Hoax dan Trust Deficit
A
A
A
Dahnil Anzar Simajuntak
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
AKHIR tahun lalu, 30 November 2016, pada pidato penutupan Tanwir Pemuda Muhammadiyah di Kota Tangerang-Banten, Presiden Joko Widodo menyampaikan kegelisahan terkait komunikasi di media sosial, yang dipenuhi dengan ujaran kebencian, fitnah, dan informasi hoax atau berita bohong yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kegelisahan yang sama agaknya terus disampaikan oleh Presiden di banyak kesempatan forum-forum resmi yang beliau hadiri.
Melihat fenomena “kebisingan” ujaran kebencian yang cenderung antitoleransi di media sosial tersebut akhirnya salah satu pertimbangan kebijakan yang dilakukan oleh Presiden adalah mempertimbangkan mendirikan Badan Pemantapan Pancasila, mungkin disingkat (BP2), yang akan berisi berbagai tokoh alim yang bisa membantu beliau mendorong akselerasi penetrasi nilai-nilai Pancasila pada kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah, pun kepada seluruh kelompok masyarakat yang ada.
Ternyata, kecemasan akan hoax semakin menjadi-jadi. Silang sengkarut data tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari China menjadi isu hangat belakangan ini. Berita-berita dari situs-situs non-mainstream yang mewartakan tentang banyaknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal China menghiasi timeline media sosial dan menjadi pembicaraan hot, berbagi berita yang tidak jelas sumbernya, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan pun ramai memenuhi ruang chat smartphone banyak masyarakat Indonesia.
Bahkan, secara khusus Presiden membahas secara serius terkait dengan masalah hoax ini pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor. Akhirnya, untuk mengatasi permasalahan tersebut akan dibentuk Badan Siber Nasional (BSN).
Reaksi pemerintah mengatasi permasalahan yang muncul dengan cara membuat lembaga atau badan khusus agaknya jamak dilakukan dari masa ke masa. Bagi saya tidak ada nalar baru yang ditawarkan dalam penyelesaian masalah yang muncul sehingga kebijakan untuk masalah yang berbeda selalu menggunakan “obat penawar” yang sama.
Badan atau lembaga khusus yang dibentuk menunjukkan bukti bahwa kementerian, badan, atau lembaga yang telah ada—yang seharusnya bisa bertanggung jawab menyelesaikan berbagai masalah yang muncul—tidak mampu atau gagal melakukan tugasnya dengan baik sehingga dibutuhkan tim khusus yang menyelesaikan masalah tersebut.
Sayangnya, selama ini model penyelesaian dengan pendekatan pembentukan badan atau lembaga khusus tersebut tidak efektif dan efisien, justru menambah beban dan kerumitan birokrasi. Padahal, Presiden Joko Widodo sebelumnya menghapus dan menggabungkan puluhan badan/lembaga negara yang dianggap tidak efektif dan efisien.
Kecemasan Presiden terhadap ancaman intoleransi di Indonesia dan hoax yang terjadi belakangan ini sesungguhnya fenomena yang tidak tunggal, determinasinya beragam. Sejatinya yang terjadi bukan ramainya intoleransi, yang hadir adalah ramainya rasa ketidakadilan yang dialami masyarakat.
Ketidakadilan yang setiap hari dipertontonkan oleh pembuat kebijakan dan aparatur hukum sehingga melahirkan berbagai reaksi yang sulit kita perkirakan yang mengganggu toleransi kita sebagai bangsa. Namun, akar masalahnya adalah ketidakadilan karena pada dasarnya umat beragama di Indonesia sangat toleran.
Bagi orang Indonesia, toleransi bukan bahan ceramah dan propaganda politik, apalagi barang/komoditas dagangan untuk meraup donor. Toleransi orang Indonesia adalah toleransi yang otentik. Bhineka Tunggal Ika itu adalah DNA-nya orang Indonesia sehingga tidak mungkin mereka merusaknya.
Namun, bila ada ancaman dari beberapa kelompok kecil—tentu selalu ada, penting bagi kita untuk selalu waspada, tapi tidak boleh paranoid. Ketika pemerintah bekerja dengan baik, maksimal menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, intoleransi dan upaya-upaya destruksi politik untuk mengganggu keutuhan Indonesia tidak akan “laku dijual” di tengah masyarakat.
