Era Medsos, Bukan Zamannya Lagi Capres Dibatasi
A
A
A
JAKARTA - Keinginan pemerintah dan sebagian elite politik di DPR untuk tetap memberlakukan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 dinilai sudah tidak relevan,
Keinginan memasukkan syarat tersebut dalam revisi Undang-undang Pemilu yang sedang digodok DPR dinilai merupakan pola lama yang sudah tidak layak dipertahankan.
"Di era media sosial seperti saat ini, elite politik harus lebih responsif dalam menangkap aspirasi. Sudah tidak zaman lagi elite politik masih merasa sebagai pihak yang paling berhak mengurus negara ini, termasuk dalam menentukan kandidat capres," tutur Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni melalui keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu 15 Januari 2017.
Menurut dia, revolusi media sosial (medsos) telah menjadikan publik mampu menembus ruang-ruang privat yang sebelumnya hanya milik para elite politik. Kekuatan medsos dinilainya terbukti sudah berkali-kali mampu mempengaruhi kebijakan penguasa. (Baca juga: Sejumlah Fraksi di DPR Dukung Penghapusan Syarat Usung Capres)
Untuk itu, kata dia, hendaknya elite politik tidak lagi berpikiran konservatif dengan kokoh mempertahankan presidential threshold pada Pilpres 2019 yang akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif.
"Jelas sekali adanya presidential threshold hanya dimaksudkan untuk menjegal figur alternatif. Rakyat akan disuguhi figur itu-itu saja yang terbukti hingga hari ini gagal membawa perubahan bagi bangsa Indonesia," kata Sya'roni.
Menurut dia, elite politik harus menyadari rakyat sudah semakin pintar. Untuk itu, kata dia, elite politik seharusnya memberi banyak alternatif calon pemimpinnya. "Presidential threshold sudah tidak relevan lagi, biarkanlah seluruh parpol mencalonkan kandidat dalam pilpres," tandasnya.
Dia mencontohkan pilpres Amerika Serikat yang memberikan kesempatan arus bawah untuk menentukan capresnya melalui ajang konvensi. "Dari konvensi parpol itulah akan muncul satu kandidat yang akan bertarung di pilpres," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia bisa mengapdosi sistem itu dengan memperbanyak capres dan rakyat yang akan menentukan kandidat yang berhak untuk lolos putaran kedua.
Dia mengatakan, elite politik tidak usah khawatir akan kemampuan rakyat dalam memilih pemimpinnya. "Sekali lagi, di era medsos rakyat sudah sangat cerdas dan sudah mampu menjangkau informasi yang selama ini hanya terbatas di kalangan elite," katanya.
Keinginan memasukkan syarat tersebut dalam revisi Undang-undang Pemilu yang sedang digodok DPR dinilai merupakan pola lama yang sudah tidak layak dipertahankan.
"Di era media sosial seperti saat ini, elite politik harus lebih responsif dalam menangkap aspirasi. Sudah tidak zaman lagi elite politik masih merasa sebagai pihak yang paling berhak mengurus negara ini, termasuk dalam menentukan kandidat capres," tutur Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni melalui keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu 15 Januari 2017.
Menurut dia, revolusi media sosial (medsos) telah menjadikan publik mampu menembus ruang-ruang privat yang sebelumnya hanya milik para elite politik. Kekuatan medsos dinilainya terbukti sudah berkali-kali mampu mempengaruhi kebijakan penguasa. (Baca juga: Sejumlah Fraksi di DPR Dukung Penghapusan Syarat Usung Capres)
Untuk itu, kata dia, hendaknya elite politik tidak lagi berpikiran konservatif dengan kokoh mempertahankan presidential threshold pada Pilpres 2019 yang akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif.
"Jelas sekali adanya presidential threshold hanya dimaksudkan untuk menjegal figur alternatif. Rakyat akan disuguhi figur itu-itu saja yang terbukti hingga hari ini gagal membawa perubahan bagi bangsa Indonesia," kata Sya'roni.
Menurut dia, elite politik harus menyadari rakyat sudah semakin pintar. Untuk itu, kata dia, elite politik seharusnya memberi banyak alternatif calon pemimpinnya. "Presidential threshold sudah tidak relevan lagi, biarkanlah seluruh parpol mencalonkan kandidat dalam pilpres," tandasnya.
Dia mencontohkan pilpres Amerika Serikat yang memberikan kesempatan arus bawah untuk menentukan capresnya melalui ajang konvensi. "Dari konvensi parpol itulah akan muncul satu kandidat yang akan bertarung di pilpres," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia bisa mengapdosi sistem itu dengan memperbanyak capres dan rakyat yang akan menentukan kandidat yang berhak untuk lolos putaran kedua.
Dia mengatakan, elite politik tidak usah khawatir akan kemampuan rakyat dalam memilih pemimpinnya. "Sekali lagi, di era medsos rakyat sudah sangat cerdas dan sudah mampu menjangkau informasi yang selama ini hanya terbatas di kalangan elite," katanya.
(dam)