Ayah-Bunda Menculik Ananda
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
INSTRUKSI Presiden Nomor 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental yang diluncurkan pekan pertama Desember 2016 menggenapi dua kado akhir tahun bagi dunia perlindungan anak di Tanah Air.
Sebelumnya, tak terpaut jauh, Undang-Undang Nomor 17/2016 tentang Revisi Kedua Undang-Undang Perlindungan Anak juga diresmikan. Inpres Nomor 12/2016, setali tiga uang dengan penjabaran Nawacita, juga menempatkan masalah perlindungan anak pada ranah hukum. Yaitu, di poin (h) pada Program Gerakan Indonesia Tertib: menumbuhkan lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan komunitas yang ramah dan bebas kekerasan. Poin tersebut berada di bawah koordinasi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan.
Inpres tersebut merupakan sandaran ideal bagi penyikapan terhadap sejumlah kejadian mengenaskan sekaligus unik yang menggegerkan jagat berita daring dan media sosial di pengujung akhir 2016 ini.
Bukan kejadian berupa kasus-kasus yang sudah lazim menyedot perhatian publik, semisal kejahatan terhadap anak maupun anak yang sakit parah lalu meninggal dunia. Melainkan, peristiwa yang betapa pun merupakan bentuk kegagalan perlindungan anak, tetapi hingga kini masih cenderung ditanggapi secara kikuk oleh otoritas penegakan hukum nasional.
Seorang bocah berusia 3,5 tahun hilang. Dikabarkan, bocah tersebut dijemput paksa oleh para penculik di tempat umum. Polisi melacak hingga ke Banyumas. Sekian bulan silam, peristiwa serupa juga berlangsung di pusat perbelanjaan.
Terekam kamera, anak kecil yang tengah berjalan di belakang ibunya itu tiba-tiba diringkus oleh sejumlah orang dewasa. Anak itu juga disebut-sebut telah menjadi korban penculikan.
Namun, tak lama setelah kejadian, anak-anak tersebut berhasil ditemukan. Ke gemparan berakhir seiring dengan terungkapnya rahasia bahwa pihak yang berada di belakang aksi-aksi tersebut tak lain adalah orang tua kandung anak-anak itu sendiri.
Latar belakang peristiwa-peristiwa semacam itu adalah memburuknya relasi suami dan istri. Baik setelah bercerai maupun menjelang perceraian, salah satu orang tua menutup akses orang tua yang lain untuk bertemu darah daging mereka.
Tak kuasa menahan rindu, orang tua yang diasingkan tersebut memutuskan mengambil anak tanpa sepengetahuan (mantan) pasangannya. Panik, orang tua yang kehilangan anak bergegas melapor ke polisi dan menyebar warta dengan judul “anak saya diculik”.
Masuk akal untuk memprediksi bahwa seiring terus meningginya angka perceraian pada 2017 nanti, dengan kuasa asuh atas anak menjadi salah satu masalah pelik, kejadian-kejadian penculikan semacam di atas akan kian sering berlangsung.
Di sejumlah negara, perbuatan seperti itu disetarakan dengan tindak penculikan sehingga dikenal terma penculikan oleh orang tua (parental abduction, parental kidnapping, custodial interference). Sangat mungkin di Indonesia menggandeng “penculikan” dan “orang tua” akan mengundang kerut dahi karena penculikan biasanya diasosiasikan dengan aksi kejahatan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain yang tidak memiliki pertalian darah secara dekat.
Beberapa penyikapan yang perlu diambil adalah; Pertama, harus digarisbawahi bahwa kepemilikan akan hak asuh tidak menjustifikasi orang tua untuk mengasingkan anak dari orang tuanya yang lain.
Untuk mencegah terjadi pengasingan tersebut, hakim patut menambahkan ke dalam putusannya satu poin tambahan. Yaitu, mewajibkan kedua orang tua untuk memberikan laporan berkala perihal disediakannya dan dimanfaatkannya akses anak untuk tetap menjalin tali asih dengan orang tua yang tidak mendapat hak asuh. Integrasi antara kerja lembaga peradilan dan lembaga kesejahteraan sosial juga dapat dibangun untuk keperluan pelaporan maupun pemantauan tersebut.
Kedua, manakala diketahui bahwa pemutusan relasi telah terjadi, lembaga peradilan tidak boleh tinggal diam. Agar marwah Dewi Yustisia tetap terpelihara dan demi menjamin terejawantahkannya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan penutupan akses harus dipandang sebagai pelecehan terhadap putusan pengadilan.
Secara spesifik, sebagaimana praktik yang berlangsung di banyak negara, pengabaian semacam itu dapat diperkarakan dengan tuduhan penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court). Ini menjadi agenda legislasi ke depan, yakni menyusun perundang-undangan tentang penghinaan terhadap lembaga peradilan.
