Agama di Ruang Publik
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
SEBELUM era kemerdekaan, di Nusantara ini terdapat pusat-pusat keagamaan yang kaya dengan tradisinya yang masih hidup sampai hari ini. Yang dominan tentu saja Islam mengingat jumlah pemeluknya terbesar.
Makanya logis saja jika simbol, tokoh, dan aktivitas keagamaan memenuhi ruang publik, khususnya Islam. Terlebih sekarang ketika iklim kebebasan berekspresi semakin terbuka.
Ada organisasi keagamaan yang sikap dasarnya antisistem demokrasi justru mereka paling efektif dan vokal memanfaatkan instrumen demokrasi untuk berbicara di ruang publik guna menyebarkan gagasannya. Bahkan leluasa menggerakkan massanya melakukan demonstrasi, sebuah aksi yang tak akan bisa dilakukan di negara monarki.
Dalam konteks kehidupan beragama, Indonesia tidak mengenal pemisahan antara ruang negara dan ruang publik. Agama bukanlah urusan privat semata seperti di Barat, tetapi aktivitas dan ekspresi keberagamaan juga aktif mewarnai ruang publik, bahkan masuk ke panggung Istana dengan fasilitas negara.
Dengan kata lain, ruang publik menjadi wilayah yang kadang diperebutkan oleh simbol-simbol negara dan agama. Di sana terdapat rujukan hukum adat, hukum agama dan hukum positif yang kesemuanya bisa tumbuh sejalan dan harmonis, tetapi juga potensial menimbulkan benturan dan konflik loyalitas dari warga masyarakat.
Belakangan muncul gejala segregasi sosial yang hendak membenturkan paradigma keumatan dan kewarganegaraan (citizenship). Yang pertama hendak menempatkan hukum agama di atas hukum negara (hukum positif), yang kedua menempatkan hukum agama subordinat pada hukum positif ketika memasuki ruang publik.
Bagi sekelompok orang, bahkan ada yang memandang pemerintahan yang ada itu thaghut atau berhala karena menempatkan hukum positif di atas kitab suci.
Wacana Politik dan Agama
Dalam ranah pribadi dan keluarga, bisa saja seseorang menempatkan hukum agama paling tinggi. Tapi begitu seseorang masuk jalan raya, hukum negara yang berkuasa, polisi sebagai pengawasnya.
Dalam kehidupan sosial, wacana keagamaan akhir-akhir ini semakin memenuhi ruang publik seperti di mimbar televisi, ceramah-ceramah, dan media sosial (medsos) berbasis internet. Orang pun merasa paling akrab dengan medsos sehingga penggunanya mengalami perkembangan luar biasa.
Namun sangat disayangkan, banyak isinya yang provokatif, sampah, bahkan ada yang berimplikasi memecah-belah persahabatan. Terutama ketika agama dikaitkan dengan aspirasi pilihan-pilihan politik, lalu menjadi sulit dibedakan antara medsos yang berisi siraman rohani, pencerahan iman, perluasan ilmu dan provokasi politik.
Mengenai berkembangnya simbol agama di ruang publik, yang juga fenomenal adalah aksi dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2 Desember 2016.
Uniknya, di medsos pun terjadi diskusi mengenai berapa kira-kira jumlah pesertanya. Ada yang menyebutnya di atas 7 juta, ada yang menaksir hanya sekitar 3 juta.
Ada lagi yang membahas, forum itu tujuannya apa, tercapai apakah tidak, dan siapa saja aktor-aktornya? Satu orang mengatakan, adalah Presiden yang akhirnya jadi bintang di forum itu.
Lalu muncul bantahan, Habib Rizieq dkk yang menang karena sanggup menghadirkan Presiden dan Wakil Presiden. Suara lain menyahut, itu semua karena keberhasilan Kapolri yang berhasil mengubah dari format demonstrasi menjadi aksi superdamai doa untuk bangsa.
Demikianlah, sampai menjelang Pilkada 2017 dan Pemilu 2019 nanti, diduga isu agama akan selalu dibawa-bawa ke ranah politik untuk menggalang dukungan massa. Dan sifat massa selalu cenderung emosional.
Soliditas dan kekohesifan akan menguat ketika tampil musuh bersama layaknya pertandingan sepak bola klub Bandung melawan Jakarta. Atau kesebelasan Malang melawan Surabaya.
Tapi pilkada tentu tidak sesederhana pertandingan bola. Belakangan ini segregasi sosial berdasarkan sentimen agama selalu saja muncul sehingga dikhawatirkan hal ini akan merusak harmoni sosial yang telah lama tumbuh dan terjaga.
Di Indonesia, hubungan agama, negara, dan politik memang dinamis. Tapi kalau kita tidak bijak dan pandai-pandai menjaga keseimbangan serta tahu batas, situasi ini bisa menghambat dinamika pembangunan dan reformasi.
