Cegah Kejahatan: Dari Pulomas ke Polmas
A
A
A
M Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
KEJAHATAN selalu dimulai dengan adanya kesempatan. Begitu slogan terkenal dari figur Bang Napi dari salah satu acara berita kriminal sebuah televisi stasiun swasta nasional, RCTI.
Memberantas kejahatan boleh jadi bisa dimulai dengan mempersempit peluang terjadinya tindak kejahatan. Relasi penegak hukum dan masyarakat menjadi kunci upaya mempersempit peluang tersebut.
Tentu publik masih hangat dengan kasus perampokan di Pulomas. Peristiwa yang menelan korban nyawa enam orang ini seolah menunjukkan tipologi kejahatan dengan cara kejam akan menjadi tantangan penegak hukum di awal 2017.
Kejahatan seolah berkejaran dengan kemajuan masyarakat. Dalam beberapa hal, kejahatan sering lebih maju dibandingkan kenyataan yang dicapai oleh masyarakat.
Tidak berlebihan jika pakar kriminologi menyebutkan kejahatan itu merupakan deskripsi perkembangan masyarakat. Begitu masyarakat berhasil memproduksi kemajuan teknologi, seiring dengan itu masyarakat menerima dampak negatifnya berupa kemajuan di bidang kejahatan.
Kejadian di Pulomas menggambarkan sejumlah persoalan tragis dalam penegakan hukum. Pertama, profiling pelaku kejahatan selaku residivis yang justru masih kerap melakukan kejahatan setelah bebas dari penjara.
Kedua, semakin pudarnya kohesi sosial masyarakat urban, sehingga membuat pelaku kejahatan terlihat leluasa dalam melakukan kejahatan di tengah keramaian. Ketiga, pemolisian masyarakat atau dikenal sebagai polmas yang belum optimal diterapkan dalam masyarakat perkotaan.
Tidak mengherankan jika statistik kriminal dalam kurun 2013-2015 menunjukkan angka kejahatan konvensional, seperti pencurian dengan kekerasan, naik signifikan antara 40-89%. Arus kejahatan seolah memiliki dimensi khusus, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga berdampak pada lahirnya bentuk-bentuk kejahatan yang akan semakin sulit untuk dilacak.
Angka statistik kriminal tersebut menunjukkan gambaran pola kejahatan yang perlu dipikirkan dasar penanggulangan kriminalitasnya. Konsepsi ini mengharuskan aparat penegak hukum untuk memberikan prioritas pada jenis kejahatan tertinggi.
Selain itu, perlu diidentifikasi daerah-daerah selektif yang memiliki intensitas gangguan tinggi terutama di kota-kota besar dan daerah-daerah rawan. Adalah bijaksana juga untuk menentukan pola penanganan pada daerah prioritas tersebut apakah melalui cara represif ataukah preventif.
Pencegahan Kejahatan
Seperti diketahui, pencegahan kejahatan merupakan tindakan untuk memberikan perlindungan dan menghindari rasa takut masyarakat dari gangguan kejahatan. Selanjutnya pengamanan terhadap masyarakat tidak semata-mata terfokus pada para pelaku kejahatan, tetapi juga pada kecenderungan dalam mengendalikan kejahatan itu sendiri. Untuk mencegah dan memberikan perlindungan masyarakat terhadap gangguan kejahatan maka dilakukan tindakan kepolisian.
Adapun tindakan kepolisian tersebut dapat dilakukan dengan cara, pertama, melakukan eliminasi terhadap faktor-faktor kriminogen yang ada dalam masyarakat. Kedua, menggerakkan potensi masyarakat dalam hal mencegah dan mengurangi kejahatan.
Namun kebijakan pencegahan harus bersifat tegas, termasuk melakukan kegiatan pencegahan pada daerah rawan dan kegiatan penindakan terhadap kejahatan yang muncul. Kegiatan pencegahan kejahatan ini sebaiknya dilakukan secara terorganisir karena jika tidak dilakukan secara terorganisir kemungkinan besar kegiatan pencegahan kejahatan tidak akan berjalan efektif dan tidak mendapat hasil yang maksimal.
Richard A Cloward dan Llyold E Ohlin melalui teori subbudaya kekerasan menyebutkan, berbagai proposisi mengenai unsur kekerasan yang selalu ada secara potensial dalam suatu dimensi masyarakat, sehingga perbuatan kekerasan dalam dimensi kejahatan pada hakikatnya merupakan reaksi normal dari atau dalam kelompok dalam melakukan kejahatan.