Pun, demikian dengan masalah hoax yang menjadi kekhawatiran lain Presiden belakangan ini, selain memang dibutuhkan upaya membangun kesadaran kolektif pengguna telepon pintar dan internet untuk membangun tradisi internet sehat. Dengan merawat watak tabayyun atau cek dan ricek terhadap semua informasi yang mampir, pemerintah pun perlu membedah dan memperbaiki hulu masalah hoax tersebut.
Hoax is hoax. Jangan sampai muncul tafsir, informasi hoax adalah informasi bohong dan penuh fitnah bila informasi tersebut merugikan citra pemerintah. Tapi, informasi itu tidak dianggap hoax bila dipenuhi dengan tipu daya dan kabar bohong yang mengangkat citra pemerintah. Maka, penting berlaku adil terkait dengan penanganan fenomena hoax ini.
Fenomena publik yang sering mengutip dan agak percaya dengan informasi hoax selain masalah serius dengan watak para pengguna internet di Indonesia dan memudarnya tradisi tabayyun atau cek dan ricek, juga karena ada fenomena deficit trust atau menurunnya kepercayaan publik terhadap sumber-sumber informasi arus besar.
Seperti pemerintah dan media utama seperti media elektronik, online, maupun cetak. Artikel yang dimuat oleh Forbes (12/12/16) berjudul “The Real 'Fake News' is the Mainstream Media”, yang ditulis oleh Tom Basile, menarik untuk dicermati.
Fakta bahwa informasi hoax menjadi fenomena global. Serupa dengan isu antitoleransi, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat seakan menjadi sinyal, pendulum watak dunia seolah sedang bergeser menuju kutub yang ekstrem.
Kemenangan Trump di Amerika Serikat juga dipenuhi dengan politik informasi hoax untuk menyerang lawan politik, sama dengan ketika Pemilihan Presiden Indonesia pada 2014. Sayangnya, hoax itu terus berlanjut sampai sekarang, seolah kontestasi politik tidak henti dan sengaja mencipatakan polarisasi pada dua kubu Pilpres 2014.
Nah, dari fakta ini kita mudah menemukan bahwa politik adalah variabel utama dan paling kuat mendorong lahirnya informasi-informasi hoax ini. Kekuasaan melalui perangkat kekuasaan yang lengkap ditambah kekuatan modal yang tak terbilang angka bisa melahirkan hoax untuk membangun citra.
Bisa juga melalui media arus utama, yang memang sejak awal berpihak dan digunakan sebagai alat penguasa untuk membangun citra. Atau, oposisi yang dengan kekuatan politik dan modal juga bisa menggunakan media arus utama untuk memproduksi informasi hoax yang merusak citra dan kesan pemerintah gagal melakukan pembangunan.
Di tengah pertarungan hoax yang dilahirkan oleh politisi baik yang berkuasa, yang kemudian menjelma, kita sebut sebagai pemerintah, maupun dari kelompok oposisi, sama-sama menggunakan media arus besar. Maka di tengah produksi hoax oleh media arus besar yang dikendalikan kekuatan politik dan modal itu muncullah kejengahan publik, kebingungan, dan kemudian melahirkan ketidakpercayaan yang berujung kepada trust deficit.
Akhirnya ruang diskursus publik dipenuhi dengan informasi-informasi pembanding dari media-media nonarus besar, terutama media online dan media sosial, yang datang menghampiri langsung pemilik telepon pintar.
Arus deras informasi hoax terus terjadi di tengah kelemahan pemerintah membereskan masalah hulunya, yakni pembangunan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di tengah ketidakadilan penegakan hukum yang selalu tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.