Kita dibuat sibuk oleh isu agama dan hukum. Semua persoalan bangsa seakan hanya merupakan persoalan agama dan hukum, sedangkan aspek perbaikan ekonomi, pendidikan, dan sains terpinggirkan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
SEBELUM era kemerdekaan, di Nusantara ini terdapat pusat-pusat keagamaan yang kaya dengan tradisinya yang masih hidup sampai hari ini. Yang dominan tentu saja Islam mengingat jumlah pemeluknya terbesar.
Makanya logis saja jika simbol, tokoh, dan aktivitas keagamaan memenuhi ruang publik, khususnya Islam. Terlebih sekarang ketika iklim kebebasan berekspresi semakin terbuka.
Ada organisasi keagamaan yang sikap dasarnya antisistem demokrasi justru mereka paling efektif dan vokal memanfaatkan instrumen demokrasi untuk berbicara di ruang publik guna menyebarkan gagasannya. Bahkan leluasa menggerakkan massanya melakukan demonstrasi, sebuah aksi yang tak akan bisa dilakukan di negara monarki.
Dalam konteks kehidupan beragama, Indonesia tidak mengenal pemisahan antara ruang negara dan ruang publik. Agama bukanlah urusan privat semata seperti di Barat, tetapi aktivitas dan ekspresi keberagamaan juga aktif mewarnai ruang publik, bahkan masuk ke panggung Istana dengan fasilitas negara.
Dengan kata lain, ruang publik menjadi wilayah yang kadang diperebutkan oleh simbol-simbol negara dan agama. Di sana terdapat rujukan hukum adat, hukum agama dan hukum positif yang kesemuanya bisa tumbuh sejalan dan harmonis, tetapi juga potensial menimbulkan benturan dan konflik loyalitas dari warga masyarakat.
Belakangan muncul gejala segregasi sosial yang hendak membenturkan paradigma keumatan dan kewarganegaraan (citizenship). Yang pertama hendak menempatkan hukum agama di atas hukum negara (hukum positif), yang kedua menempatkan hukum agama subordinat pada hukum positif ketika memasuki ruang publik.
Bagi sekelompok orang, bahkan ada yang memandang pemerintahan yang ada itu thaghut atau berhala karena menempatkan hukum positif di atas kitab suci.
Wacana Politik dan Agama
Dalam ranah pribadi dan keluarga, bisa saja seseorang menempatkan hukum agama paling tinggi. Tapi begitu seseorang masuk jalan raya, hukum negara yang berkuasa, polisi sebagai pengawasnya.
Dalam kehidupan sosial, wacana keagamaan akhir-akhir ini semakin memenuhi ruang publik seperti di mimbar televisi, ceramah-ceramah, dan media sosial (medsos) berbasis internet. Orang pun merasa paling akrab dengan medsos sehingga penggunanya mengalami perkembangan luar biasa.
Namun sangat disayangkan, banyak isinya yang provokatif, sampah, bahkan ada yang berimplikasi memecah-belah persahabatan. Terutama ketika agama dikaitkan dengan aspirasi pilihan-pilihan politik, lalu menjadi sulit dibedakan antara medsos yang berisi siraman rohani, pencerahan iman, perluasan ilmu dan provokasi politik.
Mengenai berkembangnya simbol agama di ruang publik, yang juga fenomenal adalah aksi dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2 Desember 2016.
Uniknya, di medsos pun terjadi diskusi mengenai berapa kira-kira jumlah pesertanya. Ada yang menyebutnya di atas 7 juta, ada yang menaksir hanya sekitar 3 juta.
Ada lagi yang membahas, forum itu tujuannya apa, tercapai apakah tidak, dan siapa saja aktor-aktornya? Satu orang mengatakan, adalah Presiden yang akhirnya jadi bintang di forum itu.
Lalu muncul bantahan, Habib Rizieq dkk yang menang karena sanggup menghadirkan Presiden dan Wakil Presiden. Suara lain menyahut, itu semua karena keberhasilan Kapolri yang berhasil mengubah dari format demonstrasi menjadi aksi superdamai doa untuk bangsa.
Demikianlah, sampai menjelang Pilkada 2017 dan Pemilu 2019 nanti, diduga isu agama akan selalu dibawa-bawa ke ranah politik untuk menggalang dukungan massa. Dan sifat massa selalu cenderung emosional.
Soliditas dan kekohesifan akan menguat ketika tampil musuh bersama layaknya pertandingan sepak bola klub Bandung melawan Jakarta. Atau kesebelasan Malang melawan Surabaya.
Tapi pilkada tentu tidak sesederhana pertandingan bola. Belakangan ini segregasi sosial berdasarkan sentimen agama selalu saja muncul sehingga dikhawatirkan hal ini akan merusak harmoni sosial yang telah lama tumbuh dan terjaga.
Di Indonesia, hubungan agama, negara, dan politik memang dinamis. Tapi kalau kita tidak bijak dan pandai-pandai menjaga keseimbangan serta tahu batas, situasi ini bisa menghambat dinamika pembangunan dan reformasi.
Kita dibuat sibuk oleh isu agama dan hukum. Semua persoalan bangsa seakan hanya merupakan persoalan agama dan hukum, sedangkan aspek perbaikan ekonomi, pendidikan, dan sains terpinggirkan.
(poe)