Hilangnya Fungsi Eksklusif Pers sebagai Penjaga Pintu
A
A
A
Jamalul Insan
Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
MUNGKIN Anda pernah menerima kiriman pesan atau gambar grafis dengan judul ”Saat Kamu Dapat Berita” melalui grup perbincangan WhasApp atau media sosial. Isinya mengenai bagaimana kita menyikapi suatu informasi yang didapat agar tak terjebak dalam menyebarkan hoax.
Sejak beberapa waktu lalu, pesan yang dibuat dalam beberapa versi visual ini terus menyebar. Pembuat pesan ini patut diacungi jempol karena dengan sadar mewujudkan kepeduliannya kepada sesama anggota masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang diterimanya.
Apalagi, belakangan ini pihak kepolisian sedang getol-getolnya menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat mereka yang disangka menyebarkan informasi palsu (fake news) atau informasi bohong atau hoax. Tidak dapat disangkal era digital saat ini telah mendemokratisasi penyebaran informasi. Setiap saat jutaan informasi memenuhi ruang publik, baik yang berasal dari media mainstream maupun dari media sosial.
Akibat itu, masyarakat tidak lagi bergantung sepenuhnya pada media atau jurnalis yang selama ini dikenal sebagai penjaga pintu (gate keeper). Mereka memilih informasi sesuai kebutuhan dan keingintahuannya, tidak lagi sekadar menerima apa saja yang disajikan media. Masyarakat bahkan dapat secara aktif merespons setiap informasi yang didapatnya— apakah melalui kolom komentar di media online ataupun menuliskannya lewat media sosial.
Minggu pagi saya menerima pertanyaan melalui WhatsApp dari seorang jurnalis senior yang sedang melakukan survei sederhana. ”Jika Anda pernah melakukan share link berita pers melalui media sosial, berapa berita yang Anda share dengan hanya membaca judul tanpa terlebih dahulu membaca beritanya?”
Meski belum sempat berkomunikasi dengan pengirimnya, pertanyaan yang disebar kepada para jurnalis ini, saya yakin untuk mencari gambaran bagaimana perilaku masyarakat—khususnya para jurnalis dalam berinteraksi dengan media sosial.
Mengingat ada media dan jurnalis yang menjadikan media sosial sebagai sandaran utama dalam pembuatan berita ataupun kebiasaan menggunakan media sosial sebagai wadah menyalurkan informasi yang didapatnya.
Kuncinya adalah Verifikasi
Sebenarnya ”pesan saat kamu dapat berita” merupakan prinsip dasar kerja jurnalis dan media. Salah satu bagian penting dari buku sembilan elemen jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yakni elemen ketiga, yang menegaskan bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Dengan disiplin jurnalis akan mampu menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi guna mendapatkan informasi yang akurat.
Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni sehingga jurnalisme akan meliput semua kepentingan masyarakat, bukan hanya karena yang menarik perhatian pemirsa atau pendengar semata.
Karena itu, bila masyarakat saja dianjurkan untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang diterimanya, tentu untuk jurnalis atau media tanggung jawab menyaring dan disiplin verifikasi menjadi mutlak dijalankan, tanpa alasan.
Tulisan Husni Arifin (KORAN SINDO, 18 November 2016) soal ancaman ”media mirip pers” di ruang digital sudah terjadi bila media arus utama tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Artinya bila para jurnalis dan media mainstream membiarkan dirinya bukan hanya terpapar berita sampah dan berita palsu, melainkan merelakan ruang idealismenya dijajah dengan ikut menyebarkan dan melakukan amplifikasi informasi yang tidak terverifikasi kebenarannya.
Mungkin belum hilang dari ingatan kita, saat terjadi ledakan dan kasus baku tembak di kawasan Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2106, sekitar pukul 11.00 pagi. Selang beberapa saat kemudian, muncul satu pesan yang beredar via WhatsApp ada serangan serupa yang terjadi di sejumlah titik di Jakarta, di antaranya di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Dengan sangat rinci dan ”meyakinkan” bagaimana ledakan dan baku tembak berlangsung, dengan ditambahkan dramatisasi tertembaknya seorang kontributor televisi yang berada di lapangan.