Jadi, melawan hoax agaknya harus dimulai dari membenahi kinerja internal pemerintah agar tidak dipenuhi produksi hoax pencitraan yang cenderung menipu, sambil dalam jangka pendek melakukan penegakan hukum yang adil terhadap berbagai pihak yang terbukti melakukan produksi hoax, termasuk sumber-sumber informasi arus utama yang ada.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
AKHIR tahun lalu, 30 November 2016, pada pidato penutupan Tanwir Pemuda Muhammadiyah di Kota Tangerang-Banten, Presiden Joko Widodo menyampaikan kegelisahan terkait komunikasi di media sosial, yang dipenuhi dengan ujaran kebencian, fitnah, dan informasi hoax atau berita bohong yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kegelisahan yang sama agaknya terus disampaikan oleh Presiden di banyak kesempatan forum-forum resmi yang beliau hadiri.
Melihat fenomena “kebisingan” ujaran kebencian yang cenderung antitoleransi di media sosial tersebut akhirnya salah satu pertimbangan kebijakan yang dilakukan oleh Presiden adalah mempertimbangkan mendirikan Badan Pemantapan Pancasila, mungkin disingkat (BP2), yang akan berisi berbagai tokoh alim yang bisa membantu beliau mendorong akselerasi penetrasi nilai-nilai Pancasila pada kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah, pun kepada seluruh kelompok masyarakat yang ada.
Ternyata, kecemasan akan hoax semakin menjadi-jadi. Silang sengkarut data tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari China menjadi isu hangat belakangan ini. Berita-berita dari situs-situs non-mainstream yang mewartakan tentang banyaknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal China menghiasi timeline media sosial dan menjadi pembicaraan hot, berbagi berita yang tidak jelas sumbernya, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan pun ramai memenuhi ruang chat smartphone banyak masyarakat Indonesia.
Bahkan, secara khusus Presiden membahas secara serius terkait dengan masalah hoax ini pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor. Akhirnya, untuk mengatasi permasalahan tersebut akan dibentuk Badan Siber Nasional (BSN).
Reaksi pemerintah mengatasi permasalahan yang muncul dengan cara membuat lembaga atau badan khusus agaknya jamak dilakukan dari masa ke masa. Bagi saya tidak ada nalar baru yang ditawarkan dalam penyelesaian masalah yang muncul sehingga kebijakan untuk masalah yang berbeda selalu menggunakan “obat penawar” yang sama.
Badan atau lembaga khusus yang dibentuk menunjukkan bukti bahwa kementerian, badan, atau lembaga yang telah ada—yang seharusnya bisa bertanggung jawab menyelesaikan berbagai masalah yang muncul—tidak mampu atau gagal melakukan tugasnya dengan baik sehingga dibutuhkan tim khusus yang menyelesaikan masalah tersebut.
Sayangnya, selama ini model penyelesaian dengan pendekatan pembentukan badan atau lembaga khusus tersebut tidak efektif dan efisien, justru menambah beban dan kerumitan birokrasi. Padahal, Presiden Joko Widodo sebelumnya menghapus dan menggabungkan puluhan badan/lembaga negara yang dianggap tidak efektif dan efisien.
Kecemasan Presiden terhadap ancaman intoleransi di Indonesia dan hoax yang terjadi belakangan ini sesungguhnya fenomena yang tidak tunggal, determinasinya beragam. Sejatinya yang terjadi bukan ramainya intoleransi, yang hadir adalah ramainya rasa ketidakadilan yang dialami masyarakat.
Ketidakadilan yang setiap hari dipertontonkan oleh pembuat kebijakan dan aparatur hukum sehingga melahirkan berbagai reaksi yang sulit kita perkirakan yang mengganggu toleransi kita sebagai bangsa. Namun, akar masalahnya adalah ketidakadilan karena pada dasarnya umat beragama di Indonesia sangat toleran.
Bagi orang Indonesia, toleransi bukan bahan ceramah dan propaganda politik, apalagi barang/komoditas dagangan untuk meraup donor. Toleransi orang Indonesia adalah toleransi yang otentik. Bhineka Tunggal Ika itu adalah DNA-nya orang Indonesia sehingga tidak mungkin mereka merusaknya.
Namun, bila ada ancaman dari beberapa kelompok kecil—tentu selalu ada, penting bagi kita untuk selalu waspada, tapi tidak boleh paranoid. Ketika pemerintah bekerja dengan baik, maksimal menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, intoleransi dan upaya-upaya destruksi politik untuk mengganggu keutuhan Indonesia tidak akan “laku dijual” di tengah masyarakat.