Berdasarkan teori tersebut, strategi penanggulangan kejahatan kekerasan harus dilandaskan pemahaman aparat penegak hukum tentang unsur-unsur kekerasan yang secara potensial ada dalam nilai-nilai sosial-budaya dalam suatu masyarakat.
Secara universal, upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana kejahatan telah melembaga dan melekat di masyarakat. Charles Reith dalam The Blind Eye of History telah mendeskripsikan adanya fungsi memaksa dalam masyarakat yang terbentuk secara berjenjang sejak dari terbentuknya masyarakat ke dalam unit-unit sosial terkecil sampai pada tahapan pelembagaan terhadap aturan-aturan main yang telah disepakati bersama.
Dengan demikian upaya pengamanan tentu tidak semata-mata dibebankan kepada aparat kepolisian semata melainkan oleh masyarakat sendiri maupun oleh pemerintah dalam wujud upaya penanggulangan kriminalitas.
Kondisi kebutuhan masyarakat untuk ikut bersama menanggulangi kejahatan dapat dilihat dari adanya pepatah Minang yang berbunyi, ”Tegak berkampung memagar kampung, tegak nagari memagar nagari, tegak berbangsa memagar bangsa.”
Kondisi ini menegaskan bahwa mekanisme pengamanan masyarakat sebagian besar dilekatkan ke dalam fungsi kemasyarakatan itu sendiri dan sebagian kecil selebihnya diselenggarakan oleh aparat hukum negara.
Community Policing
Kondisi di atas mengharuskan suatu strategi khusus yang kian mendekatkan unsur polisi dan masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Peter dan Matthew Moir mengatakan, community policing adalah strategi di mana masyarakat umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diikutsertakan di dalam berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan kepolisian, baik bersama atau pun atas nama polisi, dalam suasana demokrasi liberal.
Selain itu, community policing diakui sebagai model pemolisian protagonis yang berpihak kepada masyarakat dengan kedekatan polisi dan masyarakat sebagai pilar utamanya, melalui upaya-upaya yang lebih proaktif menuju terwujudnya kerja sama yang efektif antara polisi dan masyarakat dalam tugas pembinaan kamtibmas.
Community policing juga dapat diartikan sebagai gagasan tentang perpolisian yang meletakkan perpolisian di dalam kerangka tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat (community). Dua unsur utama masyarakat, yakni polisi dan yang bukan polisi (publik) saling terkait di dalam suatu relasi kemitraan sejajar, serta senantiasa berupaya membangun kesepakatan dan kerja sama sinergis di dalam pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, serta pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam community policing, keberhasilan polisi tidak hanya terletak pada kemampuan dalam mengembangkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga meningkatnya kerja sama dan kompetensi masyarakat dalam binkamtibmas di lingkungannya.
Istilah community policing bukan barang asing di Indonesia. Polri melalui Peraturan Kapolri Nomor 3/2015 Tentang Pemolisian Masyarakat, sudah lebih maju dalam mengimplementasikan community policing.
Berdasarkan peraturan tersebut, community policing atau pemolisian masyarakat (polmas) didefinisikan sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.
Pengalaman Jepang
Istilah community policing pertama kali digunakan oleh Kepolisian Jepang pada 2003. Istilah tersebut diilhami dari tulisan David Bayley yang berisi tentang hasil penelitian mengenai sistem Koban dan Chuzaisho di Jepang.
Sistem Koban merupakan pengganti dari pola Samurai yang sangat militeristik di Jepang ternyata sudah mulai dikembangkan sekitar 110 tahun lalu pada masa Meiji. Koban dalam istilah kepolisian di Jepang adalah pos polisi yang terbuka selama 24 jam untuk melindungi masyarakat.
Secara harfiah Koban, yang berarti terbuka, memiliki arti pos polisi yang selalu terbuka untuk tukar pendapat secara bebas dengan masyarakat.
Chuzaiso adalah pos polisi di daerah pedesaan yang terbuka dengan seorang petugas polisi ada di tengah masyarakat selama 24 jam. Sistem Koban inilah yang menjadi cikal bakal munculnya model community policing saat ini.
Dengan community policing maka kepolisian Jepang dapat dikatakan sebagai penegak hukum modern. Predikat tersebut diterapkan bukan hanya dilihat dari adanya berbagai fasilitas pendukung tugas yang serba modern.
