Memaknai Fatwa MUI
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel,
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak intervensi dari pihak mana pun terkait penerbitan fatwa keagamaan. Sebelumnya pihak kepolisian meminta agar dalam mengeluarkan fatwa, MUI selalu berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Permintaan Polri bisa dipahami sebagai pembatasan hak MUI untuk memberikan fatwa. Padahal, sebagai wadah berhimpunnya para ulama, MUI memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Menurut MUI, sepanjang fatwa keagamaan berlandaskan semangat menjaga ajaran agama, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Apalagi jika fatwa MUI dikeluarkan dalam konteks menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kebinekaan, toleransi, dan kerukunan sosial. Sikap tegas MUI dikemukakan untuk merespons kontroversi fatwa tentang larangan penggunaan atribut agama lain bagi muslim. Itu terjadi terutama pada pekerja muslim yang bekerja di perusahaan milik nonmuslim.
Fatwa MUI bisa dipahami sebagai usaha menjaga akidah umat. Apalagi dalam kehidupan bermasyarakat masih sering terjadi sinkretisme agama, terutama tatkala merayakan harihari besar keagamaan.
Dengan mengatasnamakan toleransi, umat Islam secara terpaksa atau sukarela sering menggunakan atribut agama lain. Penggunaan atribut agama lain inilah yang dinilai MUI bisa mengaburkan identitas keberagamaan seseorang.
Karena itu, MUI memberi fatwa haram penggunaan atribut agama lain bagi umat Islam. Ironisnya, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) menjadikan fatwa MUI sebagai dasar melakukan sweeping.
Tidak jarang tindakan sweeping itu disertai kekerasan. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara tegas meminta oknum ormas keagamaan menghentikan tindakan sweeping.
Itu karena tindakan sweeping berarti pengambilalihan fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum (KORAN SINDO, 22/12). Pernyataan JK penting untuk meredakan suasana agar tidak ada gangguan terhadap umat kristiani yang sedang merayakan Natal. Jika gerakan sweeping terus terjadi, konflik antarumat beragama sulit dihindari. Sikap tegas MUI menolak untuk diintervensi pihak mana pun layak diapresiasi.
Itu berarti MUI berusaha benar-benar mandiri. Untuk menjaga semangat kemandirian organisasi sebaiknya Ketua MUI KH Maruf Amin belajar dari pengalaman Buya HAMKA. Saat ditunjuk sebagai ketua MUI yang pertama, Buya HAMKA mengusulkan agar pengurus MUI tidak digaji. Buya HAMKA tentu tidak asal berbicara.
Buya HAMKA ingin menjaga independensi ulama sebagai pengawal akhlak bangsa. Dengan tidak menerima fasilitas negara, MUI bisa memainkan tugas dakwah amar makruf nahi munkar. MUI juga bisa menjadi kekuatan checks and balances yang efektif bagi pemerintah. Gagasan Buya HAMKA sangat relevan untuk menjadikan MUI bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan.
Pesan ini penting karena setiap menjelang pemilu, para ulama biasanya terbelah dalam berbagai kelompok kepentingan. Mereka bahkan memobilisasi umat untuk kepentingan politik tertentu. Terbelahnya ulama, apalagi disertai tindakan provokatif, tentu sangat disayangkan. Sebab, sifat tersebut jauh dari karakter ulama sebagai ahli agama.
Dalam sebuah Hadits Nabi SAW, ulama juga disebut sebagai pewaris para nabi. Dengan menjadi organisasi yang benar-benar mandiri, MUI secara maksimal bisa terlibat dalam gerakan mempromosikan Islam mazhab tengah (al-wasathiyyah). Karakter Islam mazhab tengah selalu dicirikan dengan sikap moderat, terbuka, toleran, saling menghormati, dan ramah terhadap perbedaan.
Dengan begitu, Islam Indonesia bisa menjadi laboratorium dunia untuk kehidupan umat yang toleran dan saling menghormati. Islam Indonesia sangat potensial menjadi teladan bagi dunia. Itu karena Islam Indonesia jauh dari konflik teologis dan politik yang meruncing. Islam Indonesia juga tidak memiliki beban sejarah.
