Undang-undang ITE & Masyarakat Demokratis
A
A
A
H. Sukamta, PhD
Anggota Komisi I DPR RI, Sekretaris Fraksi PKS
DALAM bukunya The Third Wave, Alvin Toffler mengategorikan era sekarang sebagai era informasi setelah era pertanian dan era industri. Pandangan the third wave yang ia kemukakan sekitar 3 dekade lalu itu hingga kini masih relevan, terlebih untuk kasus Indonesia.
Tercatat hingga tahun 2016 ini, menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), ada sekitar 132 juta pengguna internet dari total 256 juta penduduk, baik melalui komputer maupun gadget. Maka dapat kita katakan bahwa Indonesia telah mulai memasuki era informasi ini, meskipun sekitar 80% sebaran penggunaan internet masih terpusat di pulau Jawa.
Pada era demokrasi seperti sekarang ini, data ini tentunya menjadi sesuatu hal yang menggembirakan sekaligus berpotensi mengkhawatirkan. Kegembiraannya adalah bahwa masyarakat dapat lebih terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
David Held dalam “The Models of Democracy” mengemukakan teori model demokrasi deliberatif, yaitu salah satu model demokrasi kekinian yang melibatkan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik dalam urusan negara maupun masyarakat secara umum. Maka seharusnya masyarakat yang aktif dan peduli dalam menyampaikan pendapatnya tentang urusan negara atau urusan yang menyangkut kehidupan masyarakat menjadi nilai positif, tetapi tetap dalam kerangka kebebasan yang bertanggung jawab.
Sedangkan kekhawatirannya adalah potensi munculnya informasi-informasi yang tidak sehat baik itu pencemaran nama baik, menistakan Pancasila, agama, budaya, memecah belah keutuhan dan kedaulatan NKRI, menyemai rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan di masyarakat, dan seterusnya.
Indonesia adalah negara yang berbudaya. Harusnya ini menjadi modal untuk membentengi bangsa dari upaya-upaya yang menggerogoti kedaulatan dan persatuan. Yang dikhawatirkan gambaran akibat buruknya adalah masyarakat hidup dalam dunia yang penuh dengan caci maki dan informasi sesat serta tidak sehat di jagat maya. Alih-alih masyarakat terbentuk oleh informasi yang sehat, malah tercekoki oleh sampah informasi. Sehingga untuk mengeliminasi potensi kekhawatiran tersebut, kebebasan ini perlu diatur.
Untuk mengatur itu semua, pada tahun 2008, disahkanlah sebuah undang-undang yang bernama Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transkasi Elektronik (UU ITE). Ini sekaligus menjadi terobosan sebagai undang-undang pertama yang mengatur soal dunia maya. Saat itu, latar belakang dibuatnya undang-undang ini untuk melindungi masyarakat dalam bertransaksi di dunia internet (e-commerce). Namun, yang kemudian dirasa kental dalam pengimplementasiannya justeru menyangkut pencemaran nama baik, alih-alih e-commerce itu sendiri, sesuatu yang sebetulnya sudah diatur dalam KUHP.
Banyak masyarakat pengguna internet (netizen) yang seolah menjadi ‘korban’ penerapan UU ITE pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik ini. Hak kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya di publik seolah terkekang. Maka kasus-kasus seperti Prita Mulyasari pun bermunculan. Juga termasuk kasus-kasus pengritik kebijakan pemerintah yang kemudian dianggap melakukan pencemaran nama baik, dan ditahan. Padahal menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak warga negara dalam negara demokrasi.
Dengan latar belakang seperti disebutkan di atas, juga dengan kemajuan dunia ITE yang semakin progresif, maka muncullah reaksi publik untuk merevisi UU ITE ini yang kemudian mendorong pemerintah mengajukan usul revisi UU ITE ini kepada DPR. Kami di DPR tentunya menyambut baik aspirasi ini demi kemajuan masyarakat dan bangsa pada masa yang akan datang. Lalu revisi UU ITE digodok di Komisi I DPR RI bersama pemerintah yang kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016 yang lalu. Dan mulai diundangkan sejak tanggal 28 November 2016.
