Siapa Penentu Kebijakan?
A
A
A
MENGELOLA sebuah negara tentu bukan hal yang mudah bagi kepala negara. Butuh kekuatan komunikasi dan kelincahan berkoordinasi dengan tangan kiri, kanan, atas, bawah, hingga seluruh lingkungan kepresidenan.
Hanya orang-orang terdekat dan orang kepercayaan presiden yang dapat memberi masukan dan saran, hingga akhirnya kebijakan dapat dijalankan. Kabinet yang akan menjalankan kebijakan, menjadi unsur penting untuk ikut berperan 'mengolah' kebijakan.
Sebuah kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah, tentunya sudah disepakati bersama dalam rapat kabinet. Kebijakan yang diluncurkan ke masyarakat akan menjadi cermin kekompakan kinerja pemerintahan.
Dengan cara seperti itu, tentu tidak akan ada perbedaan irama dan beragam pendapat pembantu presiden dalam menyikapi lahirnya kebijakan. Karena semua sudah bersepakat, bersepaham, dan menerima untuk menjalankan kebijakan yang telah disahkan.
Dan tentunya telah disetujui presiden selaku kepala pemerintahan. Respons masyarakat terhadap suatu kebijakan yang dilahirkan, apakah mendapat kesan positif atau negatif, tentu lebih mudah diatasi bersama karena seluruhnya sudah memiliki kesepahaman.
Namun untuk mewujudkan itu semua nampaknya belum terlihat dalam Kabinet Kerja. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah masih menjadi polemik di masyarakat karena prilaku si penjabat yang tidak mengakui lahirnya kebijakan tersebut. Bahkan, presiden dan wakilnya pun tidak seirama dalam meresponsnya.
Menjadi sebuah pertanyaan besar di masyarakat, bagaimana harus mengikuti sebuah kebijakan bila yang mengeluarkan kebijakanpun 'angkat tangan'. Lalu kepada siapa sebuah kebijakan itu dipertanggungjawabkan? Dan kepada siapa masyarakat harus menaruh kepercayaan?
Menjadi hal yang mudah untuk memberikan pernyataan sebuah kebijakan kepada masyarakat melalui beragam media. Namun hal itu akan menjadi sulit dan menimbulkan polemik, bila pernyataan yang disampaikan adalah irama yang sumbang, dan tidak sejalan.
Apalagi bila pimpinan tertinggi pengambil keputusan, juga tidak memahami kebijakan yang ditandatanganinya. Lalu bagaimana cara mengoreksinya, bila hal yang dipolemikkan itu sudah harus dijalankan oleh rakyat?
Selama sepekan terakhir dua kebijakan yang menjadi polemik adalah PP Nomor 60/2016 tentang Jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian RI dan kebijakan penghentian sementara kerjasama militer Indonesia-Australia.
Setelah hampir 27 bulan pemerintahan Kabinet Kerja, dua kasus ini bukan merupakan kasus irama sumbang yang pertama. Beberapa kasus sebelumnya pernah terjadi, menyangkut kebijakan pembangunan listrik 35ribu MW, dan pemberian fasilitas kenaikan tunjangan uang muka bagi pejabat.
Tentunya kasus ini tidak akan berulang bila komunikasi dapat berjalan efektif, dan orang-orang kepercayaan sekitar lingkungan kepresidenan memiliki pola kerjasama yang baik. Sejatinya komunikasi yang baik dan efektif berawal dari lingkungan terkecil seperti keluarga, rumah tangga, dan lingkungan sosial.
Meski memiliki banyak perbedaan pendapat dan pandangan, namun komunikasi yang efektif dapat mencairkan berbagai persoalan. Modal komunikasi yang baik akan menghancurkan semua ego sektoral, karena komunikasi dapat menjadi solusi.
Namun bila komunikasi hanya diefektivkan secara sepihak, maka ketimpangan dan kesalahpahaman akan menjadi ancaman, terutama dalam mengambil kebijakan.
Berada ditengah-tengah orang kepercayaan yang jumlahnya puluhan, tentu presiden dapat lebih arif dan bijak dalam mengambil keputusan. Apalagi, bila para pembantu presiden juga ikut terlibat dalam sebuah pengambilan kebijakan.
Tentunya jembatan untuk mencapai sebuah kesepakatan adalah komunikasi dan koordinasi yang merata di segala arah, tanpa harus timpang sebelah. Karena masukan dari lingkaran orang-orang kepercayaan harus diuji oleh lingkaran luar kepresidenan yang dapat memberikan keseimbangan. Bila menteri tak seirama, presiden bisa saja mencabut mandatnya.
Tapi bagaimana bila hal itu terjadi di lingkungan kepresidenan? Semoga ke depan komunikasi dan koordinasi di internal presiden dan pemerintahan dapat seiring sejalan, serta tidak menimbulkan kepanikan berulang. Masyarakatpun tentu tak akan kembali menjadi korban.