Tidak hanya sampai di situ infonya, berkembang bahwa pelaku-pelaku penembakan bergerak ke kawasan semanggi. Informasi melalui media sosial dan grup perbincangan WhatsApp itu tentu saja sangat dramatis dan menegangkan sehingga diyakini menimbulkan keresahan masyarakat.
Celakanya, informasi yang tidak jelas sumbernya itu dikutip dan disiarkan oleh beberapa media penyiaran televisi dan radio. Namun, beberapa media berkilah bahwa mereka menyiarkan berita tersebut setelah melakukan konfirmasi informasi itu kepada aparat keamanan, yang ternyata juga belum mengecek kebenaran informasi tersebut.
Kejadian ini tidak dapat dipungkiri menjadi gambaran bagaimana sebagian jurnalis dan media yang mengejar kecepatan, tetapi mengabaikan kehati-hatian dalam memverifikasi sebuah informasi. Padahal, memastikan terjadi sebuah peristiwa ledakan di Ibu Kota tentu bukanlah pekerjaan yang teramat sulit dibandingkan sekadar mengonfirmasi kepada petugas.
Akibat menyiarkan informasi bohong ini, beberapa media penyiaran mendapat surat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia. Namun, terlepas dari ada surat teguran itu, yang terpenting adalah perbaikancara kerja jurnalis dan media bagaimana seharusnya melakukan kewajiban verifikasi terhadap segala informasi yang diterimanya.
Dalam kasus kelalaian media dan jurnalis televisi mengambil media sosial sebagai sumber tanpa verifikasi adalah kejadian penggunaan foto seseorang dari Facebook yang diduga sebagai pelaku terorisme.
Dengan berpegang hanya pada kesamaan nama, ternyata foto yang digunakan bukan orang yang dimaksud. Kesembronoan ini tentu saja merugikan orang–sedikitnya kerugian sosial karena dicap sebagai teroris. Meskipun ada upaya ralat berita dilakukan, tidak lagi memadai.
Bukan Penjaga Pintu Tunggal
Bill Kovach dan Tom Rossenstiel dalam bukunya, Blur, mengatakan, pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaannya, bukan lagi dari fungsi eksklusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dan publik.
Karena itu, pekerja pers tidak lagi dapat merasa sebagai penjaga pintu satu-satunya (gate keeper), tetapi lebih menjadi penghasil ide variatif yang lebih baik berdasarkan keperluan konsumen akan berita, khususnya berita mendalam (indept reporting) dan berita investigasi (investigative reporting) dibanding hanya menyajikan berita permukaan, apalagi sekadar berita komentar dan dialog. Kehadiran media sosial haruslah dipahami bukan sebagai lawan media arus utama, melainkan sebagai pemacu kerja jurnalis dan media lebih profesional.
Pers tidak hanya menyajikan informasi atau memberitakan fakta secara akurat, imparsial, dan independen, tetapi juga harus memberikan berbagai perspektif untuk kepentingan masyarakat (public directing function), bangsa, dan negara.
Apalagi dengan kebebasan pers (freedom of the press) yang dimiliki, pers harus menjalankan fungsi sosialnya yakni mengaktualisasikan hati nurani dan harapan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Sejatinya pers yang merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik dalam sebuah negara demokratis haruslah selalu mencerahkan dan menjadi penerang segala hal yang abu-abu atau tidak jelas. Bukan sebaliknya, para jurnalis atau media berada dalam pusaran ketidakjelasan tanpa tahu bagaimana mengakhirinya.
Sebagai kepanjangan tangan atau penyambung lidah publik, pers mendapat privilese mengakses informasi secara bebas—konsekuensinya tentu pers harus bertanggung jawab kepada publik, kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, common sense, akal sehat. Dengan begitu, tidak ada pilihan lain, kecuali pers harus benar-benar profesional dan berintegritas tinggi untuk kepentingan masyarakat.
Pada akhirnya kita berharap para jurnalis, media, dan masyarakat memang harus terus diperkuat dalam menangkal berita palsu (fake news) dan hoax dengan literasi, termasuk memperbanyak penyebaran pesan perantai melalui media sosial yang mengedukasi masyarakat.
Berkembangnya pewarta warga atau citizen journalism selayaknya juga dapat didorong menjadi penyebar informasi yang berguna bagi masyarakat. Banyak pasokan informasi yang tersedia harus menjadi berkah bagi masyarakat dalam memilih informasi yang dibutuhkan, bukan justru menjadi ancaman yang membahayakan. Semoga.
Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
MUNGKIN Anda pernah menerima kiriman pesan atau gambar grafis dengan judul ”Saat Kamu Dapat Berita” melalui grup perbincangan WhasApp atau media sosial. Isinya mengenai bagaimana kita menyikapi suatu informasi yang didapat agar tak terjebak dalam menyebarkan hoax.
Sejak beberapa waktu lalu, pesan yang dibuat dalam beberapa versi visual ini terus menyebar. Pembuat pesan ini patut diacungi jempol karena dengan sadar mewujudkan kepeduliannya kepada sesama anggota masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang diterimanya.
Apalagi, belakangan ini pihak kepolisian sedang getol-getolnya menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat mereka yang disangka menyebarkan informasi palsu (fake news) atau informasi bohong atau hoax. Tidak dapat disangkal era digital saat ini telah mendemokratisasi penyebaran informasi. Setiap saat jutaan informasi memenuhi ruang publik, baik yang berasal dari media mainstream maupun dari media sosial.
Akibat itu, masyarakat tidak lagi bergantung sepenuhnya pada media atau jurnalis yang selama ini dikenal sebagai penjaga pintu (gate keeper). Mereka memilih informasi sesuai kebutuhan dan keingintahuannya, tidak lagi sekadar menerima apa saja yang disajikan media. Masyarakat bahkan dapat secara aktif merespons setiap informasi yang didapatnya— apakah melalui kolom komentar di media online ataupun menuliskannya lewat media sosial.
Minggu pagi saya menerima pertanyaan melalui WhatsApp dari seorang jurnalis senior yang sedang melakukan survei sederhana. ”Jika Anda pernah melakukan share link berita pers melalui media sosial, berapa berita yang Anda share dengan hanya membaca judul tanpa terlebih dahulu membaca beritanya?”
Meski belum sempat berkomunikasi dengan pengirimnya, pertanyaan yang disebar kepada para jurnalis ini, saya yakin untuk mencari gambaran bagaimana perilaku masyarakat—khususnya para jurnalis dalam berinteraksi dengan media sosial.
Mengingat ada media dan jurnalis yang menjadikan media sosial sebagai sandaran utama dalam pembuatan berita ataupun kebiasaan menggunakan media sosial sebagai wadah menyalurkan informasi yang didapatnya.
Kuncinya adalah Verifikasi
Sebenarnya ”pesan saat kamu dapat berita” merupakan prinsip dasar kerja jurnalis dan media. Salah satu bagian penting dari buku sembilan elemen jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yakni elemen ketiga, yang menegaskan bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Dengan disiplin jurnalis akan mampu menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi guna mendapatkan informasi yang akurat.
Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni sehingga jurnalisme akan meliput semua kepentingan masyarakat, bukan hanya karena yang menarik perhatian pemirsa atau pendengar semata.
Karena itu, bila masyarakat saja dianjurkan untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang diterimanya, tentu untuk jurnalis atau media tanggung jawab menyaring dan disiplin verifikasi menjadi mutlak dijalankan, tanpa alasan.
Tulisan Husni Arifin (KORAN SINDO, 18 November 2016) soal ancaman ”media mirip pers” di ruang digital sudah terjadi bila media arus utama tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Artinya bila para jurnalis dan media mainstream membiarkan dirinya bukan hanya terpapar berita sampah dan berita palsu, melainkan merelakan ruang idealismenya dijajah dengan ikut menyebarkan dan melakukan amplifikasi informasi yang tidak terverifikasi kebenarannya.
Mungkin belum hilang dari ingatan kita, saat terjadi ledakan dan kasus baku tembak di kawasan Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2106, sekitar pukul 11.00 pagi. Selang beberapa saat kemudian, muncul satu pesan yang beredar via WhatsApp ada serangan serupa yang terjadi di sejumlah titik di Jakarta, di antaranya di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Dengan sangat rinci dan ”meyakinkan” bagaimana ledakan dan baku tembak berlangsung, dengan ditambahkan dramatisasi tertembaknya seorang kontributor televisi yang berada di lapangan.
Tidak hanya sampai di situ infonya, berkembang bahwa pelaku-pelaku penembakan bergerak ke kawasan semanggi. Informasi melalui media sosial dan grup perbincangan WhatsApp itu tentu saja sangat dramatis dan menegangkan sehingga diyakini menimbulkan keresahan masyarakat.