Ada beberapa hal yang direvisi dari UU ITE ini, yaitu pencemaran nama baik, ancaman kekerasan, intersepsi (penyadapan), pemblokiran konten ilegal, right to be forgotten (rehabilitasi) serta perlindungan data pribadi. Soal pencemaran nama baik, sebetulnya secara umum sudah diatur dalam KUHP. Namun mengingat pentingnya aturan supaya kebebasan menyatakan pendapat dalam dunia maya tidak menjadi liar, maka hal ini perlu diatur secara khusus di UU ITE. Ancaman pidana diperingan untuk pencemaran nama baik dari maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Demikian juga dengan pasal 29 tentang ancaman kekerasan diperingan pidananya dari maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp2 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta. Implikasi hukumnya, jika sebelumnya ancaman penjara maksimal 6 tahun menjadikan pasal pencemaran nama baik dan pasal ancaman kekerasan sebagai tindak pidana yang masuk dalam kategori KUHAP Pasal 21 ayat (4a) bahwa untuk tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun lebih, pelaku terduga dapat langsung ditahan oleh aparat penegak hukum, maka dengan UU ITE yang baru penahanan tidak dapat dilakukan sampai ada putusan tetap dari pengadilan bahwa ia divonis bersalah. Jadi dengan UU ITE yang baru, pemerintah tidak bisa main tahan saja seperti sebelumnya.
Kemudian diatur juga soal right to be forgotten dalam UU ITE Pasal 26, yaitu semacam rehabilitasi nama dalam dunia ITE. Misalnya seseorang yang namanya diberitakan negatif karena diduga melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, lalu pengadilan memutuskan bahwa dia tidak bersalah, maka semua berita yang menyatakan bahwa dia diduga melanggar hukum wajib dihapus oleh penyedia konten internet, sehingga rekam jejaknya kembali bersih. Hal-hal teknis mengenai penghapusan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain itu masyarakat juga lebih dijamin haknya untuk dapat menikmati internet sehat karena dalam UU ITE Pasal 40 diatur soal pemblokiran konten-konten ilegal. Pemerintah wajib memblokir konten-konten yang bertentangan dengan undang-undang seperti konten yang memuat tindakan asusila, fitnah, hoax, dst. Sehingga dengan begitu diharapkan masyarakat hanya tersuguhi informasi-informasi yang sehat, mencerdaskan, membangun, valid dan bermanfaat.
Proses penyelidikan juga dibuat tidak mudah agar proses hukum dalam pelanggaran UU ITE tidak dilakukan sembarang. Penyelidikan harus tetap mendapat izin dari pengadilan, sebagaimana diatur juga dalam KUHAP. Demikian juga dengan intersepsi, harus diatur dalam undang-undang khusus sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi, agar intersepsi tidak juga menjadi liar yang berpotensi melanggar hak-hak pribadi warga negara.
Intinya, dengan peringanan sanksi pidana dan penyulitan proses hukum, maka rumusan UU ITE yang telah direvisi berpotensi akan menambah geliat dunia informasi dan transaksi elektronik. Masyarakat akan lebih tergerak untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lewat dunia maya.
Ke depan, dengan melihat tren yang ada, kita prediksikan jumlah masyarakat pengguna internet akan terus bertambah seiring dengan terus bertambahnya jangkauan infrastruktur internet di pelosok nusantara. Kita harapkan baik pemerintah maupun masyarakat dapat memberikan peran yang terbaik. Masyarakat diharapkan menjadi pengguna internet yang cerdas dan bijak. Tidak layak seorang warga yang memiliki budaya dan peradaban tinggi dalam naungan Pancasila menggunakan internet untuk hal-hal yang negatif, seperti mencemarkan nama baik, menista, memfitnah, menyebar hoax, kebencian, dan seterusnya.
