Merangkai Kembali Keindonesiaan Kita

Senin, 26 Desember 2016 - 10:13 WIB
Merangkai Kembali Keindonesiaan Kita
Merangkai Kembali Keindonesiaan Kita
A A A
Mohammad Jibriel Avessina
Antropolog politik pada Center for Regulation Policy and Governance

BEBERAPA minggu yang lalu, ratusan ribu jiwa massa yang tergabung dalam kelompok Islam turun ke jalan pada aksi 4 November 2016.

Mereka berdemonstrasi menyalurkan hak politiknya ke dalam koridor demokrasi, secara tertib, bertanggung jawab dan damai. Kelompok-kelompok sosial yang sama telah kembali turun ke jalan pada 2 Desember dan melakukan ibadah bersama dengan jumlah massa yang relatif jauh lebih besar. Demonstrasi tersebut telah berproses menjadi semacam pola gerakan sosial yang sama sekali baru.

Kelompok Islam, baik tua ataupun muda, secara sukarela meluangkan waktunya meninggalkan aktivitas sehari hari sejenak untuk berkumpul bersama menyampaikan aspirasi dan ekspresi dalam dua kesempatan tersebut yakni gerakan 411 dan gerakan 212. Dalam hal ini dimunculkan ada generalisasi tudingan yang muncul dalam arena publik, bahwa gerakan tersebut seakan-akan seluruhnya adalah kelompok yang bernuansa sektarian.

Dengan demikian, gerakan sosial ini dianggap berbahaya serta berpotensi merusak kebinekaan dalam publik. Pendapat semacam itu, sayangnya bersandar pada basis ketakutan yang bias dan data yang tidak jelas, hingga tulisan ini ditulis, wacana tersebut pun tidak pernah terbukti asas kebenarannya.

”Dua Wajah” Kebinekaan
Namun, saya dapat memahami bagaimana kecemasan tersebut terjadi. Ketegangan-ketegangan sosial yang hadir belakangan ini semakin sering kita menemukan penilaian penilaian yang bias dan cenderung irasional dalam wacana di tengah-tengah masyarakat. Telah sejak lama kita kehilangan jembatan dalam mewujudkan komitmen bagi rasa kebinekaan atau kemajemukan di sekitar kita, setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab memudarnya komitmen kebinekaan kita.

Pertama, belakangan masyarakat telah kehilangan ketulusan dalam menjalankan komitmen mewujudkan kebinekaan bersama. Kebinekaan di antara kita kerap dipraktikkan dengan standar ganda, dalam satu sisi kita menepuk dada berkomitmen masyarakat yang terbuka (Open Society) dengan prinsip menjunjung tinggi kesetaraan berbasis multiidentitas, penghargaan atas hak asasi universal bebas berekspresi, berpikir dan merdeka.

Tetapi kita kerap berlaku tidak adil. Kita kerap merendahkan pilihan sebagian elemen di masyarakat menjalankan ekspresi konservatif, baik sebagai konservatisme sosial dan agama.

Pilihan menjalankan ekspresi konservatif kerap dilengkapi tuduhan dan prasangka sebagai pilihan yang sektarian yang mengancam kebinekaan bangsa. Kita tidak lagi tulus dalam menjunjung tinggi kebinekaan di antara kita.

Padahal, kunci dari mewujudkan kebinekaan adalah terwujudnya kepercayaan yang kuat, bersikap adil bebas atas nuansa prasangka dan stigma, serta menghargai seluruh ekspresi kelompok sosial di masyarakat, termasuk ekspresi yang paling konservatif sekalipun. Dalam kata lain: kita harus berpikir adil sejak dalam pikiran.

Sebagai komitmen atas demokrasi, sepatutnya kehadiran gerakan sosial berbasis ekspresi konservatisme Islam tentu perlu dihormati, dihargai serta diapresiasi sebagai bagian dari kebinekaan aspirasi yang hadir di masyarakat.

Kedua, belakangan ini tema kebinekaan kini telah dipolitisi, direduksi derajatnya dari makna yang agung sebagai pemersatu bangsa, kini menjadi propaganda politik partisan. Sebagai konsekuensinya, kebinekaan kehilangan substansinya, serta muncul sebagai jargon politik belaka.

Kebinekaan dilekatkan, identik dengan klaim dalam kelompok politik tertentu saja, dimainkan sebagai ”strategi ofensif politik ” untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya.

Dalam konteks pertarungan politik, tentu saja hal semacam itu adalah hal yang wajar tetapi ada harga mahal yang harus dibayar. Komitmen kebinekaan semakin memudar, jurang-jurang perbedaan semakin meruncing, rasa curiga saling ketidakpercayaan semakin meningkat.

Sejatinya, rajutan kebhinnekaan sebaiknya dirawat dengan keikhlasan tanpa embel-embel muatan politis apa pun. Bagi saya, kebinekaan muncul dalam rangkaian jembatan kultural, hadir dalam kemajemukan pintu dialog, hingga menghasilkan ruang-ruang bersama.

Kebinekaan dan Keadilan Sosial
Barangkali, kita lupa bahwa kebinekaan baru lengkap bila diimbangi dengan pengakuan atas keadilan sosial yang utuh. Kita telah lama mematikan rasa empati kita atas praktik ketidakadilan sosial di sekitar kita.

Kita telah lama membiarkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang cenderung tidak ramah atas kehidupan kaum yang lemah. kita mungkin alpa untuk memahami puluhan ribu kaum miskin kota dipindahkan, tercerabut dalam akar sejarah, budaya maupun mata pencahariannya, dipaksa untuk melanjutkan hidup dalam rumah-rumah susun tinggi nan menjulang.

Kita mungkin abai, atas nama pembangunan pulau-pulau baru, ribuan nelayan kesulitan kehidupannya,mata pencahariannya terancam hilang. Kita mungkin terlenakan, sibuk terkagum kagum oleh taman-taman yang mewah, ruang-ruang hijau yang indah, meremehkan kenyataan bahwa atas nama pembangunan. Kita mungkin telat menyadari, bahwa kebijakan-kebijakan afirmatif proteksi perlindungan eksistensi kaum miskin mutlak diperlukan untuk menjamin keadaban publik.

Kita telah lama membiarkan kaum miskin untuk menanggung beban, untuk dipinggirkan sebagai ”konsekuensi” atas pembangunan kota yang tak ramah, telah lama mereka dikorbankan atas nama kemajuan dan perkembangan pembangunan. Terakhir, kita telah lama khilaf bahwa menjalankan kebinekaan saja adalah hampa, tanpa semangat keadilan sosial sejati.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9367 seconds (0.1#10.140)