Akan tetapi, mengacu kepada pandangan beberapa pakar penegak hukum tentang konsep penegakan hukum modern. Penegakan hukum modern dimaksud adalah penegakan hukum yang menitikberatkan pada kegiatan preventif dibandingkan tindakan represif.
Berdasarkan pengertian di atas, secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa community policing merupakan filosofi, upaya, atau gagasan tentang perpolisian yang meletakkan perpolisian di dalam kerangka tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat (community) dalam mengidentifikasi masalah kejahatan dan gangguan kamtibmas di lingkungannya, serta dalam mencari solusi terhadap pemecahan masalah tersebut menuju tercipta situasi dan kondisi kamtibmas yang kondusif.
Meski telah coba diterapkan sejak 2008, pelaksanaan polmas dapat dikatakan belum optimal. Masyarakat masih enggan bekerja sama dengan polisi dan polisi sendiri jarang terlihat berada di tengah masyarakat sehingga penerapan polmas hanya penanganan pertama di tempat kejadian perkara (TKP) atau patroli. Atau juga sekadar kegiatan penyuluhan kepada masyarakat atau membangun sistem keamanan swakarsa.
Padahal, polmas seharusnya merupakan bagian dari pelayanan untuk menjaga dan menumbuh kembangkan hubungan baik antara polisi dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya dan bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam penerapannya, tentu tidak dapat disamaratakan satu daerah dengan daerah lain, melainkan melihat dari berbagai faktor dalam masyarakat tingkat lokal atau daerah.
Tak dapat dimungkiri, kejadian tragis dengan pola kejahatan kejam turut menimbulkan ketakutan dalam masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas di lingkungannya, terutama setelah kejadian perampokan di Pulomas.
Pembelajaran ini mengharuskan peran polisi untuk bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar bersama dalam menyelesaikan masalah sosial dan keamanan yang terjadi di masyarakat. Dengan begitu, melalui pendekatan ini diharapkan masyarakat dapat menutup kesempatan pelaku kejahatan dalam beraksi.
Akhirnya, diperlukan penyempurnaan konsep, kebijakan dan praktek pembinaan masyarakat terutama dalam penerapan community policing di Indonesia. Sehingga beban polisi akan terasa lebih ringan dalam menghadapi tantangan perkembangan kejahatan di masa yang akan datang. Semoga.
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
KEJAHATAN selalu dimulai dengan adanya kesempatan. Begitu slogan terkenal dari figur Bang Napi dari salah satu acara berita kriminal sebuah televisi stasiun swasta nasional, RCTI.
Memberantas kejahatan boleh jadi bisa dimulai dengan mempersempit peluang terjadinya tindak kejahatan. Relasi penegak hukum dan masyarakat menjadi kunci upaya mempersempit peluang tersebut.
Tentu publik masih hangat dengan kasus perampokan di Pulomas. Peristiwa yang menelan korban nyawa enam orang ini seolah menunjukkan tipologi kejahatan dengan cara kejam akan menjadi tantangan penegak hukum di awal 2017.
Kejahatan seolah berkejaran dengan kemajuan masyarakat. Dalam beberapa hal, kejahatan sering lebih maju dibandingkan kenyataan yang dicapai oleh masyarakat.
Tidak berlebihan jika pakar kriminologi menyebutkan kejahatan itu merupakan deskripsi perkembangan masyarakat. Begitu masyarakat berhasil memproduksi kemajuan teknologi, seiring dengan itu masyarakat menerima dampak negatifnya berupa kemajuan di bidang kejahatan.
Kejadian di Pulomas menggambarkan sejumlah persoalan tragis dalam penegakan hukum. Pertama, profiling pelaku kejahatan selaku residivis yang justru masih kerap melakukan kejahatan setelah bebas dari penjara.
Kedua, semakin pudarnya kohesi sosial masyarakat urban, sehingga membuat pelaku kejahatan terlihat leluasa dalam melakukan kejahatan di tengah keramaian. Ketiga, pemolisian masyarakat atau dikenal sebagai polmas yang belum optimal diterapkan dalam masyarakat perkotaan.
Tidak mengherankan jika statistik kriminal dalam kurun 2013-2015 menunjukkan angka kejahatan konvensional, seperti pencurian dengan kekerasan, naik signifikan antara 40-89%. Arus kejahatan seolah memiliki dimensi khusus, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga berdampak pada lahirnya bentuk-bentuk kejahatan yang akan semakin sulit untuk dilacak.
