Menghentikan Budaya Kekerasan

Jum'at, 13 Januari 2017 - 07:27 WIB
Menghentikan Budaya...
Menghentikan Budaya Kekerasan
A A A
KASUS kekerasan kembali menodai Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Salah satu mahasiswa tingkat pertama, Amirulloh Adityas Putra, 18, meninggal setelah diplonco oleh seniornya. Diduga, dia meninggal setelah dipukul bertubi-tubi pada sekujur tubuhnya, hingga berakibat fatal.

Kasus meninggalnya Amirulloh tentu patut mendapat perhatian publik, karena kasus kekerasan di kampus tersebut bukan kali ini saja. Tercatat, dalam lima tahun terakhir, ada lima mahasiswa tingkat pertama menjadi korban kekerasan para senior, hingga berakibat kematian. Berulangnya kekerasan yang berakibat kematian tersebut menunjukkan bahwa kekerasan sudah menjadi budaya di kampus tersebut.

Kekerasan berbeda dengan penegakan disiplin, karena kekerasan lebih menekankan pendekatan fisik dan pemaksaan, bukan menggugah kesadaran. Alih-alih mampu menggembleng intelektualitas mahasiswa, kekerasan pun tidak akan mampu membangun disiplin. Yang muncul justru dendam tak berkesudahan dan kian berkembangnya budaya kekerasan itu sendiri.

STIP sebagai institusi pendidikan tentu memahami betul kekerasan bukanlah metode pengajaran yang baik dan beradab. Apalagi, terbukti kekerasan hanya menimbulkan korban jiwa dan menjatuhkan kredibilitas kampus tersebut di mata masyarakat. Belum lagi, para pimpinan di STIP juga terkena dampak dari rangkaian kasus kekerasan tersebut, yakni harus dipecat dari jabatannya.

Berdasarkan penjelasan pimpinan STIP, lembaga pendidikan tersebut sebenarnya telah merespons rangkaian kekerasan yang terjadi. Sebelum kasus kekerasan terakhir mencuat, misalnya, kampus sudah berikhtiar menggerakkan 23 pengawas untuk mengawasi kampus dan memasang CCTV di berbagai sudut kampus. Tapi ternyata STIP masih saja kecolongan.

Fakta ini menunjukkan bahwa serapi apa pun sistem yang dibuat, selama budaya kekerasan masih bersemayam di kampus tersebut, ibarat api dalam sekam setiap saat kekerasan pasti akan muncul. Budaya yang sudah terbentuk akan mendorong para mahasiswa untuk memanfaatkan sekecil apa pun kesempatan untuk melampiaskan dendam yang sudah terpendam untuk melakukan kekerasan.

Dengan pemahaman ini, menghentikan kekerasan di kampus STIP bukan sekadar membangun sistem pengamanan atau memberikan efek jera dengan menindak tegas mahasiswa maupun pimpinan kampus, melainkan juga menghilangkan budaya kekerasan itu sendiri. Sistem memang sangat penting sebagai bagian manajemen risiko untuk meminimalisasi ruang gerak kekerasan, tapi menghentikan kekerasan jauh strategis.

Menghentikan kekerasan tentu bukan perkara mudah, karena menyangkut cara pandang dan perilaku yang sudah menjadi tradisi dan dianggap sebagai keharusan yang harus dilestarikan dan dijalankan. Karena itu, untuk menghilangkannya dibutuhkan langkah mendasar dan berkesinambungan untuk memotong estafet budaya kekerasan.

STIP bisa meniru langkah yang pernah dilakukan Kemendagri saat berupaya menghentikan budaya kekerasan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor. Salah satu langkahnya adalah memisahkan mahasiswa baru di kampus yang berbeda, dalam hal ini di kampus Jalan Ampera, Jakarta Selatan.

Harapannya, mereka tidak tertular budaya lama yang melekat pada senior mereka. Sejauh ini tidak ada kabar kembali terjadinya kekerasan di sekolah kedinasan tersebut.

Penghilangan budaya kekerasan juga bisa dilakukan dengan memberi peringatan secara terus-menerus dan dalam setiap momen. Kopassus, misalnya, mencoba meninggalkan budaya garang dan membangun budaya baru yang ramah di korps baret merah tersebut dengan memasang baner, baliho, atau media outdoor lain yang bertuliskan “Senyum, Sapa, dan Salam” di titik-titik strategis lingkungan kampus. Sejauh ini langkah tersebut juga menunjukkan hasil.

Langkah menghilangkah budaya lama di STIP tentu juga masih mensyaratkan meningkatkan sistem pengawasan. Selain menambah jumlah tenaga pengawasan dan menambah CCTV, pihak kampus perlu membangun sistem pelaporan, yang menjamin keamanan identitas pelapor.

Hal ini perlu karena selama ini korban, yang sebagian besar mahasiswa baru, tidak melapor karena takut pada senior mereka. Menempatkan pos polisi juga bisa menjadi alternatif pengawasan.

Berdasarkan pengalaman yang ada, menghilangkan budaya lama dan membangun budaya baru bukanlah perkara mudah, namun bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Kuncinya adalah kesungguhan dan konsistensi dalam menutup ruang gerak budaya kekerasan dalam segala bentuknya.

Satu langkah teledor yang memberikan sinyal permisif terhadap budaya lama, kembali akan membangkitkan budaya kekerasan. Semoga STIP bisa melakukan perubahan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0580 seconds (0.1#10.140)