Pemerintah juga harus bijak. Jangan sampai UU ITE tersalahgunakan untuk kepentingan politik pemerintah. Kita harapkan tidak ada lagi permainan pasal karet pencemaran nama baik atau permainan pemblokiran situs-situs agama tertentu seperti yang telah lalu.
Kriteria pemblokiran situs-situs agama harus dipikirkan matang-matang, mana yang memang layak diblokir dan mana yang tidak. Karenanya butuh parameter yang jelas. Jangan sampai kasus pemblokiran situs-situs Islam tahun 2015 lalu terulang kembali.
Tempo hari juga pemerintah melakukan pemblokiran terhadap 11 situs yang dianggap menyinggung SARA menjelang aksi rakyat 4 November 2016 dalam rangka menuntut keadilan hukuman bagi penista agama. Hal-hal seperti ini tidak boleh dilakukan secara gegabah, karena persatuan bangsa yang menjadi taruhannya.
Pemerintah harusnya membentuk tim yang melibatkan ulama untuk mengklasifikasi situs-situs yang perlu diblokir. Pemerintah juga jangan pilih kasih dalam memblokir situs-situs yang hanya cenderung kepada agama atau entitas sosial tertentu. Pemerintah selaku pengayom warganya harus mampu menjaga situasi kondusif dan mendengarkan aspirasi rakyatnya secara adil.
Kasus terbaru yang menimpa Ibu Yusniar di Makasar atas status “no mention” di media sosial juga patut disesalkan. Permainan pasal yang dianggap pasal karet pencemaran nama baik terjadi lagi, padahal beliau tidak menyebutkan secara eksplisit pihak yang dikritik.
Jadi sekali lagi, yang kita harapkan ada dua sisi, yaitu dari masyarakat dan pemerintah, dalam hal menikmati UU ITE yang baru. Jika pemerintah dan masyarakat masing-masing dapat menggunakan UU ITE secara cerdas, bijak dan adil, mudah-mudahan masyarakat yang demokratis akan terwujud. Kolaborasi serta checks and balances akan tercipta. Sehingga negara Indonesia yang demokratis, kuat, adil dan sejahtera bukan mimpi belaka.
Anggota Komisi I DPR RI, Sekretaris Fraksi PKS
DALAM bukunya The Third Wave, Alvin Toffler mengategorikan era sekarang sebagai era informasi setelah era pertanian dan era industri. Pandangan the third wave yang ia kemukakan sekitar 3 dekade lalu itu hingga kini masih relevan, terlebih untuk kasus Indonesia.
Tercatat hingga tahun 2016 ini, menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), ada sekitar 132 juta pengguna internet dari total 256 juta penduduk, baik melalui komputer maupun gadget. Maka dapat kita katakan bahwa Indonesia telah mulai memasuki era informasi ini, meskipun sekitar 80% sebaran penggunaan internet masih terpusat di pulau Jawa.
Pada era demokrasi seperti sekarang ini, data ini tentunya menjadi sesuatu hal yang menggembirakan sekaligus berpotensi mengkhawatirkan. Kegembiraannya adalah bahwa masyarakat dapat lebih terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
David Held dalam “The Models of Democracy” mengemukakan teori model demokrasi deliberatif, yaitu salah satu model demokrasi kekinian yang melibatkan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik dalam urusan negara maupun masyarakat secara umum. Maka seharusnya masyarakat yang aktif dan peduli dalam menyampaikan pendapatnya tentang urusan negara atau urusan yang menyangkut kehidupan masyarakat menjadi nilai positif, tetapi tetap dalam kerangka kebebasan yang bertanggung jawab.
Sedangkan kekhawatirannya adalah potensi munculnya informasi-informasi yang tidak sehat baik itu pencemaran nama baik, menistakan Pancasila, agama, budaya, memecah belah keutuhan dan kedaulatan NKRI, menyemai rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan di masyarakat, dan seterusnya.