Karena itu, pembaru muslim ternama asal Pakistan yang menetap di Amerika Serikat, Fazlurrahman, pernah menyatakan bahwa umat Islam Indonesia berpotensi menjadi pemicu kebangkitan dunia Islam. Pernyataan ini seharusnya menjadi penyemangat untuk menampilkan wajah Islam Indonesia yang jauh dari kekerasan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, kita selayaknya berbangga sebab banyak pemimpin negara di dunia terkagumkagum melihat bangsa Indonesia yang begitu ramah. Sebagian pemimpin dunia bahkan tidak ragu menyebut Indonesia sebagai laboratorium dunia untuk kehidupan masyarakat yang pluralistik.
Itu semua karena Indonesia dipandang sukses mengatasi problem kemajemukan. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang menjadi rahasia kesuksesan Indonesia mengatasi problem kemajemukan. Pertama, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Sejauh ini Pancasila sukses menjadi perekat keragaman etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan.
Dengan moto nasional Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia bisa menjaga NKRI. Kedua, mayoritas muslim Nusantara menunjukkan wajah yang ramah terhadap perbedaan. Pada konteks ini, Indonesia seharusnya berterima kasih pada ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU yang terus mendakwahkan Islam moderat.
Dua ormas tersebut sukses menyandingkan ajaran Islam dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kemodernan. Hasilnya, wajah Islam Indonesia menjadi sangat toleran tatkala berhadapan dengan problem kemajemukan. Di tengah kondisi negara yang sangat majemuk inilah, posisi MUI sangat penting.
MUI harus selalu hadir merumuskan solusi problem radikalisme bernuansa perbedaan agama dan paham keagamaan. Pada konteks itulah MUI seharusnya memberikan fatwa yang sejuk dan menenteramkan kehidupan umat. Fatwa MUI harus memperkuat corak keagamaan bermazhab tengah yang inklusif.
MUI juga tidak boleh terlalu mudah mengeluarkan fatwa keagamaan bernada vonis sesat dan menyesatkan. Apalagi jika fatwa itu belum melalui kajian yang komprehensif. Padahal, sejumlah ormas menjadikan fatwa MUI sebagai dasar tindakan sweeping yang disertai kekerasan.
Dosen UIN Sunan Ampel,
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak intervensi dari pihak mana pun terkait penerbitan fatwa keagamaan. Sebelumnya pihak kepolisian meminta agar dalam mengeluarkan fatwa, MUI selalu berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Permintaan Polri bisa dipahami sebagai pembatasan hak MUI untuk memberikan fatwa. Padahal, sebagai wadah berhimpunnya para ulama, MUI memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Menurut MUI, sepanjang fatwa keagamaan berlandaskan semangat menjaga ajaran agama, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Apalagi jika fatwa MUI dikeluarkan dalam konteks menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kebinekaan, toleransi, dan kerukunan sosial. Sikap tegas MUI dikemukakan untuk merespons kontroversi fatwa tentang larangan penggunaan atribut agama lain bagi muslim. Itu terjadi terutama pada pekerja muslim yang bekerja di perusahaan milik nonmuslim.
Fatwa MUI bisa dipahami sebagai usaha menjaga akidah umat. Apalagi dalam kehidupan bermasyarakat masih sering terjadi sinkretisme agama, terutama tatkala merayakan harihari besar keagamaan.
Dengan mengatasnamakan toleransi, umat Islam secara terpaksa atau sukarela sering menggunakan atribut agama lain. Penggunaan atribut agama lain inilah yang dinilai MUI bisa mengaburkan identitas keberagamaan seseorang.
Karena itu, MUI memberi fatwa haram penggunaan atribut agama lain bagi umat Islam. Ironisnya, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) menjadikan fatwa MUI sebagai dasar melakukan sweeping.
Tidak jarang tindakan sweeping itu disertai kekerasan. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara tegas meminta oknum ormas keagamaan menghentikan tindakan sweeping.
Itu karena tindakan sweeping berarti pengambilalihan fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum (KORAN SINDO, 22/12). Pernyataan JK penting untuk meredakan suasana agar tidak ada gangguan terhadap umat kristiani yang sedang merayakan Natal. Jika gerakan sweeping terus terjadi, konflik antarumat beragama sulit dihindari. Sikap tegas MUI menolak untuk diintervensi pihak mana pun layak diapresiasi.