Angka statistik kriminal tersebut menunjukkan gambaran pola kejahatan yang perlu dipikirkan dasar penanggulangan kriminalitasnya. Konsepsi ini mengharuskan aparat penegak hukum untuk memberikan prioritas pada jenis kejahatan tertinggi.
Selain itu, perlu diidentifikasi daerah-daerah selektif yang memiliki intensitas gangguan tinggi terutama di kota-kota besar dan daerah-daerah rawan. Adalah bijaksana juga untuk menentukan pola penanganan pada daerah prioritas tersebut apakah melalui cara represif ataukah preventif.
Pencegahan Kejahatan
Seperti diketahui, pencegahan kejahatan merupakan tindakan untuk memberikan perlindungan dan menghindari rasa takut masyarakat dari gangguan kejahatan. Selanjutnya pengamanan terhadap masyarakat tidak semata-mata terfokus pada para pelaku kejahatan, tetapi juga pada kecenderungan dalam mengendalikan kejahatan itu sendiri. Untuk mencegah dan memberikan perlindungan masyarakat terhadap gangguan kejahatan maka dilakukan tindakan kepolisian.
Adapun tindakan kepolisian tersebut dapat dilakukan dengan cara, pertama, melakukan eliminasi terhadap faktor-faktor kriminogen yang ada dalam masyarakat. Kedua, menggerakkan potensi masyarakat dalam hal mencegah dan mengurangi kejahatan.
Namun kebijakan pencegahan harus bersifat tegas, termasuk melakukan kegiatan pencegahan pada daerah rawan dan kegiatan penindakan terhadap kejahatan yang muncul. Kegiatan pencegahan kejahatan ini sebaiknya dilakukan secara terorganisir karena jika tidak dilakukan secara terorganisir kemungkinan besar kegiatan pencegahan kejahatan tidak akan berjalan efektif dan tidak mendapat hasil yang maksimal.
Richard A Cloward dan Llyold E Ohlin melalui teori subbudaya kekerasan menyebutkan, berbagai proposisi mengenai unsur kekerasan yang selalu ada secara potensial dalam suatu dimensi masyarakat, sehingga perbuatan kekerasan dalam dimensi kejahatan pada hakikatnya merupakan reaksi normal dari atau dalam kelompok dalam melakukan kejahatan.
Berdasarkan teori tersebut, strategi penanggulangan kejahatan kekerasan harus dilandaskan pemahaman aparat penegak hukum tentang unsur-unsur kekerasan yang secara potensial ada dalam nilai-nilai sosial-budaya dalam suatu masyarakat.
Secara universal, upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana kejahatan telah melembaga dan melekat di masyarakat. Charles Reith dalam The Blind Eye of History telah mendeskripsikan adanya fungsi memaksa dalam masyarakat yang terbentuk secara berjenjang sejak dari terbentuknya masyarakat ke dalam unit-unit sosial terkecil sampai pada tahapan pelembagaan terhadap aturan-aturan main yang telah disepakati bersama.
Dengan demikian upaya pengamanan tentu tidak semata-mata dibebankan kepada aparat kepolisian semata melainkan oleh masyarakat sendiri maupun oleh pemerintah dalam wujud upaya penanggulangan kriminalitas.
Kondisi kebutuhan masyarakat untuk ikut bersama menanggulangi kejahatan dapat dilihat dari adanya pepatah Minang yang berbunyi, ”Tegak berkampung memagar kampung, tegak nagari memagar nagari, tegak berbangsa memagar bangsa.”
Kondisi ini menegaskan bahwa mekanisme pengamanan masyarakat sebagian besar dilekatkan ke dalam fungsi kemasyarakatan itu sendiri dan sebagian kecil selebihnya diselenggarakan oleh aparat hukum negara.
Community Policing
Kondisi di atas mengharuskan suatu strategi khusus yang kian mendekatkan unsur polisi dan masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Peter dan Matthew Moir mengatakan, community policing adalah strategi di mana masyarakat umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diikutsertakan di dalam berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan kepolisian, baik bersama atau pun atas nama polisi, dalam suasana demokrasi liberal.
Selain itu, community policing diakui sebagai model pemolisian protagonis yang berpihak kepada masyarakat dengan kedekatan polisi dan masyarakat sebagai pilar utamanya, melalui upaya-upaya yang lebih proaktif menuju terwujudnya kerja sama yang efektif antara polisi dan masyarakat dalam tugas pembinaan kamtibmas.
