2017 Bergurulah Kepada Alam
A
A
A
Suparto Wijoyo
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
DESEMBER 2016 menorehkan kisah kebencanaan yang nyaris paripurna dengan dampak yang terus membutuhkan penanganan sampai saat ini di awal tahun 2017. Hentakan bencana hebat terekam pada 7 Desember 2016 di Serambi Mekkah. Publik harus menoleh kembali ke Aceh karena gempa telah menunjukkan daulat ekologisnya kepada negara.
Kabupaten Pidie Jaya terhentakkan gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR) yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Bumi bergoyang dan tanah merekah mengabarkan kuasa dirinya tanpa proposal permohonan. Jerit tangis, doa, dan rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gemanya mengetuk solidaritas kemanusiaan.
Presiden, Ketua MPR RI, dan para relawan hadir menolong mereka. Seluruh mata dan hati warga negara terketuk ke Tanah Rencong untuk selanjutnya tergerak membantu dalam kesetiakawanan tanpa tepi.
Gempa Aceh melahirkan duka yang ternyata mampu memupuk kembali persaudaraan anak bangsa. Duka ini sejatinya membangunkan optimisme menjadikan gempa sebagai literasi pembangunan nasional pada 2017.
Gempa membuat negara banyak belajar dan warga mencoba mendengar suara alam lebih khidmat lagi. Setiap bencana alam dapat dijadikan sebagai literatur yang mengajarkan bagaimana membangun relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat. Di tahun 2017 ini kita dapat berguru pada gempa.
Belum kering lelehan air mata di Aceh, pada 25 Desember 2016 gempa unjuk kuasa di Bima dengan kekuatan 3,7 SR. Suasana panik dan traumatik akibat banjir bandang pekan sebelumnya semakin mengkristalkan penderitaan warga Bima, NTB.
Derita ini seolah membungkus deret nestapa di sepanjang 2016. Terungkap data bahwa secara nasional terdapat 274 kabupaten/kota yang berada di daerah bahaya longsor. Sepuluh daerah paling rawan adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Yogyakarta, Aceh, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Banten. Sebanyak 40,9 juta jiwa penduduk sangat rawan terpapar bahaya longsor.
Bencana banjir mengancam pula 315 kabupaten/kota dan 63,7 juta jiwa. Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur menjadi 10 daerah paling rawan. Sampai 11 November 2016, terjadi 1.985 bencana hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 375 orang tewas, 383 mengalami luka, 2,52 juta jiwa menderita dan mengungsi, serta lebih dari 34.000 rumah rusak.
*****Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola gempa. Gempa yang terjadi di Bumi Cut Nyak Dhien di titik waktu 2004 sampai 2016 memberikan lembar “kurikulum kealaman” bahwa Pulau Sumatera rawan gempa.
Jejak gempa di Sumatera dalam satu dasawarsa terakhir ini dapat dilacak dari beragam warta: 28 Maret 2005, Aceh dan Sumut terguncang gempa 8,2 SR; 18 Desember 2006, Mandailing Natal tersentakkan gempa 5,7 SR; 12 September 2007, Bengkulu luluh oleh gempa 7,9 SR yang melengkapi kisah pilu Sumbar yang pada 6 Maret 2007 digoyang gempa 5,8–6,4 SR. 30 September 2009, lepas pantai Sumbar menyuguhkan gempa 7,6 SR; dan 25 Oktober 2010 Mentawai dihentakkan gempa 7,7 SR.
Lantas Sinabung terkena gempa 7,8 SR pada 7 April 2010. Jeda sebentar untuk kemudian pantai barat Sumbar dihantam gempa 8,6 SR pada 11 April 2012. Tanggal 2 Juli 2013 Aceh dihampiri gempa dengan “sapaan” 6,1 SR dan di 2 Juni 2016 Sumbar mengalami gempa lagi 6,5 SR.
Data tersebut dalam manajemen negara dan dunia pendidikan niscaya dapat menjadi resources penting penguatan ilmu kegempaan dengan segala perangkatnya, termasuk aspek yuridisnya, sehingga gempa tidak semata-mata berarti disaster atau catastrophe.
Gempa membuka ruang belajar bagi seluruh pusat studi. Data informatif itu sungguh membuat tertegun dan bukan decak kagum. Data tersebut mendengungkan lolong kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera diberi solusi.
Ratusan juta jiwa yang terancam gempa merupakan tata nyawa yang harus diselamatkan negara agar negara bermakna adanya. Belum lagi kerugian ekonomi akibat bencana yang ditaksir sekitar Rp 30 triliun-40 triliun.
Sejak gempa yang diikuti tsunami di Aceh pada 2004, gempa ternyata berulang setiap tahun di Sumatera. Kenyataan ini mestinya membuat negara beranjak lebih sigap. Publik tidak hendak menyaksikan berjuta jiwa itu menjadi angka statistik yang diantrekan nyawanya dalam helatan bencana pada 2017.