Paralel dengan itu, ketiga, tindakan pengasingan terhadap anak harus disikapi setidaknya sebagai bentuk kekerasan psikis dan sosial yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak yang berada dalam kuasa asuhnya. Dan, itu merupakan persoalan pidana.
Apalagi, karena UU Perlindungan Anak (UU PA) mencantumkan klausa “orang dekat” sebagai syarat pemberatan sanksi bagi pelaku, penculikan oleh orang tua pun semestinya bisa disikapi sebagai bentuk tindak pidana oleh orang dekat.
Konsekuensinya, agar sistem peradilan pidana lebih memiliki kemantapan hati dalam melindungi hak anak, revisi UUPA dan UU KDRT maupun penyusunan UU baru mengenai pengasuhan patut mengelaborasi lebih konkret dan deskriptif pasal-pasal tentang penganiayaan semacam itu.
UU yang secara spesifik membahas ihwal penculikan oleh orang tua juga bukan sesuatu yang tanpa preseden. Walau banyak pihak menganggap peristiwa custodial interference sebagai masalah perdata, seriusnya dampak yang terjadi pada anak mendorong sekian banyak negara memberlakukan pemidanaan terhadap orang tua yang menculik anak mereka sendiri.
Di Amerika Serikat, sebagai misal, Distrik Kolombia dan puluhan negara bagian lainnya memiliki peraturan hukum yang memidana pelaku. Ancaman sanksinya berkisar dua tahun penjara serta denda USD5.000 hingga USD10.000.
Selanjutnya, keempat, ketika salah satu orang tua membawa anak ke luar negeri tanpa sepengetahuan maupun seizin orang tua lainnya, ini akan mempersulit upaya mempertemukan kembali anak dengan orang tuanya yang terpisah tersebut. Situasi seperti ini akan dapat ditanggulangi apabila Indonesia menjadi negara pihak dalam The Hague Abduction Convention.
Konvensi ini merupakan treaty (perjanjian) yang ditujukan untuk melindungi anak dari efekefek membahayakan yang diakibatkan oleh penculikan lintas negara oleh orang tua si anak sendiri. Treaty ini mendorong pengembalian anak ke negara asal mereka, sekaligus menata dan menjamin terealisasinya hak-hak orang tua untuk bertemu dengan darah daging mereka. Wallahualam.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
INSTRUKSI Presiden Nomor 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental yang diluncurkan pekan pertama Desember 2016 menggenapi dua kado akhir tahun bagi dunia perlindungan anak di Tanah Air.
Sebelumnya, tak terpaut jauh, Undang-Undang Nomor 17/2016 tentang Revisi Kedua Undang-Undang Perlindungan Anak juga diresmikan. Inpres Nomor 12/2016, setali tiga uang dengan penjabaran Nawacita, juga menempatkan masalah perlindungan anak pada ranah hukum. Yaitu, di poin (h) pada Program Gerakan Indonesia Tertib: menumbuhkan lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan komunitas yang ramah dan bebas kekerasan. Poin tersebut berada di bawah koordinasi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan.
Inpres tersebut merupakan sandaran ideal bagi penyikapan terhadap sejumlah kejadian mengenaskan sekaligus unik yang menggegerkan jagat berita daring dan media sosial di pengujung akhir 2016 ini.
Bukan kejadian berupa kasus-kasus yang sudah lazim menyedot perhatian publik, semisal kejahatan terhadap anak maupun anak yang sakit parah lalu meninggal dunia. Melainkan, peristiwa yang betapa pun merupakan bentuk kegagalan perlindungan anak, tetapi hingga kini masih cenderung ditanggapi secara kikuk oleh otoritas penegakan hukum nasional.
Seorang bocah berusia 3,5 tahun hilang. Dikabarkan, bocah tersebut dijemput paksa oleh para penculik di tempat umum. Polisi melacak hingga ke Banyumas. Sekian bulan silam, peristiwa serupa juga berlangsung di pusat perbelanjaan.
Terekam kamera, anak kecil yang tengah berjalan di belakang ibunya itu tiba-tiba diringkus oleh sejumlah orang dewasa. Anak itu juga disebut-sebut telah menjadi korban penculikan.
Namun, tak lama setelah kejadian, anak-anak tersebut berhasil ditemukan. Ke gemparan berakhir seiring dengan terungkapnya rahasia bahwa pihak yang berada di belakang aksi-aksi tersebut tak lain adalah orang tua kandung anak-anak itu sendiri.
Latar belakang peristiwa-peristiwa semacam itu adalah memburuknya relasi suami dan istri. Baik setelah bercerai maupun menjelang perceraian, salah satu orang tua menutup akses orang tua yang lain untuk bertemu darah daging mereka.
