Sisi Lain E-Voting

Rabu, 04 Januari 2017 - 08:30 WIB
Sisi Lain E-Voting
Sisi Lain E-Voting
A A A
Ikhsan Darmawan
Direktur Eksekutif Center for Development and Political Studies (CDPS), Dosen FISIP UI

SELAMA ini e-voting dalam sebuah pemilihan seringkali dilihat karena kegunaan-kegunaannya. Kegunaan yang sering disebut adalah e-voting dapat difungsikan sebagai solusi pengganti cara manual (Benoist, Anrig, dan Jacquet-Chiffelle 2007, 29).

Di antara manfaat yang lazim disinggung yaitu bahwa e-voting lebih cepat, efisien, dan akurat ketimbang pemilihan cara manual (Oostven dan van den Besselaar 2004, 73).

Sejak 2010 sampai saat ini penulis telah melakukan penelitian tentang e-voting di banyak daerah. Sejauh ini penulis telah melakukan turun lapangan dan penelitian di lima daerah dari delapan daerah yang telah mengadopsi e-voting dalam pilkades.

Lima daerah itu adalah Jembrana, Boyolali, Musi Rawas, Pemalang, dan Batang Hari. Kesimpulan dari hasil turun lapangan riset itu bahwa e-voting memiliki keunggulan karena lebih cepat dari sisi waktu, lebih efisien dari sisi biaya dan waktu penghitungan, serta akurat dalam hal hasil tak terhindarkan.

Tak terkecuali dalam kasus daerah yang belakangan penulis teliti, yakni Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Di wilayah yang terkenal dengan Sungai Batang Hari-nya itu, penulis mendapatkan banyak temuan. Salah satunya hasil pemilihan di 32 desa dapat diketahui tidak terlalu lama, hanya antara 30 menit sampai 1 jam setelah TPS ditutup.

Di samping itu, karena alat untuk pemilihan dengan e-voting dapat digunakan berkali-kali, biayanya menjadi lebih efisien ketimbang sebelumnya yang menggunakan kertas surat suara.

Argumen yang paling meyakinkan lagi ialah metode e-voting jauh lebih akurat ketimbang metode manual. Akurasi itu tampak pada tidak ada suara tidak sah seperti di cara mencoblos.

Jika dengan mencoblos menyebabkan terbuka ruang untuk sebuah suara menjadi tidak sah, sebaliknya dengan cara e-voting. Pilihan tiap orang pasti sesuai ketika dihitung. Apalagi, ditambah dengan ada mekanisme kertas seperti setruk di ATM yang bernama paper trail. Pemilih setelah menggunakan hak pilihnya dapat mengecek apakah pilihannya sesuai atau tidak di paper trail tadi.

Sebaliknya, cara menghitung manual dapat menyebabkan ketidakakuratan. Hal itu karena bisa saja bila panitia pemilihan memihak kepada salah satu calon, lubang pilihan yang dapat merugikan calon yang didukung oleh panitia ditutupi oleh jari panitia itu ketika penghitungan.

Tujuannya ialah minimal panitia tersebut berhasil untuk tidak menambah suara lawan dari calon yang dia dukung. Jika hal itu terjadi, sangat berbahaya karena hasilnya tidak sesuai kenyataan yang ada.

Apakah keakuratan hanya berguna sejauh nilai keakuratan itu sendiri? Jawabannya tidak.

Keakuratan dalam sebuah pemilihan sedikit-banyak berdampak juga terhadap kepercayaan calon dan pemilih terhadap hasil pemilihan. Apa pentingnya kepercayaan calon dan pemilih? Penulis mendapatkan informasi menarik soal itu.

Di Kabupaten Batang Hari, tidak ada satu pun desa yang digugat hasil pilkadesnya ke pengadilan. Sebaliknya, terjadi gugatan terhadap hasil pilkades di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Dua kabupaten itu letaknya berdekatan dengan Kabupaten Batang Hari dan pelaksanaan pilkades di dua kabupaten lain itu tidak terlalu jauh jarak waktunya dengan pelaksanaan di Batang Hari. Hemat kata, teknologi e-voting di pilkades juga memiliki manfaat untuk menekan terjadi sengketa dan konflik yang berkaitan dengan ketepatan hasil.

Temuan yang paling menarik adalah tanpa disadari penggunaan e-voting dalam pilkades di Kabupaten Batang Hari sangat berguna untuk meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki e-KTP. Bagaimana penjelasannya?

Kuncinya, syarat wajib untuk memilih dalam pilkades e-voting adalah e-KTP. Tidak ada pemilih yang diperbolehkan memilih calon kepala desa tanpa memiliki e-KTP. Dengan begitu, langsung atau tidak syarat itu mendorong orang yang belum memilikinya agar sesegera mungkin memiliki.