Seluruh sendi negara sudah sedemikian gamblang bertutur mengenai bencana, berikut anggaran dan dasar hukumnya. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari bencana.
*****Setelah mengetahui daerah rawan gempa, negara wajib mendesain ulang kawasan permukiman maupun membuat road map gempa dan mengonstruksi infrastruktur yang sesuai dengan kondisi alamnya. Warga yang berada dalam koridor rawan bencana akan mudah melakukan mitigasi karena mendengar suara alam lebih jernih dan beradaptasi dengan realitas alam yang telah dipetakan.
Belajar pada referensi tua seperti Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389) dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana itu mesti diawali dari tingkat wilayah negara terkecil, yaitu desa.
Setiap kampong di Aceh, desa di Jawa atau nagari di Sumatera sudah semestinya punya peta kegempaan sehingga setiap jengkal teritori negara terdapat papan informasi tata ruang sedasar dengan status alamnya. Selama langkah ini tidak dilakukan, saya khawatir negara dituduh sedang mengundi nasib warganya untuk menjadi persembahan bencana.
Dengan terus berulangnya bencana akibat gempa di negeri ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat diselamatkan dari gempa di hari-hari mendatang melalui road map kegempaan.
Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya. Siapa pun yang memanggul amanat negara pastilah terpanggil untuk membangun wilayah yang berkeselamatan rakyat. Gempa memanglah pelajaran bagi negara.
Temuan keilmuan bahwa Indonesia adalah negara rawan bencana, rawan gempa, rawan longsor, rawan gunung meletus, yang dalam bahasa Lawrence Blair dan Lorne Blair, Indonesia ada dalam lingkaran api (Ring of Fire), itu bukanlah negara kutukan.
Justru dengan ungkapan tersebut, kita bersyukur berarti Indonesia adalah tanah subur yang dikreasi penuh keseimbangan oleh Tuhan. Guncangan-guncangan itu memberikan pembaruan peradaban. Gempa dapat menjadi laboratorium pembangunan. Ilmu yang akan banyak muncul di episode mendatang tentang manajemen bencana dan hukum lingkungan niscaya menyediakan norma pemenuhan hak-hak rakyat dalam tata kelola kebencanaan.
Hanya wilayah demikianlah yang menjanjikan kemakmuran karena “bencana alam” itu sejatinya adalah cara alam menyapa, metode alam meningkatkan daya kesuburannya, dan teknik kehidupan untuk terus tak lelah mempelajari semesta. Semangatlah berguru kepada alam di tahun 2017.
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
DESEMBER 2016 menorehkan kisah kebencanaan yang nyaris paripurna dengan dampak yang terus membutuhkan penanganan sampai saat ini di awal tahun 2017. Hentakan bencana hebat terekam pada 7 Desember 2016 di Serambi Mekkah. Publik harus menoleh kembali ke Aceh karena gempa telah menunjukkan daulat ekologisnya kepada negara.
Kabupaten Pidie Jaya terhentakkan gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR) yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Bumi bergoyang dan tanah merekah mengabarkan kuasa dirinya tanpa proposal permohonan. Jerit tangis, doa, dan rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gemanya mengetuk solidaritas kemanusiaan.
Presiden, Ketua MPR RI, dan para relawan hadir menolong mereka. Seluruh mata dan hati warga negara terketuk ke Tanah Rencong untuk selanjutnya tergerak membantu dalam kesetiakawanan tanpa tepi.
Gempa Aceh melahirkan duka yang ternyata mampu memupuk kembali persaudaraan anak bangsa. Duka ini sejatinya membangunkan optimisme menjadikan gempa sebagai literasi pembangunan nasional pada 2017.
Gempa membuat negara banyak belajar dan warga mencoba mendengar suara alam lebih khidmat lagi. Setiap bencana alam dapat dijadikan sebagai literatur yang mengajarkan bagaimana membangun relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat. Di tahun 2017 ini kita dapat berguru pada gempa.
Belum kering lelehan air mata di Aceh, pada 25 Desember 2016 gempa unjuk kuasa di Bima dengan kekuatan 3,7 SR. Suasana panik dan traumatik akibat banjir bandang pekan sebelumnya semakin mengkristalkan penderitaan warga Bima, NTB.
Derita ini seolah membungkus deret nestapa di sepanjang 2016. Terungkap data bahwa secara nasional terdapat 274 kabupaten/kota yang berada di daerah bahaya longsor. Sepuluh daerah paling rawan adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Yogyakarta, Aceh, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Banten. Sebanyak 40,9 juta jiwa penduduk sangat rawan terpapar bahaya longsor.
Bencana banjir mengancam pula 315 kabupaten/kota dan 63,7 juta jiwa. Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur menjadi 10 daerah paling rawan. Sampai 11 November 2016, terjadi 1.985 bencana hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 375 orang tewas, 383 mengalami luka, 2,52 juta jiwa menderita dan mengungsi, serta lebih dari 34.000 rumah rusak.