Celakanya, informasi yang tidak jelas sumbernya itu dikutip dan disiarkan oleh beberapa media penyiaran televisi dan radio. Namun, beberapa media berkilah bahwa mereka menyiarkan berita tersebut setelah melakukan konfirmasi informasi itu kepada aparat keamanan, yang ternyata juga belum mengecek kebenaran informasi tersebut.
Kejadian ini tidak dapat dipungkiri menjadi gambaran bagaimana sebagian jurnalis dan media yang mengejar kecepatan, tetapi mengabaikan kehati-hatian dalam memverifikasi sebuah informasi. Padahal, memastikan terjadi sebuah peristiwa ledakan di Ibu Kota tentu bukanlah pekerjaan yang teramat sulit dibandingkan sekadar mengonfirmasi kepada petugas.
Akibat menyiarkan informasi bohong ini, beberapa media penyiaran mendapat surat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia. Namun, terlepas dari ada surat teguran itu, yang terpenting adalah perbaikancara kerja jurnalis dan media bagaimana seharusnya melakukan kewajiban verifikasi terhadap segala informasi yang diterimanya.
Dalam kasus kelalaian media dan jurnalis televisi mengambil media sosial sebagai sumber tanpa verifikasi adalah kejadian penggunaan foto seseorang dari Facebook yang diduga sebagai pelaku terorisme.
Dengan berpegang hanya pada kesamaan nama, ternyata foto yang digunakan bukan orang yang dimaksud. Kesembronoan ini tentu saja merugikan orang–sedikitnya kerugian sosial karena dicap sebagai teroris. Meskipun ada upaya ralat berita dilakukan, tidak lagi memadai.
Bukan Penjaga Pintu Tunggal
Bill Kovach dan Tom Rossenstiel dalam bukunya, Blur, mengatakan, pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaannya, bukan lagi dari fungsi eksklusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dan publik.
Karena itu, pekerja pers tidak lagi dapat merasa sebagai penjaga pintu satu-satunya (gate keeper), tetapi lebih menjadi penghasil ide variatif yang lebih baik berdasarkan keperluan konsumen akan berita, khususnya berita mendalam (indept reporting) dan berita investigasi (investigative reporting) dibanding hanya menyajikan berita permukaan, apalagi sekadar berita komentar dan dialog. Kehadiran media sosial haruslah dipahami bukan sebagai lawan media arus utama, melainkan sebagai pemacu kerja jurnalis dan media lebih profesional.
Pers tidak hanya menyajikan informasi atau memberitakan fakta secara akurat, imparsial, dan independen, tetapi juga harus memberikan berbagai perspektif untuk kepentingan masyarakat (public directing function), bangsa, dan negara.
Apalagi dengan kebebasan pers (freedom of the press) yang dimiliki, pers harus menjalankan fungsi sosialnya yakni mengaktualisasikan hati nurani dan harapan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Sejatinya pers yang merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik dalam sebuah negara demokratis haruslah selalu mencerahkan dan menjadi penerang segala hal yang abu-abu atau tidak jelas. Bukan sebaliknya, para jurnalis atau media berada dalam pusaran ketidakjelasan tanpa tahu bagaimana mengakhirinya.
Sebagai kepanjangan tangan atau penyambung lidah publik, pers mendapat privilese mengakses informasi secara bebas—konsekuensinya tentu pers harus bertanggung jawab kepada publik, kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, common sense, akal sehat. Dengan begitu, tidak ada pilihan lain, kecuali pers harus benar-benar profesional dan berintegritas tinggi untuk kepentingan masyarakat.
Pada akhirnya kita berharap para jurnalis, media, dan masyarakat memang harus terus diperkuat dalam menangkal berita palsu (fake news) dan hoax dengan literasi, termasuk memperbanyak penyebaran pesan perantai melalui media sosial yang mengedukasi masyarakat.
Berkembangnya pewarta warga atau citizen journalism selayaknya juga dapat didorong menjadi penyebar informasi yang berguna bagi masyarakat. Banyak pasokan informasi yang tersedia harus menjadi berkah bagi masyarakat dalam memilih informasi yang dibutuhkan, bukan justru menjadi ancaman yang membahayakan. Semoga.
(poe)