Indonesia adalah negara yang berbudaya. Harusnya ini menjadi modal untuk membentengi bangsa dari upaya-upaya yang menggerogoti kedaulatan dan persatuan. Yang dikhawatirkan gambaran akibat buruknya adalah masyarakat hidup dalam dunia yang penuh dengan caci maki dan informasi sesat serta tidak sehat di jagat maya. Alih-alih masyarakat terbentuk oleh informasi yang sehat, malah tercekoki oleh sampah informasi. Sehingga untuk mengeliminasi potensi kekhawatiran tersebut, kebebasan ini perlu diatur.
Untuk mengatur itu semua, pada tahun 2008, disahkanlah sebuah undang-undang yang bernama Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transkasi Elektronik (UU ITE). Ini sekaligus menjadi terobosan sebagai undang-undang pertama yang mengatur soal dunia maya. Saat itu, latar belakang dibuatnya undang-undang ini untuk melindungi masyarakat dalam bertransaksi di dunia internet (e-commerce). Namun, yang kemudian dirasa kental dalam pengimplementasiannya justeru menyangkut pencemaran nama baik, alih-alih e-commerce itu sendiri, sesuatu yang sebetulnya sudah diatur dalam KUHP.
Banyak masyarakat pengguna internet (netizen) yang seolah menjadi ‘korban’ penerapan UU ITE pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik ini. Hak kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya di publik seolah terkekang. Maka kasus-kasus seperti Prita Mulyasari pun bermunculan. Juga termasuk kasus-kasus pengritik kebijakan pemerintah yang kemudian dianggap melakukan pencemaran nama baik, dan ditahan. Padahal menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak warga negara dalam negara demokrasi.
Dengan latar belakang seperti disebutkan di atas, juga dengan kemajuan dunia ITE yang semakin progresif, maka muncullah reaksi publik untuk merevisi UU ITE ini yang kemudian mendorong pemerintah mengajukan usul revisi UU ITE ini kepada DPR. Kami di DPR tentunya menyambut baik aspirasi ini demi kemajuan masyarakat dan bangsa pada masa yang akan datang. Lalu revisi UU ITE digodok di Komisi I DPR RI bersama pemerintah yang kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016 yang lalu. Dan mulai diundangkan sejak tanggal 28 November 2016.
Ada beberapa hal yang direvisi dari UU ITE ini, yaitu pencemaran nama baik, ancaman kekerasan, intersepsi (penyadapan), pemblokiran konten ilegal, right to be forgotten (rehabilitasi) serta perlindungan data pribadi. Soal pencemaran nama baik, sebetulnya secara umum sudah diatur dalam KUHP. Namun mengingat pentingnya aturan supaya kebebasan menyatakan pendapat dalam dunia maya tidak menjadi liar, maka hal ini perlu diatur secara khusus di UU ITE. Ancaman pidana diperingan untuk pencemaran nama baik dari maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Demikian juga dengan pasal 29 tentang ancaman kekerasan diperingan pidananya dari maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp2 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta. Implikasi hukumnya, jika sebelumnya ancaman penjara maksimal 6 tahun menjadikan pasal pencemaran nama baik dan pasal ancaman kekerasan sebagai tindak pidana yang masuk dalam kategori KUHAP Pasal 21 ayat (4a) bahwa untuk tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun lebih, pelaku terduga dapat langsung ditahan oleh aparat penegak hukum, maka dengan UU ITE yang baru penahanan tidak dapat dilakukan sampai ada putusan tetap dari pengadilan bahwa ia divonis bersalah. Jadi dengan UU ITE yang baru, pemerintah tidak bisa main tahan saja seperti sebelumnya.
Kemudian diatur juga soal right to be forgotten dalam UU ITE Pasal 26, yaitu semacam rehabilitasi nama dalam dunia ITE. Misalnya seseorang yang namanya diberitakan negatif karena diduga melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, lalu pengadilan memutuskan bahwa dia tidak bersalah, maka semua berita yang menyatakan bahwa dia diduga melanggar hukum wajib dihapus oleh penyedia konten internet, sehingga rekam jejaknya kembali bersih. Hal-hal teknis mengenai penghapusan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain itu masyarakat juga lebih dijamin haknya untuk dapat menikmati internet sehat karena dalam UU ITE Pasal 40 diatur soal pemblokiran konten-konten ilegal. Pemerintah wajib memblokir konten-konten yang bertentangan dengan undang-undang seperti konten yang memuat tindakan asusila, fitnah, hoax, dst. Sehingga dengan begitu diharapkan masyarakat hanya tersuguhi informasi-informasi yang sehat, mencerdaskan, membangun, valid dan bermanfaat.
