ketika alasan dasar dalam memilih terpatahkan atau bahkan realitanya berseberangan dengan yang sebenarnya terjadi, maka para pemilih rasional ini akan mengubah pilihannya. Ke calon yang paling mendekati standard pilihannya. Kalau calon yang dipilihnya tak secemerlang yang dibayangkan, maka pilihan bisa bergeser ke calon lain yang lebih cemerlang.
Makin matang suatu masyarakat atau suatu negara, maka umumnya jumlah pemilih rasional ini akan kian menebal. Merekalah yang acapkali menjadi penentu dan diharapkan suaranya oleh para kandidat setelah melihat mereka berdebat. Mereka inilah yang bisa diyakinkan dengan ide. Para pemilih rasional pulalah yang membuat perdebatan lebih atraktif dan lebih banyak janji kampanye yang konkret.
Semoga pada pilkada DKI Jakarta dan juga 100 pilkada lainnya pada 15 Februari bulan depan para pemilih rasional bisa menunjukkan perannya.
Ada semangat tersendiri dari mayoritas warga DKI Jakarta dan bahkan masyarakat di luar provinsi ini untuk melihat ketiga pasang calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta berdebat mengenai pola pembangunan DKI Jakarta.
Kenapa dikatakan melegakan? Karena dari sudut pandang partisipasi politik, adanya rasa keterikatan masyarakat terhadap suatu gelaran politik—dalam hal ini pilkada—merupakan salah satu indikator positif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat peduli akan apa yang ingin disampaikan oleh para kandidat dalam gelaran pilkada. Masyarakat tidak pada posisi apatis yang tidak peduli akan apapun yang terjadi di dunia politik.
Ramainya obrolan setelahnya—apapun nadanya baik miring maupun positif—juga menjadi indikator bahwa masyarakat terpengaruh oleh debat kandidat yang dilaksanakan. Bisa kita bayangkan jika debat kandidat tak menjadi bahan pembicaraan, berararti debat yang terjadi itu hambar. Atau lebih parah lagi jika debat kandidat tersebut menjadi olok-olok. Syukurlah ketiga pasang calon bisa menghibur masyarakat dan menyampikan programnya dengan baik.
Mungkin banyak pihak yang secara apatis memandang bahwa debat kandidat tidak akan bermakna banyak kecuali hanya sebagai tontonan pelepas dahaga masyarakat akan politik DKI Jakarta yang sangat panas persaingannya. Pandangan tersebut sebagian mungkin bisa dibenerkan, karena memang sudah ada beberapa bagian di masyarakat yang sudah menentukan pilihannya sejak jauh-jauh hari.
Berbagai alasan menjadi latar belakang pilihannya, mulai dari kesukaan atau ketidaksukaan kepada figur tertentu, keterpukauan terhadap suatu figur, kecocokan terhadap program yang ditawarkan, hingga kecocokan primordialisme. Kesemua alasan tersebut merupakan hal yang wajar dalam menentukan pilihan politik.
Namun, memandang bahwa tak akan ada yang berubah dalam pilihan politik ketika melihat debat kandidat yang beradu langsung bisa jadi merupakan kesimpulan yang prematur juga. Pilihan bisa berubah ketika ada pembanding langsung.
Misalnya ada orang yang suka suatu pasangan karena kecerdasan dan pesonanya, bisa saja berubah pilihannya ketika sang calon pilihannya terbukti tidak cerdas-cerdas betul dan kerap kalah beradu argument dengan calon lainnya. Atau bisa jadi makin yakin dengan pilihannya ketika calon pilihannya yang dianggap cerdas mampu dengan brilian menyampaikan programnya dan tampil lebih baik dibanding kandidat lain.
Atau misalnya ada yang suka suatu calon karena dianggap berpengalaman tinggi, namun ketika ada kandidat lain yang mampu mengkritisi langkah yang diambil dan memberikan pilihan solusi yang lebih baik dan manusiawi, bisa jadi pilihan akan berubah. Ada beberapa alasan lain yang memungkin suatu pilihan itu bisa berubah.
Dalam studi ilmu politik, perubahan-perubahan pilihan itu bisa dilakukan oleh para pemilih rasional. Mereka ini adalah kelompok yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan pilihan pertimbangan rasional.
Ketika alasan dasar dalam memilih terpatahkan atau bahkan realitanya berseberangan dengan yang sebenarnya terjadi, maka para pemilih rasional ini akan mengubah pilihannya. Ke calon yang paling mendekati standard pilihannya. Kalau calon yang dipilihnya tak secemerlang yang dibayangkan, maka pilihan bisa bergeser ke calon lain yang lebih cemerlang.
Makin matang suatu masyarakat atau suatu negara, maka umumnya jumlah pemilih rasional ini akan kian menebal. Merekalah yang acapkali menjadi penentu dan diharapkan suaranya oleh para kandidat setelah melihat mereka berdebat. Mereka inilah yang bisa diyakinkan dengan ide. Para pemilih rasional pulalah yang membuat perdebatan lebih atraktif dan lebih banyak janji kampanye yang konkret.
Semoga pada pilkada DKI Jakarta dan juga 100 pilkada lainnya pada 15 Februari bulan depan para pemilih rasional bisa menunjukkan perannya.
(poe)