*****Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola gempa. Gempa yang terjadi di Bumi Cut Nyak Dhien di titik waktu 2004 sampai 2016 memberikan lembar “kurikulum kealaman” bahwa Pulau Sumatera rawan gempa.
Jejak gempa di Sumatera dalam satu dasawarsa terakhir ini dapat dilacak dari beragam warta: 28 Maret 2005, Aceh dan Sumut terguncang gempa 8,2 SR; 18 Desember 2006, Mandailing Natal tersentakkan gempa 5,7 SR; 12 September 2007, Bengkulu luluh oleh gempa 7,9 SR yang melengkapi kisah pilu Sumbar yang pada 6 Maret 2007 digoyang gempa 5,8–6,4 SR. 30 September 2009, lepas pantai Sumbar menyuguhkan gempa 7,6 SR; dan 25 Oktober 2010 Mentawai dihentakkan gempa 7,7 SR.
Lantas Sinabung terkena gempa 7,8 SR pada 7 April 2010. Jeda sebentar untuk kemudian pantai barat Sumbar dihantam gempa 8,6 SR pada 11 April 2012. Tanggal 2 Juli 2013 Aceh dihampiri gempa dengan “sapaan” 6,1 SR dan di 2 Juni 2016 Sumbar mengalami gempa lagi 6,5 SR.
Data tersebut dalam manajemen negara dan dunia pendidikan niscaya dapat menjadi resources penting penguatan ilmu kegempaan dengan segala perangkatnya, termasuk aspek yuridisnya, sehingga gempa tidak semata-mata berarti disaster atau catastrophe.
Gempa membuka ruang belajar bagi seluruh pusat studi. Data informatif itu sungguh membuat tertegun dan bukan decak kagum. Data tersebut mendengungkan lolong kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera diberi solusi.
Ratusan juta jiwa yang terancam gempa merupakan tata nyawa yang harus diselamatkan negara agar negara bermakna adanya. Belum lagi kerugian ekonomi akibat bencana yang ditaksir sekitar Rp 30 triliun-40 triliun.
Sejak gempa yang diikuti tsunami di Aceh pada 2004, gempa ternyata berulang setiap tahun di Sumatera. Kenyataan ini mestinya membuat negara beranjak lebih sigap. Publik tidak hendak menyaksikan berjuta jiwa itu menjadi angka statistik yang diantrekan nyawanya dalam helatan bencana pada 2017.
Seluruh sendi negara sudah sedemikian gamblang bertutur mengenai bencana, berikut anggaran dan dasar hukumnya. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari bencana.
*****Setelah mengetahui daerah rawan gempa, negara wajib mendesain ulang kawasan permukiman maupun membuat road map gempa dan mengonstruksi infrastruktur yang sesuai dengan kondisi alamnya. Warga yang berada dalam koridor rawan bencana akan mudah melakukan mitigasi karena mendengar suara alam lebih jernih dan beradaptasi dengan realitas alam yang telah dipetakan.
Belajar pada referensi tua seperti Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389) dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana itu mesti diawali dari tingkat wilayah negara terkecil, yaitu desa.
Setiap kampong di Aceh, desa di Jawa atau nagari di Sumatera sudah semestinya punya peta kegempaan sehingga setiap jengkal teritori negara terdapat papan informasi tata ruang sedasar dengan status alamnya. Selama langkah ini tidak dilakukan, saya khawatir negara dituduh sedang mengundi nasib warganya untuk menjadi persembahan bencana.
Dengan terus berulangnya bencana akibat gempa di negeri ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat diselamatkan dari gempa di hari-hari mendatang melalui road map kegempaan.
Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya. Siapa pun yang memanggul amanat negara pastilah terpanggil untuk membangun wilayah yang berkeselamatan rakyat. Gempa memanglah pelajaran bagi negara.
Temuan keilmuan bahwa Indonesia adalah negara rawan bencana, rawan gempa, rawan longsor, rawan gunung meletus, yang dalam bahasa Lawrence Blair dan Lorne Blair, Indonesia ada dalam lingkaran api (Ring of Fire), itu bukanlah negara kutukan.
Justru dengan ungkapan tersebut, kita bersyukur berarti Indonesia adalah tanah subur yang dikreasi penuh keseimbangan oleh Tuhan. Guncangan-guncangan itu memberikan pembaruan peradaban. Gempa dapat menjadi laboratorium pembangunan. Ilmu yang akan banyak muncul di episode mendatang tentang manajemen bencana dan hukum lingkungan niscaya menyediakan norma pemenuhan hak-hak rakyat dalam tata kelola kebencanaan.
Hanya wilayah demikianlah yang menjanjikan kemakmuran karena “bencana alam” itu sejatinya adalah cara alam menyapa, metode alam meningkatkan daya kesuburannya, dan teknik kehidupan untuk terus tak lelah mempelajari semesta. Semangatlah berguru kepada alam di tahun 2017.
(poe)