Proses penyelidikan juga dibuat tidak mudah agar proses hukum dalam pelanggaran UU ITE tidak dilakukan sembarang. Penyelidikan harus tetap mendapat izin dari pengadilan, sebagaimana diatur juga dalam KUHAP. Demikian juga dengan intersepsi, harus diatur dalam undang-undang khusus sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi, agar intersepsi tidak juga menjadi liar yang berpotensi melanggar hak-hak pribadi warga negara.
Intinya, dengan peringanan sanksi pidana dan penyulitan proses hukum, maka rumusan UU ITE yang telah direvisi berpotensi akan menambah geliat dunia informasi dan transaksi elektronik. Masyarakat akan lebih tergerak untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lewat dunia maya.
Ke depan, dengan melihat tren yang ada, kita prediksikan jumlah masyarakat pengguna internet akan terus bertambah seiring dengan terus bertambahnya jangkauan infrastruktur internet di pelosok nusantara. Kita harapkan baik pemerintah maupun masyarakat dapat memberikan peran yang terbaik. Masyarakat diharapkan menjadi pengguna internet yang cerdas dan bijak. Tidak layak seorang warga yang memiliki budaya dan peradaban tinggi dalam naungan Pancasila menggunakan internet untuk hal-hal yang negatif, seperti mencemarkan nama baik, menista, memfitnah, menyebar hoax, kebencian, dan seterusnya.
Pemerintah juga harus bijak. Jangan sampai UU ITE tersalahgunakan untuk kepentingan politik pemerintah. Kita harapkan tidak ada lagi permainan pasal karet pencemaran nama baik atau permainan pemblokiran situs-situs agama tertentu seperti yang telah lalu.
Kriteria pemblokiran situs-situs agama harus dipikirkan matang-matang, mana yang memang layak diblokir dan mana yang tidak. Karenanya butuh parameter yang jelas. Jangan sampai kasus pemblokiran situs-situs Islam tahun 2015 lalu terulang kembali.
Tempo hari juga pemerintah melakukan pemblokiran terhadap 11 situs yang dianggap menyinggung SARA menjelang aksi rakyat 4 November 2016 dalam rangka menuntut keadilan hukuman bagi penista agama. Hal-hal seperti ini tidak boleh dilakukan secara gegabah, karena persatuan bangsa yang menjadi taruhannya.
Pemerintah harusnya membentuk tim yang melibatkan ulama untuk mengklasifikasi situs-situs yang perlu diblokir. Pemerintah juga jangan pilih kasih dalam memblokir situs-situs yang hanya cenderung kepada agama atau entitas sosial tertentu. Pemerintah selaku pengayom warganya harus mampu menjaga situasi kondusif dan mendengarkan aspirasi rakyatnya secara adil.
Kasus terbaru yang menimpa Ibu Yusniar di Makasar atas status “no mention” di media sosial juga patut disesalkan. Permainan pasal yang dianggap pasal karet pencemaran nama baik terjadi lagi, padahal beliau tidak menyebutkan secara eksplisit pihak yang dikritik.
Jadi sekali lagi, yang kita harapkan ada dua sisi, yaitu dari masyarakat dan pemerintah, dalam hal menikmati UU ITE yang baru. Jika pemerintah dan masyarakat masing-masing dapat menggunakan UU ITE secara cerdas, bijak dan adil, mudah-mudahan masyarakat yang demokratis akan terwujud. Kolaborasi serta checks and balances akan tercipta. Sehingga negara Indonesia yang demokratis, kuat, adil dan sejahtera bukan mimpi belaka.
(ysw)