Kala Keselamatan Pelayaran Digantungkan pada Nasib Baik
A
A
A
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
RASANYA belum lagi kering air mata yang tumpah di Jailolo, Ternate, akibat terbakarnya perahu Bintang Fajar pada 15 Oktober 2016. Hampir tiga bulan setelah itu, tepatnya 1 Januari 2017, kembali duka menyelimuti dunia pelayaran nasional dengan jatuhnya perahu Zahro Express yang tengah berlayar menuju Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
Sebabnya sama: si jago merah yang dengan leluasa melahap keseluruhan kapal. Bintang Fajar dan Zahro Express memang digolongkan sebagai perahu atau boat karena ia, salah satunya, berukuran kecil (berbobot kurang dari 500 ton).
Rentetan kecelakaan kapal yang ada sepertinya menjadi peneguhan atas sinyalemen mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya periode 1995-2003, Prof Soegiono. Senior Prof Muhammad Nuh, mantan mendikbud itu, mengatakan; “Kalau kita menyeberang pakai feri di mana pun di Indonesia dan selamat sampai tujuan, itu sebuah keajaiban.”
Dalam bahasa lain, keselamatan pelayaran nasional tidak didesain untuk membuat lalu lintas kapal aman dan selamat. Berarti, keselamatan pelayaran nasional digantungkan eksistensinya hanya pada nasib baik.
Data yang ada menggenapkan kekelaman yang menggelayuti pelayaran nasional. Menurut catatan Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI), telah terjadi 439 petaka selama 2016 di mana 161 di antaranya tenggelam, 51 terbakar, dan 56 terbalik.
Awal 2017 ini saja telah terjadi dua kali kecelakaan kapal, selain kebakaran yang menghanguskan Zahro Express, pada saat yang sama juga terjadi petaka laut yang menimpa kapal Megah Scorpion yang tenggelam saat membawa LPG ke Sabang, Aceh.
Kecelakaan kapal hanyalah resultan dari sebuah tata kelola/manajemen yang mengatur sistem keselamatan pelayaran yang berlaku di Indonesia. Jika kondisi keselamatan pelayaran di dalam negeri begitu tragisnya, kita lantas bisa bertanya bagaimana sebetulnya sistem keselamatan pelayaran di Indonesia?
Anatomi Keselamatan Pelayaran
Bila mencermati pemberitaan di media massa, terkesan keselamatan pelayaran berada dalam genggaman syahbandar dan kapten kapal. Maka mana kala terjadi kecelakaan kapal, pencopotannya dan menghukum kapten kapal merupakan solusi dan menteri perhubungan atau direktur jenderal perhubungan laut merasa sudah menegakkan keselamatan pelayaran dengan kebijakannya itu.
Sejatinya, syahbandar dan kapten kapal (baca: kru kapal) bukanlah pelaku utama elemen dalam keselamatan pelayaran; ada banyak pihak yang berperan dalam menjalankan keselamatan pelayaran.
Sebagai flag state atau negara bendera kapal, keselamatan pelayaran di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah dan pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla).
Pada level operasional, keselamatan pelayaran ini dijalankan oleh syahbandar yang bekerja di pelabuhan, baik yang dikelola oleh BUMN kepelabuhan maupun swasta atau dikenal dengan istilah terminal untuk kepentingan sendiri-TUKS. Syahbandar Ditjen Hubla juga ada di pelabuhan penyeberangan yang secara administratif berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Di pelabuhan perikanan yang menjadi ranahnya Kementerian Kelautan dan Perikanan pun ada syahbandar Ditjen Hubla. Pokoknya, selama ada kapal di sebuah pelabuhan, siapa pun pengelolanya––di luar pangkalan laut militer––di situ ada syahbandar Ditjen Hubla.
Jika manajemen keselamatan pelayaran tadi ditarik sedikit ke belakang, pengelolaan keselamatan pelayaran oleh Ditjen Hubla berwujud dalam bentuk pengawasan pembangunan baru (new building) kapal-kapal berbendera Indonesia di galangan dalam negeri maupun di delapan penjuru mata angin.
Juga, ketika sebuah kapal berbendera asing dan hendak dibenderakan Merah Putih alias reflagging. Sebagian tugas pengawasan ada yang didelegasikan kepada badan klasifikasi nasional, PT Biro Klasifikasi Indonesia, dikenal dengan istilah mandatory survey yang mencakup hull, machineries, dan electricity.
Adapun survei statutory masih dilakukan oleh marine surveyor Ditjen Hubla. Kondisi ini sering diistilahkan oleh pemilik kapal domestik dengan multiple classification. Pada awalnya diklasifikasi oleh BKI kemudian diklasifikasi oleh Kemenhub.
Hanya, perahu-perahu bukanlah objek survei BKI kendati BUMN ini punya rules and regulations untuk mereka. Di samping itu, sudah pula dibuat sebuah standar pembangunan untuk perahu yang disebut dengan Non-Convention Vessel Standar (NCVS) dan BKI pada derajat tertentu juga terlibat dalam implementasinya. Namun, survei atas perahu-perahu sepenuhnya merupakan wewenang dan tanggung jawab Kemenhub.