Itu berarti MUI berusaha benar-benar mandiri. Untuk menjaga semangat kemandirian organisasi sebaiknya Ketua MUI KH Maruf Amin belajar dari pengalaman Buya HAMKA. Saat ditunjuk sebagai ketua MUI yang pertama, Buya HAMKA mengusulkan agar pengurus MUI tidak digaji. Buya HAMKA tentu tidak asal berbicara.
Buya HAMKA ingin menjaga independensi ulama sebagai pengawal akhlak bangsa. Dengan tidak menerima fasilitas negara, MUI bisa memainkan tugas dakwah amar makruf nahi munkar. MUI juga bisa menjadi kekuatan checks and balances yang efektif bagi pemerintah. Gagasan Buya HAMKA sangat relevan untuk menjadikan MUI bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan.
Pesan ini penting karena setiap menjelang pemilu, para ulama biasanya terbelah dalam berbagai kelompok kepentingan. Mereka bahkan memobilisasi umat untuk kepentingan politik tertentu. Terbelahnya ulama, apalagi disertai tindakan provokatif, tentu sangat disayangkan. Sebab, sifat tersebut jauh dari karakter ulama sebagai ahli agama.
Dalam sebuah Hadits Nabi SAW, ulama juga disebut sebagai pewaris para nabi. Dengan menjadi organisasi yang benar-benar mandiri, MUI secara maksimal bisa terlibat dalam gerakan mempromosikan Islam mazhab tengah (al-wasathiyyah). Karakter Islam mazhab tengah selalu dicirikan dengan sikap moderat, terbuka, toleran, saling menghormati, dan ramah terhadap perbedaan.
Dengan begitu, Islam Indonesia bisa menjadi laboratorium dunia untuk kehidupan umat yang toleran dan saling menghormati. Islam Indonesia sangat potensial menjadi teladan bagi dunia. Itu karena Islam Indonesia jauh dari konflik teologis dan politik yang meruncing. Islam Indonesia juga tidak memiliki beban sejarah.
Karena itu, pembaru muslim ternama asal Pakistan yang menetap di Amerika Serikat, Fazlurrahman, pernah menyatakan bahwa umat Islam Indonesia berpotensi menjadi pemicu kebangkitan dunia Islam. Pernyataan ini seharusnya menjadi penyemangat untuk menampilkan wajah Islam Indonesia yang jauh dari kekerasan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, kita selayaknya berbangga sebab banyak pemimpin negara di dunia terkagumkagum melihat bangsa Indonesia yang begitu ramah. Sebagian pemimpin dunia bahkan tidak ragu menyebut Indonesia sebagai laboratorium dunia untuk kehidupan masyarakat yang pluralistik.
Itu semua karena Indonesia dipandang sukses mengatasi problem kemajemukan. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang menjadi rahasia kesuksesan Indonesia mengatasi problem kemajemukan. Pertama, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Sejauh ini Pancasila sukses menjadi perekat keragaman etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan.
Dengan moto nasional Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia bisa menjaga NKRI. Kedua, mayoritas muslim Nusantara menunjukkan wajah yang ramah terhadap perbedaan. Pada konteks ini, Indonesia seharusnya berterima kasih pada ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU yang terus mendakwahkan Islam moderat.
Dua ormas tersebut sukses menyandingkan ajaran Islam dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kemodernan. Hasilnya, wajah Islam Indonesia menjadi sangat toleran tatkala berhadapan dengan problem kemajemukan. Di tengah kondisi negara yang sangat majemuk inilah, posisi MUI sangat penting.
MUI harus selalu hadir merumuskan solusi problem radikalisme bernuansa perbedaan agama dan paham keagamaan. Pada konteks itulah MUI seharusnya memberikan fatwa yang sejuk dan menenteramkan kehidupan umat. Fatwa MUI harus memperkuat corak keagamaan bermazhab tengah yang inklusif.
MUI juga tidak boleh terlalu mudah mengeluarkan fatwa keagamaan bernada vonis sesat dan menyesatkan. Apalagi jika fatwa itu belum melalui kajian yang komprehensif. Padahal, sejumlah ormas menjadikan fatwa MUI sebagai dasar tindakan sweeping yang disertai kekerasan.
(poe)