Debat Kandidat dalam Demokrasi Elektoral

Rabu, 11 Januari 2017 - 07:55 WIB
Debat Kandidat dalam...
Debat Kandidat dalam Demokrasi Elektoral
A A A
Muhammad Tri Andika
Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS)
Kepala Departemen Ilmu Politik, Universitas Bakrie

HANYA dalam hitungan minggu, masa kampanye Pilkada DKI Jakarta akan segera berakhir. Debat kandidat yang akan disiarkan secara langsung oleh beberapa televisi nasional menjadi puncak dari rangkaian kampanye.

Namun, pertanyaannya, seberapa penting drama debat kandidat, sebagai klimaks rangkaian aktivitas kampanye, akan memberikan dampak bagi tingkat elektoral kandidat?

Artikel ini tidak hendak memberikan gambaran pengaruh antara debat kandidat terhadap cagub-cawagub yang akan unggul pascadebat, namun lebih pada menguraikan seberapa besar tren pengaruh acara debat kandidat terhadap tingkat elektabilitas dalam demokrasi elektoral.

Dalam demokrasi elektoral, debat kandidat adalah momen yang sangat penting. Terlebih pada era di mana perkembangan media sudah sangat mapan. Ditambah dengan faktor karakter masyarakat Jakarta, sebagai masyarakat kota, yang juga semakin kritis.

Dorongan publik untuk melihat kompetisi terbuka antarkandidat cagub dan cawagub dalam beradu wacana dan gagasan tentu semakin besar pula. Debat cagub dan cawagub DKI Jakarta menjadi wahana bagi para pemilih untuk menilai secara transparan kapasitas dari tiap calon yang berkompetisi.

Secara umum pandangan masyarakat memersepsikan bahwa acara debat memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil kompetisi elektoral. Jika kita lihat data survei, 60%-70% masyarakat menganggap acara debat kandidat penting (Indikator, 2014).

Bahkan, berkembang keyakinan bahwa kandidat yang mampu tampil prima dan “memenangkan” debat diyakini akan keluar menjadi pemenang sesungguhnya.

Jika ekspektasi publik sedemikian besar terhadap acara debat kandidat, bagaimana sebenarnya pengaruh acara debat terhadap hasil elektoral nanti? Apakah “pemenang” dalam debat selalu keluar menjadi “pemenang” elektoral?

Merujuk pada ragam studi yang pernah dilakukan, sayangnya pandangan tersebut kurang memiliki dukungan data yang memadai. Pada beberapa studi yang mengkaji perihal pengaruh debat kandidat dalam proses elektoral, hampir sebagian besar sampai pada kesimpulan bahwa acara debat di televisi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan pemilih (Holbrok 1996, Jarman 2005). Begitu pun dengan mayoritas pemilih yang menyaksikan acara debat, sebagian besar tidak akan mengubah pilihannya (McKinney & Warner 2013).

Dalam satu studi komprehensif yang pernah dilakukan Robert Erikson dan Chritoper Wlezien, yang merekam pilpres di AS sejak 1952 hingga 2008, juga menghasilkan kesimpulan yang kurang lebih sama.

Dengan pengecualian debat Pilpres AS 1976, di mana Ford dinilai menyatakan pernyataan yang blunder, yang kemudian berujung pada kekalahannya, studi tersebut menunjukkan bahwa tren posisi elektoral kandidat sebelum dan sesudah acara debat berlangsung relatif tidak mengalami perubahan berarti. Dalam ungkapannya, Wlezein menyatakan bahwa evidence of debate effect is “fragile”.

Tren tersebut juga ditangkap dalam temuan survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada Pemilu Presiden 2009. Debat calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2009 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap elektabilitas pasangan calon. Begitu pun dalam Pilpres 2014.

Jajak pendapat lembaga Indikator Politik Indonesia juga menyimpulkan bahwa sejumlah responden tetap berada pada kandidat pilihannya meski mereka mengakui kandidat lawan unggul dalam proses debat.

Dengan begitu, secara scientific tidak ditemukan pengaruh efek yang sangat kuat dari acara debat yang disiarkan melalui televisi, dengan posisi akhir elektoral. Apalagi, sampai mengharapkan acara debat kandidat untuk menjadi variabel game changer, yang mampu memberikan efek dramatis terhadap hasil akhir elektoral.

Dua Faktor Utama
Lantas, apa yang membuat acara debat kandidat tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil elektoral? Secara umum, terdapat dua argumen utama yang mendasari kesimpulan tersebut.

Pertama, publik yang menyaksikan acara debat kebanyakan adalah mereka yang telah menentukan pilihan siapa calon yang didukung. Situasi ini mendorong pada kemunculan faktor yang kedua. Yaitu, dikarenakan sudah menentukan pilihan kandidat, audience yang menyaksikan acara debat cenderung memperkuat pandangan calonnya dan menegasikan setiap argumen yang berseberangan dengan pendapat calon yang didukungnya. Sehingga, tidak terjadi proses evaluasi objektif terhadap wacana dan gagasan selama proses debat kandidat berlangsung.

Dalam konteks tersebut, acara debat lebih sebagai instrumen untuk mengonfirmasi pilihan dari pemilih yang sudah mempunyai pilihan. Tidak memiliki pengaruh signifikan dalam memobilisasi pemilih yang belum menentukan pilihan. Apalagi, untuk meningkatkan secara drastis perolehan suara pada hari pencoblosan.

Normative Outcome
Meskipun acara debat tidak memiliki pengaruh signifikan bagi perubahan posisi elektoral kandidat, debat kandidat tetap memiliki fungsi yang sangat strategis. Terutama dalam menjamin pelaksanaan demokrasi elektoral yang berkualitas.

Ada empat efek strategis bagi demokrasi, yang dihasilkan oleh acara debat kandidat (Michael Pfau, 2003). Yaitu, meningkatkan pendidikan politik masyarakat, mendorong peningkatan voters turnout meski dalam skala yang tidak signifikan, memberikan peningkatan jaminan keakuratan informasi dari para kandidat kepada publik, serta mereduksi sentimen negatif politik antarkandidat dan pendukung.

Empat efek tersebut merupakan normative democratic outcomesdari pelaksanaan debat kandidat. Sehingga, meski sulit untuk dikuantifikasikan dan diprediksi akan memberikan efek elektoral yang tidak begitu signifikan, keberlangsungan acara debat cagub dan cawagub DKI Jakarta tetap memiliki fungsi strategis dalam menyuburkan democratic value di tengah masyarakat Jakarta.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0696 seconds (0.1#10.140)