Revolusi Sistem
Untuk menekan angka kecelakaan kapal, diperlukan revolusi terhadap sistem yang ada saat ini. Mengapa mekanisme keselamatan pelayaran yang ada perlu ditata ulang? Karena tidak ada check and balances di dalamnya.
Jika pekerjaan yang dilakukan oleh PT BKI bisa diawasi oleh Ditjen Hubla, lalu who audits the marine inspector? Jawabannya tentu saja pihak Ditjen Hubla sendiri yang mengawasi para marine inspector-nya. Tetapi karena sesama personel Hubla, tentunya pengawasan ini bisa jadi berjalan tidak efektif karena ada jiwa karsa yang dinomorsatukan.
Banyak cerita bagaimana jiwa karsa itu diimplementasikan. Misalnya, kondisi kelaiklautan sebuah kapal yang sebenarnya tidak laik, tetapi tetap saja bisa berlayar karena syahbandar memberikan surat persetujuan berlayar (SPB), karena barangkali ia dapat “titip salam” dari temannya yang berada di kantor pusat Ditjen Hubla. Ada pula kisah bagaimana kapal tua ketika di-reflagging menjadi lebih muda sepuluh tahun dari tahun pembuatannya.
Penataan ulang manajemen keselamatan pelayaran penulis usulkan mencakup beberapa hal. Pertama, menyerahkan survei statutory seluruhnya kepada PT BKI. Dengan pendelegasian penuh ini akan jelas garis pertanggungjawaban para pihak terkait saat terjadi kecelakaan kapal. Di samping itu, dengan kebijakan ini BUMN tersebut bisa makin mendapat leverage di komunitas klasifikasi global (IACS).
Kedua, menyapih syahbandar dari Kemenhub dan menjadikannya instansi independen. Dengan posisi syahbandar yang berada di bawah Ditjen Hubla, jelas ia tidak akan bisa menjalankan pekerjaan dengan baik.
Ia sangat rentan “ditelepon” oleh pejabat Kemenhub yang lebih tinggi posisinya agar memberikan dispensasi kepada kapal tertentu. Syahbandar hanyalah pejabat eselon IIa di Kemenhub. Independensi syahbandar sebetulnya memiliki akar dalam sejarah maritim nasional. Pada era ‘60-an, ketika suatu daerah tidak memiliki syahbandar, posisi itu bisa dirangkap oleh kepala daerah yang bersangkutan.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
RASANYA belum lagi kering air mata yang tumpah di Jailolo, Ternate, akibat terbakarnya perahu Bintang Fajar pada 15 Oktober 2016. Hampir tiga bulan setelah itu, tepatnya 1 Januari 2017, kembali duka menyelimuti dunia pelayaran nasional dengan jatuhnya perahu Zahro Express yang tengah berlayar menuju Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
Sebabnya sama: si jago merah yang dengan leluasa melahap keseluruhan kapal. Bintang Fajar dan Zahro Express memang digolongkan sebagai perahu atau boat karena ia, salah satunya, berukuran kecil (berbobot kurang dari 500 ton).
Rentetan kecelakaan kapal yang ada sepertinya menjadi peneguhan atas sinyalemen mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya periode 1995-2003, Prof Soegiono. Senior Prof Muhammad Nuh, mantan mendikbud itu, mengatakan; “Kalau kita menyeberang pakai feri di mana pun di Indonesia dan selamat sampai tujuan, itu sebuah keajaiban.”
Dalam bahasa lain, keselamatan pelayaran nasional tidak didesain untuk membuat lalu lintas kapal aman dan selamat. Berarti, keselamatan pelayaran nasional digantungkan eksistensinya hanya pada nasib baik.
Data yang ada menggenapkan kekelaman yang menggelayuti pelayaran nasional. Menurut catatan Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI), telah terjadi 439 petaka selama 2016 di mana 161 di antaranya tenggelam, 51 terbakar, dan 56 terbalik.
Awal 2017 ini saja telah terjadi dua kali kecelakaan kapal, selain kebakaran yang menghanguskan Zahro Express, pada saat yang sama juga terjadi petaka laut yang menimpa kapal Megah Scorpion yang tenggelam saat membawa LPG ke Sabang, Aceh.
Kecelakaan kapal hanyalah resultan dari sebuah tata kelola/manajemen yang mengatur sistem keselamatan pelayaran yang berlaku di Indonesia. Jika kondisi keselamatan pelayaran di dalam negeri begitu tragisnya, kita lantas bisa bertanya bagaimana sebetulnya sistem keselamatan pelayaran di Indonesia?
Anatomi Keselamatan Pelayaran
Bila mencermati pemberitaan di media massa, terkesan keselamatan pelayaran berada dalam genggaman syahbandar dan kapten kapal. Maka mana kala terjadi kecelakaan kapal, pencopotannya dan menghukum kapten kapal merupakan solusi dan menteri perhubungan atau direktur jenderal perhubungan laut merasa sudah menegakkan keselamatan pelayaran dengan kebijakannya itu.