Pun, demikian dengan masalah hoax yang menjadi kekhawatiran lain Presiden belakangan ini, selain memang dibutuhkan upaya membangun kesadaran kolektif pengguna telepon pintar dan internet untuk membangun tradisi internet sehat. Dengan merawat watak tabayyun atau cek dan ricek terhadap semua informasi yang mampir, pemerintah pun perlu membedah dan memperbaiki hulu masalah hoax tersebut.
Hoax is hoax. Jangan sampai muncul tafsir, informasi hoax adalah informasi bohong dan penuh fitnah bila informasi tersebut merugikan citra pemerintah. Tapi, informasi itu tidak dianggap hoax bila dipenuhi dengan tipu daya dan kabar bohong yang mengangkat citra pemerintah. Maka, penting berlaku adil terkait dengan penanganan fenomena hoax ini.
Fenomena publik yang sering mengutip dan agak percaya dengan informasi hoax selain masalah serius dengan watak para pengguna internet di Indonesia dan memudarnya tradisi tabayyun atau cek dan ricek, juga karena ada fenomena deficit trust atau menurunnya kepercayaan publik terhadap sumber-sumber informasi arus besar.
Seperti pemerintah dan media utama seperti media elektronik, online, maupun cetak. Artikel yang dimuat oleh Forbes (12/12/16) berjudul “The Real 'Fake News' is the Mainstream Media”, yang ditulis oleh Tom Basile, menarik untuk dicermati.
Fakta bahwa informasi hoax menjadi fenomena global. Serupa dengan isu antitoleransi, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat seakan menjadi sinyal, pendulum watak dunia seolah sedang bergeser menuju kutub yang ekstrem.
Kemenangan Trump di Amerika Serikat juga dipenuhi dengan politik informasi hoax untuk menyerang lawan politik, sama dengan ketika Pemilihan Presiden Indonesia pada 2014. Sayangnya, hoax itu terus berlanjut sampai sekarang, seolah kontestasi politik tidak henti dan sengaja mencipatakan polarisasi pada dua kubu Pilpres 2014.
Nah, dari fakta ini kita mudah menemukan bahwa politik adalah variabel utama dan paling kuat mendorong lahirnya informasi-informasi hoax ini. Kekuasaan melalui perangkat kekuasaan yang lengkap ditambah kekuatan modal yang tak terbilang angka bisa melahirkan hoax untuk membangun citra.
Bisa juga melalui media arus utama, yang memang sejak awal berpihak dan digunakan sebagai alat penguasa untuk membangun citra. Atau, oposisi yang dengan kekuatan politik dan modal juga bisa menggunakan media arus utama untuk memproduksi informasi hoax yang merusak citra dan kesan pemerintah gagal melakukan pembangunan.
Di tengah pertarungan hoax yang dilahirkan oleh politisi baik yang berkuasa, yang kemudian menjelma, kita sebut sebagai pemerintah, maupun dari kelompok oposisi, sama-sama menggunakan media arus besar. Maka di tengah produksi hoax oleh media arus besar yang dikendalikan kekuatan politik dan modal itu muncullah kejengahan publik, kebingungan, dan kemudian melahirkan ketidakpercayaan yang berujung kepada trust deficit.
Akhirnya ruang diskursus publik dipenuhi dengan informasi-informasi pembanding dari media-media nonarus besar, terutama media online dan media sosial, yang datang menghampiri langsung pemilik telepon pintar.
Arus deras informasi hoax terus terjadi di tengah kelemahan pemerintah membereskan masalah hulunya, yakni pembangunan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di tengah ketidakadilan penegakan hukum yang selalu tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.
Jadi, melawan hoax agaknya harus dimulai dari membenahi kinerja internal pemerintah agar tidak dipenuhi produksi hoax pencitraan yang cenderung menipu, sambil dalam jangka pendek melakukan penegakan hukum yang adil terhadap berbagai pihak yang terbukti melakukan produksi hoax, termasuk sumber-sumber informasi arus utama yang ada.
(poe)