Apalagi untuk event seperti pilkades yang sangat erat dengan pemilih, dengan sukarela calon pemilih yang belum punya e-KTP datang ke tempat pembuatan e-KTP. Penduduk yang juga pemilih di desa itu sangat berkepentingan dengan siapa kades yang mereka harapkan untuk menang dan terpilih.

Lebih menarik lagi, selain pemilih, calon kepala desa dan tim suksesnya menjadi penggerak berbondong-bondongnya warga merekam e-KTP. Para calon dan timnya tentu tidak mau kehilangan suara karena syarat ini sehingga mereka rajin mengingatkan pemilih yang belum punya e-KTP. Bukan selalu dalam artian negatif, tapi dorongan dari tim sukses dan calon lebih pada mengingatkan warga yang belum memiliki e-KTP bahwa jangan sampai mereka kehilangan hak pilihnya.

Ternyata, e-voting dapat menjadi solusi yang bersifat soft ketimbang apa yang dilakukan Kemendagri sebelumnya terkait tujuan tercapainya target jumlah warga yang sudah melakukan perekaman e-KTP. Sebelumnya Kemendagri sempat menelurkan kebijakan yang mewajibkan setiap penduduk punya e-KTP paling lambat 30 September 2016.

Meskipun belakangan diakui sendiri oleh Kemendagri bahwa kebijakan itu hanya sebuah cara saja untuk bisa mencapai target mereka, tetapi dampaknya hal itu sempat menimbulkan keresahan di masyarakat. Ancamannya jika terbukti dilaksanakan cukup berat, yaitu tidak dapat mengakses puluhan layanan publik jika belum memiliki e-KTP.

Sebab itu, sebuah hal yang sangat positif apabila mendagri membuat kebijakan di mana mendukung apabila ada daerah yang mau menerapkan e-voting dalam pilkades di daerah masing-masing. Tujuannya tak lain adalah mendapatkan sederet kegunaan dari adopsi e-voting dalam pilkades seperti diuraikan di atas.

Selama ini tidak sedikit daerah yang menyatakan tertarik untuk mengadopsi e-voting seperti di daerah lain yang sudah mengadopsi. Hal itu terlihat dari tidak sedikit daerah yang melakukan kunjungan saat pelaksanaan pilkades e-voting di suatu daerah.

Hanya, persoalannya, karena tidak wajib sifatnya, banyak daerah dan kepala daerah yang masih setengah-setengah. Apalagi bukan perkara mudah untuk meyakinkan DPRD agar bisa memiliki payung hukum yang jelas.

Mendagri sebenarnya telah menunjukkan ketertarikannya terhadap e-voting. Dalam beberapa kesempatan beliau menyampaikan bahwa ada rencana penggunaan e-voting. Jika saat ini di banyak daerah menerapkan dalam pilkades, Mendagri ingin menerapkan e-voting dalam lingkup yang lebih besar lagi, yakni pilkada atau bahkan pilleg dan pilpres.

Menurut pendapat penulis, bisa saja mendagri memulai dari minimal mendorong daerah-daerah yang ingin menerapkan e-voting dalam pilkades di daerah masing-masing. Mengapa demikian?

Meski belum mewajibkan, ada sinyal dukungan seperti itu dari seorang mendagri akan sangat penting pengaruhnya untuk meyakinkan sepenuhnya para kepala daerah yang sudah punya ”setengah” keinginan mengadopsi e-voting. Hal itu juga menjadi pilot test tidak direncanakan penerapan e-voting meski sekop sekecil pilkades. Jika di banyak tempat sudah diterapkan, dapat membangun kepercayaan untuk di tingkat yang lebih tinggi lagi dari pilkades.

Selain itu, mendagri juga akan mendapatkan keuntungan lain yakni pelaksanaan pilkades yang menjadi domain tanggung jawabnya menjadi lebih baik dan tepercaya ketimbang sebelumnya dengan model manual. Masalah biayanya dikembalikan kepada APBD masing-masing kabupaten/kota yang desa-desanya menerapkan e-voting.

Hal lain yang tak kalah pentingnya yakni memberikan apresiasi kepada daerah-daerah yang telah berhasil mengadopsi e-voting dalam pilkades mereka. Jika sebelumnya ada seperti e-government awards, menarik juga jika ada seperti e-voting awards.

Tujuannya tak lain agar memberi semangat kepada daerah-daerah yang belum mengadopsi e-voting dalam pilkades. Apabila hal itu positif dan sangat baik untuk memperbaiki dan menutupi kelemahan pilkades manual, mengapa tidak?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7844 seconds (0.1#10.140)
pixels