Sejatinya, syahbandar dan kapten kapal (baca: kru kapal) bukanlah pelaku utama elemen dalam keselamatan pelayaran; ada banyak pihak yang berperan dalam menjalankan keselamatan pelayaran.
Sebagai flag state atau negara bendera kapal, keselamatan pelayaran di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah dan pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla).
Pada level operasional, keselamatan pelayaran ini dijalankan oleh syahbandar yang bekerja di pelabuhan, baik yang dikelola oleh BUMN kepelabuhan maupun swasta atau dikenal dengan istilah terminal untuk kepentingan sendiri-TUKS. Syahbandar Ditjen Hubla juga ada di pelabuhan penyeberangan yang secara administratif berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Di pelabuhan perikanan yang menjadi ranahnya Kementerian Kelautan dan Perikanan pun ada syahbandar Ditjen Hubla. Pokoknya, selama ada kapal di sebuah pelabuhan, siapa pun pengelolanya––di luar pangkalan laut militer––di situ ada syahbandar Ditjen Hubla.
Jika manajemen keselamatan pelayaran tadi ditarik sedikit ke belakang, pengelolaan keselamatan pelayaran oleh Ditjen Hubla berwujud dalam bentuk pengawasan pembangunan baru (new building) kapal-kapal berbendera Indonesia di galangan dalam negeri maupun di delapan penjuru mata angin.
Juga, ketika sebuah kapal berbendera asing dan hendak dibenderakan Merah Putih alias reflagging. Sebagian tugas pengawasan ada yang didelegasikan kepada badan klasifikasi nasional, PT Biro Klasifikasi Indonesia, dikenal dengan istilah mandatory survey yang mencakup hull, machineries, dan electricity.
Adapun survei statutory masih dilakukan oleh marine surveyor Ditjen Hubla. Kondisi ini sering diistilahkan oleh pemilik kapal domestik dengan multiple classification. Pada awalnya diklasifikasi oleh BKI kemudian diklasifikasi oleh Kemenhub.
Hanya, perahu-perahu bukanlah objek survei BKI kendati BUMN ini punya rules and regulations untuk mereka. Di samping itu, sudah pula dibuat sebuah standar pembangunan untuk perahu yang disebut dengan Non-Convention Vessel Standar (NCVS) dan BKI pada derajat tertentu juga terlibat dalam implementasinya. Namun, survei atas perahu-perahu sepenuhnya merupakan wewenang dan tanggung jawab Kemenhub.
Revolusi Sistem
Untuk menekan angka kecelakaan kapal, diperlukan revolusi terhadap sistem yang ada saat ini. Mengapa mekanisme keselamatan pelayaran yang ada perlu ditata ulang? Karena tidak ada check and balances di dalamnya.
Jika pekerjaan yang dilakukan oleh PT BKI bisa diawasi oleh Ditjen Hubla, lalu who audits the marine inspector? Jawabannya tentu saja pihak Ditjen Hubla sendiri yang mengawasi para marine inspector-nya. Tetapi karena sesama personel Hubla, tentunya pengawasan ini bisa jadi berjalan tidak efektif karena ada jiwa karsa yang dinomorsatukan.
Banyak cerita bagaimana jiwa karsa itu diimplementasikan. Misalnya, kondisi kelaiklautan sebuah kapal yang sebenarnya tidak laik, tetapi tetap saja bisa berlayar karena syahbandar memberikan surat persetujuan berlayar (SPB), karena barangkali ia dapat “titip salam” dari temannya yang berada di kantor pusat Ditjen Hubla. Ada pula kisah bagaimana kapal tua ketika di-reflagging menjadi lebih muda sepuluh tahun dari tahun pembuatannya.
Penataan ulang manajemen keselamatan pelayaran penulis usulkan mencakup beberapa hal. Pertama, menyerahkan survei statutory seluruhnya kepada PT BKI. Dengan pendelegasian penuh ini akan jelas garis pertanggungjawaban para pihak terkait saat terjadi kecelakaan kapal. Di samping itu, dengan kebijakan ini BUMN tersebut bisa makin mendapat leverage di komunitas klasifikasi global (IACS).
Kedua, menyapih syahbandar dari Kemenhub dan menjadikannya instansi independen. Dengan posisi syahbandar yang berada di bawah Ditjen Hubla, jelas ia tidak akan bisa menjalankan pekerjaan dengan baik.
Ia sangat rentan “ditelepon” oleh pejabat Kemenhub yang lebih tinggi posisinya agar memberikan dispensasi kepada kapal tertentu. Syahbandar hanyalah pejabat eselon IIa di Kemenhub. Independensi syahbandar sebetulnya memiliki akar dalam sejarah maritim nasional. Pada era ‘60-an, ketika suatu daerah tidak memiliki syahbandar, posisi itu bisa dirangkap oleh kepala daerah yang bersangkutan.
(poe)