Hanya orang-orang terdekat dan orang kepercayaan presiden yang dapat memberi masukan dan saran, hingga akhirnya kebijakan dapat dijalankan. Kabinet yang akan menjalankan kebijakan, menjadi unsur penting untuk ikut berperan 'mengolah' kebijakan.
Sebuah kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah, tentunya sudah disepakati bersama dalam rapat kabinet. Kebijakan yang diluncurkan ke masyarakat akan menjadi cermin kekompakan kinerja pemerintahan.
Dengan cara seperti itu, tentu tidak akan ada perbedaan irama dan beragam pendapat pembantu presiden dalam menyikapi lahirnya kebijakan. Karena semua sudah bersepakat, bersepaham, dan menerima untuk menjalankan kebijakan yang telah disahkan.
Dan tentunya telah disetujui presiden selaku kepala pemerintahan. Respons masyarakat terhadap suatu kebijakan yang dilahirkan, apakah mendapat kesan positif atau negatif, tentu lebih mudah diatasi bersama karena seluruhnya sudah memiliki kesepahaman.
Namun untuk mewujudkan itu semua nampaknya belum terlihat dalam Kabinet Kerja. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah masih menjadi polemik di masyarakat karena prilaku si penjabat yang tidak mengakui lahirnya kebijakan tersebut. Bahkan, presiden dan wakilnya pun tidak seirama dalam meresponsnya.
Menjadi sebuah pertanyaan besar di masyarakat, bagaimana harus mengikuti sebuah kebijakan bila yang mengeluarkan kebijakanpun 'angkat tangan'. Lalu kepada siapa sebuah kebijakan itu dipertanggungjawabkan? Dan kepada siapa masyarakat harus menaruh kepercayaan?
Menjadi hal yang mudah untuk memberikan pernyataan sebuah kebijakan kepada masyarakat melalui beragam media. Namun hal itu akan menjadi sulit dan menimbulkan polemik, bila pernyataan yang disampaikan adalah irama yang sumbang, dan tidak sejalan.
Apalagi bila pimpinan tertinggi pengambil keputusan, juga tidak memahami kebijakan yang ditandatanganinya. Lalu bagaimana cara mengoreksinya, bila hal yang dipolemikkan itu sudah harus dijalankan oleh rakyat?
Selama sepekan terakhir dua kebijakan yang menjadi polemik adalah PP Nomor 60/2016 tentang Jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian RI dan kebijakan penghentian sementara kerjasama militer Indonesia-Australia.
Setelah hampir 27 bulan pemerintahan Kabinet Kerja, dua kasus ini bukan merupakan kasus irama sumbang yang pertama. Beberapa kasus sebelumnya pernah terjadi, menyangkut kebijakan pembangunan listrik 35ribu MW, dan pemberian fasilitas kenaikan tunjangan uang muka bagi pejabat.
Tentunya kasus ini tidak akan berulang bila komunikasi dapat berjalan efektif, dan orang-orang kepercayaan sekitar lingkungan kepresidenan memiliki pola kerjasama yang baik. Sejatinya komunikasi yang baik dan efektif berawal dari lingkungan terkecil seperti keluarga, rumah tangga, dan lingkungan sosial.
Meski memiliki banyak perbedaan pendapat dan pandangan, namun komunikasi yang efektif dapat mencairkan berbagai persoalan. Modal komunikasi yang baik akan menghancurkan semua ego sektoral, karena komunikasi dapat menjadi solusi.
Namun bila komunikasi hanya diefektivkan secara sepihak, maka ketimpangan dan kesalahpahaman akan menjadi ancaman, terutama dalam mengambil kebijakan.
Berada ditengah-tengah orang kepercayaan yang jumlahnya puluhan, tentu presiden dapat lebih arif dan bijak dalam mengambil keputusan. Apalagi, bila para pembantu presiden juga ikut terlibat dalam sebuah pengambilan kebijakan.
Tentunya jembatan untuk mencapai sebuah kesepakatan adalah komunikasi dan koordinasi yang merata di segala arah, tanpa harus timpang sebelah. Karena masukan dari lingkaran orang-orang kepercayaan harus diuji oleh lingkaran luar kepresidenan yang dapat memberikan keseimbangan. Bila menteri tak seirama, presiden bisa saja mencabut mandatnya.
Tapi bagaimana bila hal itu terjadi di lingkungan kepresidenan? Semoga ke depan komunikasi dan koordinasi di internal presiden dan pemerintahan dapat seiring sejalan, serta tidak menimbulkan kepanikan berulang. Masyarakatpun tentu tak akan kembali menjadi korban.
(poe)