Tak kuasa menahan rindu, orang tua yang diasingkan tersebut memutuskan mengambil anak tanpa sepengetahuan (mantan) pasangannya. Panik, orang tua yang kehilangan anak bergegas melapor ke polisi dan menyebar warta dengan judul “anak saya diculik”.
Masuk akal untuk memprediksi bahwa seiring terus meningginya angka perceraian pada 2017 nanti, dengan kuasa asuh atas anak menjadi salah satu masalah pelik, kejadian-kejadian penculikan semacam di atas akan kian sering berlangsung.
Di sejumlah negara, perbuatan seperti itu disetarakan dengan tindak penculikan sehingga dikenal terma penculikan oleh orang tua (parental abduction, parental kidnapping, custodial interference). Sangat mungkin di Indonesia menggandeng “penculikan” dan “orang tua” akan mengundang kerut dahi karena penculikan biasanya diasosiasikan dengan aksi kejahatan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain yang tidak memiliki pertalian darah secara dekat.
Beberapa penyikapan yang perlu diambil adalah; Pertama, harus digarisbawahi bahwa kepemilikan akan hak asuh tidak menjustifikasi orang tua untuk mengasingkan anak dari orang tuanya yang lain.
Untuk mencegah terjadi pengasingan tersebut, hakim patut menambahkan ke dalam putusannya satu poin tambahan. Yaitu, mewajibkan kedua orang tua untuk memberikan laporan berkala perihal disediakannya dan dimanfaatkannya akses anak untuk tetap menjalin tali asih dengan orang tua yang tidak mendapat hak asuh. Integrasi antara kerja lembaga peradilan dan lembaga kesejahteraan sosial juga dapat dibangun untuk keperluan pelaporan maupun pemantauan tersebut.
Kedua, manakala diketahui bahwa pemutusan relasi telah terjadi, lembaga peradilan tidak boleh tinggal diam. Agar marwah Dewi Yustisia tetap terpelihara dan demi menjamin terejawantahkannya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan penutupan akses harus dipandang sebagai pelecehan terhadap putusan pengadilan.
Secara spesifik, sebagaimana praktik yang berlangsung di banyak negara, pengabaian semacam itu dapat diperkarakan dengan tuduhan penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court). Ini menjadi agenda legislasi ke depan, yakni menyusun perundang-undangan tentang penghinaan terhadap lembaga peradilan.
Paralel dengan itu, ketiga, tindakan pengasingan terhadap anak harus disikapi setidaknya sebagai bentuk kekerasan psikis dan sosial yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak yang berada dalam kuasa asuhnya. Dan, itu merupakan persoalan pidana.
Apalagi, karena UU Perlindungan Anak (UU PA) mencantumkan klausa “orang dekat” sebagai syarat pemberatan sanksi bagi pelaku, penculikan oleh orang tua pun semestinya bisa disikapi sebagai bentuk tindak pidana oleh orang dekat.
Konsekuensinya, agar sistem peradilan pidana lebih memiliki kemantapan hati dalam melindungi hak anak, revisi UUPA dan UU KDRT maupun penyusunan UU baru mengenai pengasuhan patut mengelaborasi lebih konkret dan deskriptif pasal-pasal tentang penganiayaan semacam itu.
UU yang secara spesifik membahas ihwal penculikan oleh orang tua juga bukan sesuatu yang tanpa preseden. Walau banyak pihak menganggap peristiwa custodial interference sebagai masalah perdata, seriusnya dampak yang terjadi pada anak mendorong sekian banyak negara memberlakukan pemidanaan terhadap orang tua yang menculik anak mereka sendiri.
Di Amerika Serikat, sebagai misal, Distrik Kolombia dan puluhan negara bagian lainnya memiliki peraturan hukum yang memidana pelaku. Ancaman sanksinya berkisar dua tahun penjara serta denda USD5.000 hingga USD10.000.
Selanjutnya, keempat, ketika salah satu orang tua membawa anak ke luar negeri tanpa sepengetahuan maupun seizin orang tua lainnya, ini akan mempersulit upaya mempertemukan kembali anak dengan orang tuanya yang terpisah tersebut. Situasi seperti ini akan dapat ditanggulangi apabila Indonesia menjadi negara pihak dalam The Hague Abduction Convention.
Konvensi ini merupakan treaty (perjanjian) yang ditujukan untuk melindungi anak dari efekefek membahayakan yang diakibatkan oleh penculikan lintas negara oleh orang tua si anak sendiri. Treaty ini mendorong pengembalian anak ke negara asal mereka, sekaligus menata dan menjamin terealisasinya hak-hak orang tua untuk bertemu dengan darah daging mereka. Wallahualam.
(poe)