Community policing juga dapat diartikan sebagai gagasan tentang perpolisian yang meletakkan perpolisian di dalam kerangka tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat (community). Dua unsur utama masyarakat, yakni polisi dan yang bukan polisi (publik) saling terkait di dalam suatu relasi kemitraan sejajar, serta senantiasa berupaya membangun kesepakatan dan kerja sama sinergis di dalam pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, serta pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam community policing, keberhasilan polisi tidak hanya terletak pada kemampuan dalam mengembangkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga meningkatnya kerja sama dan kompetensi masyarakat dalam binkamtibmas di lingkungannya.
Istilah community policing bukan barang asing di Indonesia. Polri melalui Peraturan Kapolri Nomor 3/2015 Tentang Pemolisian Masyarakat, sudah lebih maju dalam mengimplementasikan community policing.
Berdasarkan peraturan tersebut, community policing atau pemolisian masyarakat (polmas) didefinisikan sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.
Pengalaman Jepang
Istilah community policing pertama kali digunakan oleh Kepolisian Jepang pada 2003. Istilah tersebut diilhami dari tulisan David Bayley yang berisi tentang hasil penelitian mengenai sistem Koban dan Chuzaisho di Jepang.
Sistem Koban merupakan pengganti dari pola Samurai yang sangat militeristik di Jepang ternyata sudah mulai dikembangkan sekitar 110 tahun lalu pada masa Meiji. Koban dalam istilah kepolisian di Jepang adalah pos polisi yang terbuka selama 24 jam untuk melindungi masyarakat.
Secara harfiah Koban, yang berarti terbuka, memiliki arti pos polisi yang selalu terbuka untuk tukar pendapat secara bebas dengan masyarakat.
Chuzaiso adalah pos polisi di daerah pedesaan yang terbuka dengan seorang petugas polisi ada di tengah masyarakat selama 24 jam. Sistem Koban inilah yang menjadi cikal bakal munculnya model community policing saat ini.
Dengan community policing maka kepolisian Jepang dapat dikatakan sebagai penegak hukum modern. Predikat tersebut diterapkan bukan hanya dilihat dari adanya berbagai fasilitas pendukung tugas yang serba modern.
Akan tetapi, mengacu kepada pandangan beberapa pakar penegak hukum tentang konsep penegakan hukum modern. Penegakan hukum modern dimaksud adalah penegakan hukum yang menitikberatkan pada kegiatan preventif dibandingkan tindakan represif.
Berdasarkan pengertian di atas, secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa community policing merupakan filosofi, upaya, atau gagasan tentang perpolisian yang meletakkan perpolisian di dalam kerangka tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat (community) dalam mengidentifikasi masalah kejahatan dan gangguan kamtibmas di lingkungannya, serta dalam mencari solusi terhadap pemecahan masalah tersebut menuju tercipta situasi dan kondisi kamtibmas yang kondusif.
Meski telah coba diterapkan sejak 2008, pelaksanaan polmas dapat dikatakan belum optimal. Masyarakat masih enggan bekerja sama dengan polisi dan polisi sendiri jarang terlihat berada di tengah masyarakat sehingga penerapan polmas hanya penanganan pertama di tempat kejadian perkara (TKP) atau patroli. Atau juga sekadar kegiatan penyuluhan kepada masyarakat atau membangun sistem keamanan swakarsa.
Padahal, polmas seharusnya merupakan bagian dari pelayanan untuk menjaga dan menumbuh kembangkan hubungan baik antara polisi dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya dan bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam penerapannya, tentu tidak dapat disamaratakan satu daerah dengan daerah lain, melainkan melihat dari berbagai faktor dalam masyarakat tingkat lokal atau daerah.
Tak dapat dimungkiri, kejadian tragis dengan pola kejahatan kejam turut menimbulkan ketakutan dalam masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas di lingkungannya, terutama setelah kejadian perampokan di Pulomas.
Pembelajaran ini mengharuskan peran polisi untuk bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar bersama dalam menyelesaikan masalah sosial dan keamanan yang terjadi di masyarakat. Dengan begitu, melalui pendekatan ini diharapkan masyarakat dapat menutup kesempatan pelaku kejahatan dalam beraksi.
Akhirnya, diperlukan penyempurnaan konsep, kebijakan dan praktek pembinaan masyarakat terutama dalam penerapan community policing di Indonesia. Sehingga beban polisi akan terasa lebih ringan dalam menghadapi tantangan perkembangan kejahatan di masa yang akan datang. Semoga.
(poe)